BUKU BANDUNG (2): Angin Bandung Menyanyikan Tuhan
Ada banyak sekali karya sastra yang sangat bernilai namun luput dari apresiasi. Beberapa di antaranya karya para penyair asal atau yang tinggal di Bandung.
Penulis Topik Mulyana23 Mei 2021
BandungBergerak.id - Angin Bandung, buku dengan ketebalan 53 halaman (ditambah 8 halaman francis dan 2 halaman tambahan), memuat puisi-puisi karya sastrawan Sunda, Apip Mustopa, dalam Bahasa Indonesia. Diterbitkan pertama kali oleh penerbitan khusus Budaya Jaya, Dewan Kesenian Jakarta, pada tahun 1981. Dicetak oleh Mitra Srangenge Bandung. Diberi gambar ilustrasi jilid oleh pelukis Nana Banna.
Judul buku ini, Angin Bandung, diambil dari judul salah satu puisinya yang bertitimangsa Juni 1963. Jumlah seluruh puisi dalam kumpulan ini 38 buah, dibagi menjadi dua bagian yang setiap bagian diberi sebuah judul. Bagian satu berjudul Sebuah Perjalanan, terdiri atas 16 buah puisi, dan bagian kedua berjudul Suara, terdiri atas 22 buah puisi.
Dilihat dari titimangsanya, puisi-puisi Apip Mustopa ditulis dalam rentang 1961 sampai dengan 1977, dengan cacatan ada satu puisi yang tidak bertitimangsa, yang—berdasarkan sumber lain di luar buku ini—kemungkinan ditulis pada tahun 1950-an. Pencantuman titimangsa ini tidak sama. Ada yang hanya mencantumkan tahun, ada yang tahun disertai bulan, ada yang tahun disertai tempat, ada juga yang ditulis lengkap: tempat, tanggal, bulan, dan tahun.
Jika ditelaah secara sepintas, pembagian buku berdasarkan tema umum puisi-puisi tersebut. Sebuah Perjalanan mengisahkan perjalanan penyair antara Bandung, Bali, hingga Papua Barat, dan juga puisi-puisi yang tampaknya ia tulis saat dalam perjalanan. Suara terdiri atas puisi-puisi dengan tema-tema religius atau keagamaan.
Bagian Sebuah Perjalanan berisi 16 buah puisi, dengan rincian 6 puisi tentang atau ditulis di Bali, 5 buah puisi tentang atau ditulis di Bandung, 1 puisi tentang atau ditulis di Papua, 1 puisi tentang atau ditulis di Cipancar, 1 puisi tentang perjalanan yang ditulis di atas kapal laut, 1 puisi tentang percintaan, dan 1 puisi tentang refleksi hidup. Dua terakhir ini tidak diketahui ditulis di mana.
Puisi-puisi tentang atau ditulis di Bali tampak jelas dari dua puisi yang berjudul “Bali” dan “Sanur”. Ada juga yang diketahui berdasarkan pencantuman titimangsanya, seperti puisi yang dijadikan judul bagian pertama ini, “Sebuah Perjalanan”, yang bertitimangsa: Singaraja 1963. Puisi-puisi lainnya tidak menyebut daerah-daerah di Bali secara eksplisit, namun tampak jelas dari judul dan isi yang terambil dari legenda-legenda atau peristiwa sejarah di Bali, di antaranya puisi-puisi yang berjudul “Puputan Margarana”, “Romansa Jayaprana”, dan “Elegi Layonsari”.
Puisi “Puputan Margarana” perlu diberi catatan khusus. Menurut keterangan dalam Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya (2000) susunan Ajip Rosidi dkk., puisi ini memenangi sayembara puisi Hadiah Hari Peringatan Puputan Margarana (peristiwa perang di Desa Marga, Tabanan, Bali, yang mengakibatkan gugurnya I Gusti Ngurah Rai) pada tahun 1958. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, puisi “Puputan Margarana” ini tidak bertitimangsa. Namun, dari tahun pemberian hadiah, perkiraan puisi ini ditulis adalah tahun 1958 atau sebelumnya. Maka, bisa dikatakan bahwa puisi “Puputan Margarana” merupakan puisi tertua di antara puisi-puisi lain dalam Angin Bandung ini.
Paling Dikenal
Pola penulisan puisi-puisi tentang Bali mirip dengan puisi-puisi tentang Bandung, atau lebih tepatnya Tanah Sunda. Terdapat satu buah puisi yang secara jelas bertema Bandung, yakni “Angin Bandung”, yang juga dijadikan judul buku kumpulan ini. Empat puisi lainnya tentang legenda yang terkait dengan tanah Sunda. Dua di antaranya memang terkait dengan legenda terkenal dari Bandung Utara, yakni “Sangkuriang” dan “Dayang Sumbi”. Dua sisanya bertema mitologi Sunda, yakni “Mundinglaya Dikusumah” dan “Guruminda jadi Lutung”.
Di antara puisi-puisi lain dalam bagian ini, puisi “Angin Bandung”-lah yang paling dikenal. Selain dijadikan judul buku—yang barangkali merupakan puisi terbaik menurut penerbit atau penyair sendiri—juga hemat penulis merupakan puisi paling liris, paling kuat dalam menampilkan kesan suasana, dan paling apik sekaligus dinamis dalam hal versifikasi (tata bunyi). Berikut dikutipkan puisi ini secara utuh.
