• Literasi
  • Buku Bajakan Bandung: Toko Buku Nakal Cukup Tahu sama Tahu

Buku Bajakan Bandung: Toko Buku Nakal Cukup Tahu sama Tahu

Selain buku Tere Liye, buku sejarah Bandung yang ditulis Haryoto Kunto sudah lama kena bajak.

Tangkapan layar buku-buku Haryoto Kunto yang dijual di marketplace, Jumat (28/5/2021).

Penulis Iman Herdiana28 Mei 2021


BandungBergerak.idPenulis Tere Liye kembali berang karena buku-bukunya banyak dibajak. Praktik pembajakan buku sendiri sudah berlangsung lama di tengah minimnya penghargaan terhadap hak cipta penulis buku. Di Bandung, praktik pembajakan buku dianggap "tahu sama tahu".

Buku tentang sejarah Bandung karya Haryoto Kunto termasuk yang laris dibajak, terutama buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dan Semerbak Bunga di Bandung Raya. Buku-buku ini dibajak sejak tahun 2000-an, dan semakin merajalela di zaman digital. Malah mencari buku Haryoto Kunto yang dibajak sekarang lebih mudah, bisa ditemukan di marketplace atau toko-toko online.

Misalnya, mencari buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe cukup dengan mengetik judulnya di Google, kemudian akan banyak toko buku online yang memajang foto covernya. Beberapa penjual ada yang terang-terangan menyebut buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe yang dijualnya bukan original alias bajakan.

Buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe bajakan dibanderol sangat miring, yakni di bawah Rp 100 ribu. Padahal untuk buku bekas originalnya bisa mencapai Rp 1 juta. Apalagi buku Semerbak Bunga di Bandung Raya yang harganya kini lebih dari Rp 2 jutaan.

Baca Juga: BUKU BANDUNG (2): Angin Bandung Menyanyikan Tuhan
BUKU BANDUNG (1): Menyingkap Budaya Tionghoa Bandung melalui Sebuah Tragedi

Tahu Sama Tahu

Praktik membajak buku dilakoni beberapa toko buku nakal di Kota Bandung. Di kalangan mereka bahkan sudah muncul istilah-istilah pembajakan buku, sebut saja 'master' untuk menyebut buku yang dibajak; sedangkan istilah untuk buku bajakan disebut 'KW', repro, dan bookpaper. Penjual online yang menyertakan keterangan repro dan bookpaper pada buku yang dijualnya, bisa dipastikan bahwa buku tersebut bajakan.

Salah satu penjual online di sebuah marketplace menjual buku bajakan Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dengan keterangan: "pengarang haryoto kunto/bukan original sesuai dengan harganya". Buku ini dibanderol Rp 85.000, dengan keterangan lain: Kondisi Baru, Berat 585 gram.

Menjamurnya buku bajakan sebenarnya tak lepas dari hukum ekonomi, ada permintaan ada penawaran. Di dunia perbukuan, ada permintaan maka ada pembajakan. 

Toko buku nakal biasanya memantau buku yang sedang laris, kemudian membikin versi bajakannya dengan mencari dahulu buku yang akan dijadikan master sebagai bahan bajakan. Penggandaan buku dilakukan dengan cara memfoto kopi atau dengan mesin cetak ringan.

Di kalangan pembajak, praktik ini sudah bersifat 'tahu sama tahu'. Mereka tahu buku Haryoto Kunto laris, maka diadakanlah versi bajakannya. Sebab ada keuntungan di balik membajak buku. Sebagai contoh, buku Semerbak Bunga di Bandung Raya yang kini harganya selangit, versi bajakannya masih laku Rp 500 ribu, dengan cover tebal seperti skripsi.

Deni Rachman, pegiat buku sekaligus pemilik toko buku lawas LawangBuku, pernah terjebak membeli buku bajakan Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. "Tahun 2000-an saya pernah terjebak salah beli buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, covernya mirip sekali dengan aslinya, tapi isinya hasil foto kopian atau mesin cetak kecil. Tintanya seperti karbon, nempel di tangan," tutur Deni Rachman, saat dihubungi, Jumat (28/5/2021).

Ciri-ciri buku bajakan Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, dan berlaku juga untuk buku bajakan lainnya, adalah harganya yang miring. Waktu itu Deni membelinya Rp 90 ribu. Sekarang buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe bekas dijual di marketplace Rp 200 ribu ke atas. Ciri lain buku bajakan ialah margin yang tak rata atau bahkan kacau, beberapa halaman salah cetak, fotonya kualitas fotokopian.

Deni bisa memaklumi kemarahan penulis Tere Liye terhadap pembajakan. Sudah lama Tere Liye konsens pada pembajakan karya-karyanya, bukan kali ini saja. "Bagi penulis, pembajakan buku sangat mengganggu pikiran. Bisa memengaruhi mental," katanya.

