• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (14): Pertemuan Terbuka PNI Membahas tentang Poliklinik, Pendidikan, dan Kaum Intelektual  

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (14): Pertemuan Terbuka PNI Membahas tentang Poliklinik, Pendidikan, dan Kaum Intelektual  

Pidato yang disampaikan Sukarno dan Ki Hajar Dewantara menyulut perhatian aparat. Dua kali polisi menghentikan pidato mereka karena dianggap berbahaya.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Ki Hajar Dewantara bersama para guru Taman Siswa di Yogyakarta. (Dokumentasi Perpustakaan Nasional)

8 Januari 2022


BandungBergerak.idPertemuan terbuka PNI yang digelar dua kali pada tanggal 24 November 1929 bukan hanya menunjukkan antusiasme rakyat pribumi, namun juga memperlihatkan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Rangkaian kegiatan yang berlangsung di bioskop Oranje ini selain diadakan dua kali, juga dihadiri oleh ribuan orang yang telah memadati ruangan.

Tercatat, 800 orang dari kaum perempuan ikut serta dalam acara itu, sedangkan 1.500 orang dari kalangan laki-laki. Acara pertama digelar pada pukul 08.45, dan yang kedua, dimulai pukul 12.00. Saking tingginya antusiasme masyarakat yang ingin ikut dalam pertemuan itu, penjagaan ketat pun dilakukan oleh polisi dengan berjaga-jaga di depan pintu masuk.

Dua unit bus yang berasal dari Cianjur dan Sukabumi terpaksa harus kembali lagi karena dilarang masuk oleh polisi. Begitupun ratusan anggota yang berasal dari Cicalengka, Sumedang, Banjaran, Ciparay dan Padalarang urung masuk ke dalam ruangan lantaran dicekal untuk berbaur dengan para hadirin yang lain. Kekerasan pun terjadi. Salah seorang perempuan dari rakyat pribumi dipukul dan dicekik oleh polisi. Kejadian ini lalu memunculkan perhatian rengrengan PNI, dan menyebut polisi telah menyalahi aturan.

“Ieu atoeran anoe kijeu memang lain atoeran anoe samistina pikeun poelisi anoe diwajibkeun koedoe ngadjaga kana kaamanan oemoeom. Dina openbare vergadering koedoe ngadjaga, lain koedoe tjatjabok djeung teuteunggeul mah (Aturan seperti ini memang bukan aturan yang seharusnya dilakukan oleh polisi yang wajib menjaga keamanan umum. Dalam pertemuan terbuka seharusnya menjaga, bukan ditunjukkan dengan menampar atau memukul)(Banteng Priangan 1 Desember 1929).

Dalam kegiatan ini Maskun bertindak sebagai ketua pelaksana. Mula-mula ia mencatat berbagai utusan dari organisasi lain dan juga dari perwakilan pers. Setelah itu, Gatot Mangkoepradja memaparkan tujuan PNI untuk mendirikan poliklinik. Rencanan ini memang perlu untuk diwujudkan. Karena rumah sakit yang telah dibangun oleh pemerintah tidak mencukupi pelayanan. Perlunya membangun poliklinik ini mengacu pada kondisi masyarakat pribumi. Terutama untuk penduduk di perdesaan yang masih percaya terhadap dukun.

Iskaq Tjokrohadisurjo (Ketua Studieclub Bandung tahun 1925) menilai rencana membangun poliklinik ini perlu sokongan dari seluruh rakyat, khususnya mengenai tunjangan dari pihak-pihak yang ingin memberikan bantuan. Komisi untuk rencana pembangunan ini pun sudah dibentuk, dengan melibatkan pengurus PNI seperti Iskaq, Manadi dan Soetardjo. Bahkan sudah ada tiga orang dokter yang rela memberikan bantuan untuk poliklinik tersebut. Yakni, Dr. Laoh, Dr. Augustin dan Ind. Art Soekiman, yang ketiganya merupakan bangsa Indonesia. Rencananya poliklinik ini diberi nama Poliklinik PNI, tanpa berhubungan dengan urusan politik (Banteng Priangan 1 Desember 1929).