ANGIN BANDUNG
angin gunung angin bandung
membisikkan lagu gandrung
pelayar kembali pulang
diiring tembang yang lengang
sebelum hari memancar
menjalur jari si pacar
bagai kabut uap bumi
bagai rekah kembang mekar
harapan engelus diri
pada hidup yang menjalar
tapi jalanan yang lengang
mengendapkan debu tebal
hari-hari akan datang
akan bergelut mengental
angina gunung angin bandung
lagu murung lagu gandrung
juni 1963
Lima puisi lainnya dalam bagin pertama ini masing-masing memiliki tema berbeda. “Menusuk Langit dan Bumi” bertema percintaan atau asmara. “Irama Diri” tentang evaluasi atau refleksi diri, atau dalam istilah agama Islam dikenal dengan muhasabah. “Melintasi Lautan” tentang perjalanan menuju pulau berbeda, ditulis di atas kapal motor Bogowonto. “Orang-orang Arfak Turun dari Pedalaman” mengisahkan masyarakat yang mendiami Pegunungan Arfak di Papua. Yang terakhir adalah puisi “Bukit-Bukit di Seberang Cipancar”. Hal menarik dari puisi terakhir ini nama tempat Cipancar. Di Jawa Barat, terdapat tiga desa bernama Cipancar, yakni di Garut, Sumedang, dan Subang. Sependek penelusuran penulis, belum diketahui, Cipancar manakah yang dimaksud penyair.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (1): Menyingkap Budaya Tionghoa Bandung melalui Sebuah Tragedi
Jejak Pers, Jejak Intelektualitas Bandung
Yang Religius dan Yang Populer
Bagian kedua Suara terdiri atas puisi-puisi bertema religius. Penanda-penanda tematik ini ada yang muncul secara eksplisit maupun implisit. Yang eksplisit tampak pada idiom-idiom keagamaan, baik yang bersifat privat (Islam) maupun universal, baik pada judul maupun pada isi. Di antaranya, yang eksplisit-privat: “Dalam Mesjid”, “Assalaamu alaikum warokhmatullohi wabarokatuh”, “Ashabul Kahfi”, dan “Bersujud”, dan yang eksplisit-universal: “Nyanyian tentang Tuhan” dan “Tuhan Telah Menegurmu”. Tampaknya, puisi-puisi yang implisit bertema religiositas lebih banyak, di antaranya “Percakapan”, “Gerimis yang Diam-diam”, “Suara”, dan “Telah Jatuh Daun”. Ada satu puisi religius yang menggunakan idiom legenda Sunda, yaitu “Telah Musnah Sangkuriang”.
Lebih jauh lagi, puisi-puisi pada bagian kedua ini terdiri atas dua dimensi, yakni dimensi reflektif (ke dalam diri) dan dimensi sosial (ke luar diri). Sekurang-kurangnya, penulis mencatat adal 4 buah puisi yang berdimensi sosial, yakni ”kembalikan Dukamu”, “Kita Sudah beribu Kali Bicara”, “Hujan di Sawah Mang Padma”, dan “Tuhan telah Menegurmu”. Puisi yang disebut terakhir ini rupanya puisi karya Apip yang paling dikenal. Barangkali karena memiliki karakteristik populer, baik dalam segi tema maupun pilihan kata (diksi), seperti halnya puisi-puisi Taufik Ismail, WS Rendra, dan Mustofa Bisri, juga lirik-lirik lagu Iwan Fals dan Ebiet G. Ade, terutama yang bertema bencana, baik bencana alam maupun bencana kemanusiaan.
Di samping itu, banyak yang telah melisankan puisi ini, baik dalam acara perayaan, perlombaan, maupun sekadar hobi pribadi (lihat, misalnya, akun Youtube “Dunia Puisi 22” dan “Suka Puisi”). Puisi ini juga menjadi contoh analisis puisi dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMA, dan bahan kajian akademisi sastra (lihat, misalnya, blog http://muh-taufiq-hidayat-fib14.web.unair.ac.id/ dan https://studyassistant-id.com/ ). Berikut dikutipkan puisi ini secara utuh.
TUHAN TELAH MENEGURMU
tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan
lewat perut anak-anak yang kelaparan
tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan
lewat semayup suara adzan
tuhan telah menegurmu dengan cukup menahan
lewat gempa bumi yang berguncang
deru angina yang meaung kencang
hujan dan banjir yang melintang pukang
adakah kaudengar?
jakarta maret 1976
Populernya puisi tersebut menunjukkan sifat puisi, sebagai salah satu wujud karya seni yang padat dan awet, selalu kontekstual, dan selalu beroleh penafsiran-penafsiran baru yang segar. Puisi-puisi Apip Mustopa sangat kaya dengan unsur-unsur puitik, baik dari segi tema, latar fisik, maupun bunyi, dengan diksi yang bersahaja, namun mampu menciptakan atmosfer puitik yang kuat. Khusus pada puisi-puisi bagian Suara, puisi-puisi Apip kaya dengan amanat ketuhanan dan kemanusiaan tanpa terjatuh pada verbalisme ceramah.
Dalam khazanah sastra Indonesia, ada banyak sekali karya yang sangat bernilai namun luput dari apresiasi. Beberapa di antaranya karya para penyair asal atau yang tinggal di Bandung, mengingat terdapat banyaknya sekolah dan kampus yang menjadi tujuan belajar para pelajar dari berbagai pelosok Indonesia. Hal ini penting dikemukakan mengingat Bandung, berdasarkan fakta historis, dikenal sebagai kota tempat ‘penempaan’ para calon penyair atau sastrawan besar, baik yang berasal dari Bandung atau Jawa Barat maupun dari luar, semisal Remy Sylado, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Achdiat Kartamihardja, dan Apip Mustopa sendiri. Penulisan ulasan tentang buku Angin Bandung ini merupakan ikhtiar kecil dari upaya mencuatkan kekayaan khazanah sastra tersebut.
Informasi Buku
Judul: Angin Bandung
Pengarang: Apip Mustopa
Penerbit: Budaya Jaya, Dewan Kesenian Jakarta
Cetakan: I, 1981
Tebal: 53 halaman