JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (12): Sukarno Menjawab Sikap PNI
Sukarno menegaskan bahwa PNI tidak menyerang agama. Isu ini berawal dari perdebatan mengenai perjuangan perempuan dan masalah poligami.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
25 Desember 2021
BandungBergerak.id - Memasuki babak akhir di tahun 1929, Partai Nasional Indonesia terus menghadapi berbagai persoalan yang cukup pelik. Salah satunya terkait pandangan terhadap sikap PNI yang menimbulkan kritik dan kesalahpahaman.
Persoalan ini tentu menjadi sorotan bagi seluruh pengurus PNI, sebagaimana dibicarakan dalam dua pertemuan PNI Cabang Bandung yang digelar pada tanggal 27 Oktober 1929. Berlangsung di bioskop Oranje, dua pertemuan ini dihadiri oleh lebih dari 5.000 orang. Ratusan orang terpaksa harus keluar dari ruangan karena telah melebihi kapasitas ruangan dengan dikawal ketat oleh polisi (Banteng Priangan 1 November 1929).
Dengan banyaknya yang menyaksikan pertemuan terbuka ini, rakyat Pribumi telah memperlihatkan ambisi besar sebagai usaha untuk mengurangi kesengsaraan yang mereka alami. Kondisi tersebut diklaim oleh pengurus PNI sebagai momen menuju kebangkitan, mengingat anstusiasme rakyat dalam mengikuti acara yang digelar oleh pengurus PNI terlihat sangat besar.
Dalam pertemuan yang diadakan tanggal 27 Oktober itu, para peserta rapat menyodorkan persoalan yang menyangkut hubungan PNI dan agama. Timbul pertanyaan, bagaimana sikap PNI terhadap agama? Pertanyaan ini bukan saja mencuat di sela-sela rapat, namun telah muncul sebelumnya dengan tudingan kepada anggota PNI oleh segelintir orang yang mengaku Islam. Selain itu ada juga anggapan yang menyatakan bahwa PNI dinilai salah langkah jika membicarakan agama. Hal ini tentu berkaitan dengan tudingan terhadap PNI. Sehingga dari situ beredar pula stigma buruk terhadap pengurus PNI yang antipati terhadap ajaran agama.
“Loba anoe njangka, jen PNI arek njerang agama, lantaran aja hidji doea kaoem ngakoe-ngakoe Islam geus njerang ka PNI. Di loearan, ti samemehna Openbare Vergadering, geus rame anoe naroedjoem kieu: ‘Wah, PNI mowal bisa nangtoeng oepama make njaritakeun agama, sabab tangtoe njerang agama’ (Banyak yang menyangka, bahwa PNI akan menyerang agama, karena ada satu atau dua orang yang mengaku Islam sudah menyerang PNI. Sebelum Openbare Vergadering, di luar telah beredar dengan sangkaan begini: ‘Wah, PNI tidak akan bisa berdiri jika mempersoalkan agama, karena PNI tentu menyerang agama)” (Banteng Priangan 1 November 1929).
Sebagai petinggi PNI, Sukarno tentu berhak menjawab kritik yang dilontarkan kepada pihaknya. Jawaban Sukarno ini merupakan bantahan sekaligus menyikapi anggapan yang telah beredar, bahwa Partai Nasional Indonesia disebut-sebut telah menyerang agama. Sukarno menegaskan, sikap PNI jelas tidak membeda-bedakan satu agama dengan agama lainnya. Hal ini sebetulnya, pernah disinggung oleh Gatot Mangkoeparadja ketika terjadi perdebatan antara Soewarni dan Moech Tojib dalam pertemuan terbuka Perkumpulan Gabungan Kaum Ibu yang digelar tanggal 13 Oktober 1929.
