JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (11): Salah Paham Utusan Jong Islamiten Bond
Soewarni menegaskan gerakannya tidak menentang agama. Namun ia ingin mengembalikan hak-hak perempuan.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
27 November 2021
BandungBergerak.id - Pertemuan gabungan kaum ibu di bioskop Oranje Casino, Bandung, 13 Oktober 1929, diwarnai perbedatan cukup sengit antara Soewarni dan Moech Tojib sebagai utusan yang mewakili kalangan agama, Jong Islamiten Bond. Moech Tojib menuding Soewarni terlalu meniru pergerakan kaum perempuan di barat, terutama gerakan feminis di Eropa dan Amerika Serikat.
Hampir sebulan pascaperdebatan itu, Soewarni tampaknya belum puas dan merasa perlu memberikan pemahaman terkait esensi perdebatan dengan Moech Tojib. Dalam Banteng Priangan 1 November 1929, Soewarni menulis surat terbuka dengan menggunakan nama Swany. Ia mengkritik balik apa yang dinyatakan oleh Tojib dalam gelaran rapat gabungan yang diselenggarakan di bioskop Oranje itu. Menurutnya:
“Sh. (Moech Tojib) di dieu sidik pisan jen salah paham, atawa henteu ngarti sama sekali kana hal-hal anoe ditjaritakeun koe koering. Koering dina eta vergadering njaritakeun koemaha baheula kajaanana kaoem istri dina hal roemah tanggana, dina hal pergaoelan hiroepna. Koering njaritakeun koemaha baheula di nagri Tiongkok oepama aja indoeng ngalahirkeun awewe, eta boedakna sok dipaehan. Koering henteu njebutkeun jen kaoem istri Indonesia koedoe toetoeroeti pergerakan kaoem istri di Amerika, Inggris, Hindoestan, Toerki d.s.t.e (Sh (Moch Tojib) di sini sangat jelas bahwa ia salah paham, atau tidak mengerti sama sekali dengan hal-hal yang diceritakan oleh saya. Saya dalam vergadering itu menceritakan bagaimana keadaan kaum perempuan zaman dulu dalam hal rumah tangga, dalam hal pergaulan hidupnya. Saya menceritakan bagaimana dulu di negeri Tiongkok misalnya ada ibu yang melahirkan perempuan, anak tersebut selalu dibunuh. Saya tidak menyebutkan bahwa kaum perempuan di Indonesia harus mengikuti pergerakan kaum perempuan di Amerika, Inggris, India, Turki dan lain-lain)” (Banteng Priangan 1 November 1929).
Sebagai ketua perkumpulan gabungan kaum ibu, Soewarni punya banyak alasan dalam memberikan sanggahan kepada Moech Tojib. Apalagi, ia dengan tegas menyatakan tidak pernah dan tidak ingin mengikuti kaum perempuan di barat. Baginya, perempuan di Indonesia punya kekuatan untuk bergerak dan dapat mengambil haknya dari laki-laki. Ia juga menyangkal bahwa dirinya tidak ingin meminta-minta kepada kaum laki-laki. Bahkan Soewarni tidak punya rencana untuk mengubah hukum-hukum yang telah dibuat oleh kaum laki-laki.
“Naha, Koering njaritakeun jen oerang koedoe toetoeroet moending? Henteu! Tapi koering njeboetkeun djeung nganahakeun ka kaoem istri di Indonesia, naha maranehna teu daek bergerak ngoedag hakna sorangan. Awewe lalaki saroea pada manoesa…Koering ngadjak ka kaoem istri soepaja babarengan njokot hakna kaoem istri. Koering henteu rek menta-menta ka kaoem lalaki. Koering henteu arek menta dirobahna wet-wet didjieun kaoem lalaki (Kenapa, saya menceritakan bahwa kita harus ikut-ikutan? Tidak! Tapi saya menyebutkan dan heran kepada kaum perempuan di Indonesia, mengapa mereka tidak ingin bergerak mengejar haknya sendiri. Perempuan dan laki-laki sama saja manusia… Saya mengajak kepada kaum perempuan agar bersama-sama mengambil haknya kaum perempuan. Saya bukan ingin meminta-minta kepada kaum laki-laki. Saya bukan ingin meminta diubah hukum-hukum yang dibuat oleh kaum laki-laki)” (Banteng Priangam 1 November 1929).
Memajukan Monogami bukan Berarti Menolak Poligami
Salah satu kritik yang dilancarkan Moech Tojib kepada kepada Soewarni dkk. bukan hanya ditujukan pada kiprah perempuan dalam ranah sosial-politik, tapi juga menyangkut hak-hak perempuan dalam ajaran Islam. Maka sebagai penganut Islam, Soewarni juga menegaskan bahwa dirinya tidak meminta agar aturan yang terdapat dalam Islam bisa diubah dengan seenaknya atas dasar kesamaan hak.
