Peran Singkat Ki Hajar Dewantara di Sarekat Islam Bandung
Hafidz Ashar meluncurkan buku “Riwayat Sarekat Islam di Bandung 1912-1916”. Selain politik, organisasi ini banyak berkiprah di bidang sosial dan pendidikan.
Penulis Putra Wahyu Purnomo1 November 2021
BandungBergerak.id - Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI) merupakan salah satu organisasi masyarakat paling awal di Indonesia. Kemunculannya dimulai pada tahun 1905 yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Surakarta, Jawa Tengah. SI cepat berkembang di kota-kota besar lainnya, salah satunya di Bandung.
Peran SI di Bandung dikupas dalam peluncuran buku “Riwayat Sarekat Islam di Bandung 1912-1916” di Kedai Jante, Perpustakaan Ajip Rosidi, Kota Bandung, Minggu (31/10/2021). Peluncuran buku yang jadi bagian dari gelaran "Haus Buku 2" ini menampilkan Hafidz Azhar selaku penulis, Alex Ari dari Komunitas Aleut dan Rasia Bandung, serta Indra Prayana dari Jaringan Buku Alternatif.
Hafidz Azhar memaparkan alasan penulisan buku “Riwayat Sarekat Islam di Bandung 1912-1916” adalah banyaknya data yang membuatnya tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait SI Bandung. Buku ini berisi 20 esai yang pernah terbit di situs berita BandungBergerak.id.
"Terutama ketertarikan saya untuk menulis Riwayat Sarekat Islam Bandung 1912-1916. Misalnya tentang kiprah Suwardi Suryaningrat yang menjabat ketua pertama SI Bandung dengan waktu yang sangat pendek," kata Hafidz, saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Minggu (31/10/2021).
Meski jabatannya tak berumur panjang, Suwardi Suryaningrat memiliki peran penting. Tokoh yang dikenal juga sebagai Ki Hajar Dewantara ini pada tahun 1912 bertolak dari Surabaya ke Bandung untuk mendirikan Sarekat Islam di Bandung bersama Abdul Muis dan A. Wignyadisastra.
Walaupun pada masa jabatannya SI tidak terlalu menonjol jika dibandingkan dengan masa-masa setelahnya. Namun, pada masa kepemimpinan Suwardi pula, SI Bandung bergerak menuju ke arah oposisi dari pemerintah yang berkuasa pada masa itu.
Selain membahas tentang peran Ki Hajar Dewantara, Hafidz pun menaruh ketertarikan khusus pada aspek-aspek sosial dan pendidikan yang digagas oleh SI Bandung. Salah satu yang membuatnya tertarik adalah keterlibatan Sarekat Islam di Bandung dalam pendirian Madrassatoel Ibtidaiyah dan Madjoe Kamoeljan.
"Lalu membahas juga tentang pergerakan SI Bandung terkait aspek sosial dan pendidikan yang menghasilkan Madrassatoel Ibtidayah dan Madjoe Kamoeljan," terang Hafidz yang juga penulis buku “Bandung di Persimpangan Kiri Jalan”.
Baca Juga: Pameran Haus Buku 2 di Perpustakaan Ajip Rosidi, Menjual Buku Lawas dan Baru
Buku Bajakan Bandung: Toko Buku Nakal Cukup Tahu sama Tahu
BUKU BANDUNG (16): Pesona Sejarah Bandung dalam Buku
MEMORABILIA BUKU (8): Pertama Kali Ikut Pameran Buku, Ketemu Andrea Hirata dan Andy Rif
Peran SI Bandung di Bidang Sosial dan Pendidikan
Pada kurun waktu tersebut, program yang digalakkan oleh SI Bandung berfokus pada aspek sosial dan pendidikan bagi masyarakat di Bandung. Untuk bidang sosialnya, SI Bandung membentuk Madjoe Kamoeljan sebagai organisasi sosial dalam memerangi prostitusi yang berkembang di Bandung. Sementara di bidang pendidikan ada Madrassatoel Ibtidaiyah sebagai sekolah bagi kaum muslim yang tidak mampu.
"Aspek sosial salah satunya ikut terlibat mendirikan Madjoe Kamoeljan, yang mengkampanyekan perlawanan terhadap prostitusi. Sedangkan untuk aspek pendidikan ditunjukkan dengan mendirikan Madrassatoel Ibtidayah, sekolah yang diperuntukkan bagi kaum Muslim yang tidak mampu," ungkap Hafidz.
Madrassatoel Ibtidaiyah sendiri menurut Hafidz, hadir di Bandung sekitar tahun 1915. Pada saat itu SI Bandung diketuai oleh A.H. Wignyadisastra yang merupakan utusan SI dari Surabaya bersama Suryadi Suryaningrat dan Abdul Muis.
"Waktu Madrassatoel Ibtidayah ini berdiri kebetulan yg menjadi ketuanya A.H Wignyadisastra. Sekitar tahun 1915," imbuhnya.
Pendirian Madrassatoel Ibtidaiyah pun menurut pendapat Hafidz memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Bandung pada saat itu yang mayoritasnya adalah warga kurang mampu. Gagasan untuk mendirikan Madrassatoel Ibtidaiyah ini pun tidak hanya terjadi di Bandung, melainkan mengikuti gagasan-gagasan yang muncul tentang sekolah Islam di kota lain seperti, Jogja, Cianjur, Betawi dan lainnya.
"Kaum Pribumi waktu itu mayoritas kurang mampu. Termasuk masyarakat Pribumi yang beragama Islam," terang Hafidz.