Meski demikian, Sukarno perlu meyakinkan masyarakat agar tidak terlalu berlebihan dalam memandang negatif PNI. Ia menyebut PNI mempunyai sikap netral atas berbagai persoalan agama. Termasuk masalah poligami yang pernah disoroti oleh Perkumpulan Kaoem Ibu dan tidak menjadi penghalang bagi para anggota PNI. Karena PNI mempunyai upaya untuk memajukan satu istri, prinsip ini kemudian menarik perhatian dan menjadi masalah bagi rengrengan PNI. Menurut Sukarno, ungkapan memajukan satu istri dalam daftar usaha PNI, janganlah diartikan sebagai perang melawan poligami. Namun lebih kepada antisipasi karena istilah poligami kerap digunakan oleh orang-orang yang tidak perlu berisitrikan dua atau tiga (Banteng Pringan 1 November 1929). Dari sini terlihat jika Sukarno dkk. lebih memilih sikap preventif, apalagi menyangkut urusan agama.
Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (10): Salah Paham Utusan Jong Islamiten Bond
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (9): Perkumpulan Gabungan Kaum Ibu Indonesia
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (8): Masalah Tonil dan Dukungan Mahasiswa di Belanda Menjadi Bahasan Utama PNI
Penahanan Iwa Koesoema Soemantri
Selain urusan agama, pertemuan itu juga membicarakan tentang tiga persoalan oleh masing-masing pembicara. Pertama, terkait analphabetisme yang diterangkan oleh Manadi. Kedua, mengenai PNI dan asas self-help yang dibahas oleh Iskaq Tjokrohadisurjo. Ketiga, hak berkumpul dan berserikat di luar pulau Jawa yang dijelaskan oleh Sukarno, bersamaan dengan penjelasan masalah PNI dan agama. Hasil dari pertemuan ini melahirkan empat mosi yang diberi nama, Rakyat kepada Rakyat. Selain itu, mosi ini juga sebagai bentuk dukungan kepada Iwa Kusumasumantri yang sedang mendekam dalam sel tahanan, dan mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk menjalin kekuatan dan persatuan.
“Ngadenge katerangan Mr. Iwa Koesoema Soemantri anoe ajeuna di djero tahanan. Moetoeskeun njokong batin anoe sakoeat-koeatna ka doeloer Mr. I. Koesoema Soemantri. 1. Ngadjak ka rajat Indonesia ngahidjikeun diri dina kalangan pergerakan ngoeatkeun barisan oerang, soepaja atoeran eta lengitkeun. 2. Ka rajat Indonesia, ka kaoem intellect, soepaja ngorbankeun tanaga pikeun mere pangadjaran djeung didikan Nasional ka rajat Indonesia. Soepaja rajat djadi bewust kana kabangsaan eta. Geusan ngadatangkeun Indonesia merdika. 3. Ngoeatkeun azas self-help (pertjaja kana kakoeatan djeung kabisa sorangan). Ngingetkeun atoeran-atoeran anoe katjida heureutna. 4. Ngadjak ka sakabeh rajat Indonesia anoe roepa-roepa agamana, oelah rek pagirang-girang tampian. Koedoe tjengeng wekel njekel azasna. Soepaja bisa babarengan ngadatangkeun Indonesia Merdika
(Mendengar keterangan Mr. Iwa Kusumasumantri yang sekarang sedang dalam tahanan. Memutuskan untuk menyokong batin yang kuat kepada saudara Mr. Iwa Kusumasumantri. 1. Mengajak rakyat Indonesia menyatukan diri kepada kaum pergerakan dalam menguatkan barisan, agar aturan itu dihilangkan 2. Kepada rakyat Indonesia, kepada kaum intelek, supaya mengorbankan tenaga untuk memberikan pengajaran dan pendidikan nasional kepada rakyat Indonesia. Agar rakyat Indonesia menjadi sadar terhadap kebangsaan itu, untuk mendatangkan kemerdekaan Indonesia. 3. Menguatkan asas self-help. Mengingatkan aturan-aturan yang sangat sempit. 4. Mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia yang agamanya beragam, jangan berlomba-lomba untuk saling unggul. Harus memegang teguh asasnya. Agar dapat bersama-sama mendatangkan kemerdekaan Indonesia” (Banteng Pringan 1 November 1929)).