Ia juga menyinggung konsep poligami dalam Islam. Kendati Soewarni terlibat sepenuhnya dengan pergerakan perempuan, ia tidak menolak poligami. Menurutnya, pergerakan perempuan yang menggunakan dasar kebangsaan tidak bermaksud menyerang poligami. Namun ia menegaskan bahwa gerakannya ingin fokus dalam memajukan monogami. Dengan nada menyindir, Soewarni mengungkapkan bahwa Moech Tojib tidak memahami apa yang diharapkan oleh perkumpulan kaum ibu.
“Kadoewa, perkara polygami eta. Pergerakan (awewe, lalaki) anoe make dadasar kebangsaan, lain njerang polygamy tapi ngamadjokeun monogami. Ngamadjoekeun monogamy teu bisa dihartikeun merangan polygamy. Sh hidji djalma sakolaan, tangtoe ngarti kana basa. Moestahil oepama Sh henteu nyaho kana hartina eta ketjap. Moestahil Sh henteu njaho naon sababna Kandjeng Nabi Moehamad s.aw. ngawidian polygami (Kedua, mengenai urusan poligami. Pergerakan (perempuan, laki-laki) yang menggunakan dasar kebangsaan, bukan untuk menyerang poligami tapi untuk memajukan monogami. Memajukan monogamy tidak dapat diartikan dengan memerangi poligami. Sh salah satu orang terpelajar, tentu mengerti terhadap bahasa. Mustahil Sh tida tahu terhadap istilah itu. Mustahil Sh tidak tahu apa sebabnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW mengizinkan poligami)” ( Banteng Priangam 1 November 1929).
Kritik Soewarni kepada Moech Tojib memang didasarkan pada upaya membangkitkan kaum perempuan. Bahkan Soewarni menilai bahwa di Indonesia belum ada pergerakan perempuan yang patut dijadikan contoh. Ia juga menceritakan pernyataan Moech Tojib yang menyebut kaum nasionalis menyerang kaum agama. Meski demikian, kritik Soewarni tidak terlepas pada sikap Moech Tojib yang cenderung bernada sentimen atas berbagai pendapat yang muncul, terutama mengenai gagasan kaum perempuan di barat yang kemudian dijadikan contoh oleh kaum ibu di pertemuan yang berlangsung tanggal 13 Oktober itu. Dengan demikian, kekeliruan Moec Tojib nampak jadi bumerang bagi dirinya sendiri.
“Di Indonesia atjan aja hidji pergerakan kaoem iboe anoe beunang dipake tjonto djadi omongan Sh. jen kaoem istri koedoe nendjo kana kaoem istri di Indonesia katjida pisan salahna. Sabalikna koe lantaran di Indonesia kalobaan kaoem lalaki make hak sawenang-wenang, hiroepna kaoem istri di dieu teu beda ti didjieun tjotjooan. Njandoeng didjieun oelin, koe lantaran loba doenjana. Sarta kaoem lalaki anoe kitoe ari njandoeng tara moepakat djeung pamadjikanana, tapi sok soempoet salindoeng…Oge Sh. njeboetkeun jen kaoem nasional njerang Agama. Naha koe Sh. eta dihartikeunana saroea djeung njerang Agama Islam? Oepama koering njeboetkeun kitoe jen Sh. masih rendah pangartina
(Di Indonesia belum ada satu pergerakan kaum ibu yang dapat digunakan contoh untuk pernyataan Sh. bahwa kaum istri harus melihat pada kaum istri di Indonesia amat sangat salah. Sebaliknya karena di Indonesia banyak kaum lelaki yang menggunakan hak dengan sewenang-wenang, hidupnya kaum perempuan di sini tidak beda dari dijadikan mainan. Selingkuh dibuat main-main, oleh sebab banyak kesenangannya. Dan juga kaum lelaki yang seperti itu bila selingkuh tidak pernah membuat kesepakatan dengan istrinya, tapi selalu menyembunyikan dirinya. Bahkan Sh. menyebutkan bahwa kaum nasionalis menyerang Agama. Mengapa Sh. mengartikan hal tersebut dengan menyerang agama Islam? Kalau begitu saya menganggap bahwa Sh. masih rendah pemahamannya)” (Banteng Priangan 1 November 1929).
Surat terbuka yang ditulis oleh Swany memang buntut dari sebuah perdebatan di forum pertemuan gabungan kaum ibu. Tetapi hal ini cukup membuat geram Gatot sebagai petinggi PNI. Di bagian bawah surat terbuka, tertulis sebuah catatan dengan huruf kecil dari seseorang berinisial GM, yang berarti Gatot Mangkoepradja.
Gatot ingin menambahkan sanggahan Soewarni kepada Moech Tojib bahwa PNI tidak membeda-bedakan agama. Menurut Gatot, pendapat Moech Tojib yang hanya menyebut agama Islam sebagai satu-satunya agama, dapat mengakibatkan bangsa lain yang bukan agama Islam sakit hati. Bahkan bagi Gatot, Islam yang nilainya seperti emas 24 karat tidak akan pernah menyakiti sesama manusia. Itulah kenapa PNI tidak berasaskan agama, karena bagi Gatot agama bersifat luhung, sedangkan capaian kemerdekaan adalah profan.