Kendati demikian, kemarahan penulis sebaiknya ditujukan pada pelaku pembajakan, bukan pada pembeli atau konsumen yang mungkin memiliki keterbatasan pengetahuan tentang isu hak cipta dan lemah secara ekonomi.

Di saat yang sama, literasi soal pentingnya menghargai hak cipta penulis buku hingga saat ini masih sangat kurang. Deni yang sudah bertahun-tahun menggeluti usaha buku, mengaku memahami isu hak cipta secara otodidak, bukan dari sekolah.

"Di sekolah-sekolah sampai sekarang tidak terdengar ada pelajaran soal hak cipta, atau penyuluhan soal pentingnya menghargai karya seseorang dengan tidak membeli buku bajakan," ujarnya.

Bagi Deni, pembeli maupun pelaku buku bajakan, sama-sama melakukan pelanggaran. Ibaratnya, orang yang korupsi dan menerima uang korupsi sama-sama korupsi. Namun untuk buku, pendekatan terhadap konsumen atau pembeli dan pelaku pembajakan bisa sedikit dibedakan.

Pendekatan terhadap pembeli bisa melalui jalur edukasi atau penyuluhan. Kalau setelah diedukasi masih saja membeli buku bajakan, baru dia bisa dikenakan sanksi lainnya, misalnya sanksi hukum. Baru untuk pelaku pembajakan dikenakan pendekatan hukum, apalagi jika pembajakannya dilakukan besar-besaran menggunakan mesin percetakan.

Minimnya Penghargaan pada Produksi Pengetahuan

Budayawan yang juga dosen sastra Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Wawan 'Hawe' Setiawan, mengatakan fenomena pembajakan buku bukan soal baru. Masalah ini menjadi perhatian ketika ada momen tertentu, salah satunya, kritik keras dari Tere Liye yang ramai jadi sorotan belakangan ini.

Hawe yang juga penulis buku, malah menjadi 'korban' pembajakan untuk buku Tiga Pesona Sunda Kuna, buku penelitian akademis yang terdiri dari tiga bagian, yakni Para Putera Rama dan Rahwana, Pendakian Sri Ajnyana, dan Kisah Bujangga Manik. Buku ini diterbitkan Dunia Pustaka Jaya bekerja sama dengan KITLV-Jakarta tahun 2009. Hawe menterjemahkan buku ini dari karya J. Noorduyn and A. Teeuw dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesa.

Belakangan ia mendapat informasi dari warganet yang mengaku membeli buku tentang Bujangga Manik yang isinya mirip dengan Kisah Bujangga Manik di buku Tiga Pesona Sunda Kuna. Dari laporan warganet itu, ia menduga bagian dari bukunya telah dibajak.

Saat ini Hawe Setiawan juga sedang memastikan informasi buku lainnya yang ia tulis yang masuk ke sekolah. Artinya, kalau bukunya masuk ke sekolah dipastikan sebelumnya telah mengalami cetak dalam jumlah banyak. Sementara dari pihak penerbit belum ada laporan tentang cetak ulang untuk buku-buku yang ditulisnya.

"Saya merasa kaget juga. Tapi mau marah, marah kepada siapa?" kata Hawe Setiawan. Ia tidak setuju dengan pembajakan, tetapi di sisi lain ia melihat bahwa bukunya yang dibajak kemungkinan dibaca banyak orang.

"Saya lebih memilih edukasi kepada publik saja, dalam artian tetap ikhtiar supaya di masyarakat ada penghargaan terhadap produksi pengetahuan oleh para penulis. Kalau yang mampu supaya membeli bahan bacaan dari penerbit asli yang resmi," ungkapnya.

Sepakat dengan Deni LawangBuku, Hawe menyatakan pembajakan buku tak lepas dari masih rendahnya edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menghargai produksi pengetahuan, tentang menghormati hak cipta dari suatu karya, dalam hal ini buku.

Pada kasus buku bajakan, tentu yang paling dirugikan adalah pihak penulis yang berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun menulis. Penulis mana pun akan menyesalkan--dan marah seperti Tere Liye--jika bukunya dibajak. "Posisi penulis sangat lemah. Buku yang ia tulis bisa saja dicetak ulang tanpa sepengetahuannya."

Hawe menuturkan, beberapa penerbit yang menerbitkan bukunya sudah biasa memberikan laporan berkala tentang penjualan bukunya. Kalau ada rencana cetak ulang, penerbit akan memberikan kontrak baru. Tetapi praktek profesional ini belum tentu dilakukan oleh penerbit lain.

Kondisi pembajakan buku juga diperparah dengan masih kekurangan jumlah perpustakaan yang mudah diakses publik di kota-kota di Indonesia, termasuk di Bandung yang konon menyandang julukan kota buku. Keberadaan perpustakaan penting untuk mewadahi kebutuhan masyarakat akan ilmu pengetahuan, terutama bagi masyarakat yang kemampuan ekonominya terbatas.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//