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (12): Rangkaian Kursus PNI Membahas Nasionalisme dan Imperialisme
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (11): Sukarno Menjawab Sikap PNI
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (10): Salah Paham Utusan Jong Islamiten Bond

Pidato Ki Hajar Dewantara di Bandung

Selain membahas rencana mendirikan poliklinik, pertemuan itu pun menyajikan dua pidato penting bagi pergerakan bangsa Indonesia. Masing-masing berasal dari Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) yang menjelaskan tentang pendidikan, dan Sukarno yang menerangkan peran kaum intelektual. Dalam pidatonya Ki Hajar Dewantara menggambarkan seperti apa pendidikan kala itu bila digabungkan dengan politik. Ini diibaratkan laiknya petani yang menanam benih. Benih tersebut berubah menjadi tumbuhan sebagai representasi pendidikan. Adapun politik sebagai pagar kebunnya yang menjaga benih-benih tumbuhan (Banteng Priangan 1 Desember 1929).

Hadirnya Ki Hajar Dewantara dalam pertemuan terbuka PNI bersamaan dengan kunjungannya pada acara perkumpulan Taman Siswa di Bandung. Dalam agenda itu Ki Hajar juga memberikan nasihat-nasihat penting terkait pendidikan dan pengajaran. Dalam pidatonya, Ki Hajar menjelaskan tugas guru kepada para murid. Menurutnya, murid tidak boleh diberikan hukuman dengan cara kekerasan, sebab kelak akan menjadi orang yang kasar. Ia memberikan saran agar seorang pendidik tidak memberikan aturan keras terhadap muridnya. Hal ini dianggap dapat mengakibatkan sang murid mempunyai watak yang buruk.

“Goeroe teu meunang njieun atoeran kasar ka moerid. Boedak noe noeroetna pedah sieun atawa rek diboeroehan pagegedeanana djadi djelema koerang hade. Oerang koedoe hiroep anoe toemaninah, tapi koedoe ngingetkeun kana hak-hakna batoer (Guru tidak boleh membuat aturan kasar terhadap murid. Anak yang menuruti kehendak seseorang karena takut atau diberi imbalan, setelah besar, akan menjadi orang yang buruk perangainya. Kita harus hidup aman dan tenteram, tapi harus mengingat juga hak hidup orang lain(Banteng Priangan 15 Desember 1929).

Pidato Ki Hajar Dewantara yang menekankan pada aspek pendidikan memang penting untuk keperluan rakyat pribumi. Sementara itu, pidato Sukarno dalam pertemuan terbuka PNI juga menerangkan tugas intelektual dalam masyarakat yang berkaitan dengan pendidikan. Sukarno memandang bahwa hubungan kaum terpelajar dengan rakyat saat itu disebabkan oleh adanya ketakutan dari kaum intelektual terhadap kekerasan. Hal ini berimbas pada peran kaum intelektual yang belum terlibat sepenuhnya dengan rakyat. Sukarno menekankan pentingnya mengetahui istilah intelektual. Menurutnya, intelektual berasal dari kata intellect, yang berarti akal atau pikiran. Dengan merujuk pada pengertian itu kaum intelektual merupakan subjek yang telah mendapatkan pendidikan tanpa harus menyandang gelar Dr., Mr., atau Ir. Sebab menurut Sukarno gelar seperti itu tidak dapat menjadi bukti dari kepintaran seseorang. Bahkan sama seperti sebuah kamus.

“Naon hartina intellectueel? Nja eta asal tina ketjap intellect anoe pihartieunana akal atawa pikiran. Kaoem intellectueel nja eta djelema anoe geus meunang didikan atawa pangadjaran. Lain bae kaoem anoe meunang titel Dr., Mr., atawa Ir. anoe diseboet kaoem intellectueel teh. Sababaraha lobana kaoem Mr., Ir., Dr., anoe kapinteranana henteu hiroep djeung henteu beda saperti woordenboek bae (Apa artinya intelektual? Yaitu berasal dari kata intellect yang bermakna akal atau pikiran. Kaum intelektual ialah seseorang yang telah mendapatkan pendidikan atau pengajaran. Bukan hanya kalangan yang bergelar Dr., Mr., atau Ir. Kebanyakan kaum yang bergelar Mr., Ir. Dan Dr., memiliki kepintaran yang tidak hidup dan juga tidak berbeda dengan kamus) (Banteng Priangan 15 Desember 1929).

Pidato yang disampaikan oleh Sukarno dan Ki Hajar Dewantara telah menyulut perhatian aparat untuk menghentikan keduanya. Tercatat, saat Ki Hajar dan Sukarno berpidato mereka sempat dihentikan dua kali oleh polisi karena dianggap berbahaya. Dua pertemuan terbuka yang digelar oleh rengrengan PNI di Bandung ini berakhir pada siang hari. Pertemuan pertama berakhir pada pukul 11.45, sedangkan yang kedua pada pukul 14.30. Acara pun ditutup, dan seluruh hadirin yang berdesak-desakan mulai meninggalkan ruangan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//