Sarapan Pagi di Bandung era Hindia Belanda
Tidak sedikit warga pribumi yang ikut makan roti seperti orang Belanda. Sebaliknya, orang Belanda berusaha beradaptasi makan nasi.
Penulis Iman Herdiana4 Juni 2021
BandungBergerak.id - Di Bandung banyak sekali toko-toko kuliner legendaris. Beberapa di antaranya berdiri sejak zaman penjajahan Belanda maupun pasca-kemerdekaan. Dari sederet toko makanan itu, ada yang khusus menyediakan menu sarapan yang dalam bahasa Belanda disebut ontbijt, misalnya Maison Vogelpoel dan Maison Bogerijen di Jalan Braga dan kini populer disebut Braga Permai. Ada pula Sumber Hidangan, Koffie Fabriek Aroma, BMC, dan seterusnya.
Keberadaan produsen-produsen menu sarapan Belanda (Eropa) itu menandakan tumbuhnya pasar atau permintaan dari konsumen atau warganya. Kebanyakan konsumen tentu saja kalangan Eropa, terutama Belanda, yang tinggal di Bandung, dan orang-orang Indo-Belanda. Meski warga pribumi pun bukan berarti anti-sarapan pagi ala menu Eropa.
Malah Sudarsono Katam mengatakan tidak sedikit warga pribumi yang mengikuti makan roti seperti orang Belanda, sebagian karena ingin merasa setara dengan orang-orang elit Eropa. Sebaliknya, orang Belanda yang makanan utamanya roti, justru berusaha beradaptasi makan nasi, terutama nasi goreng.
“Awalnya Belanda totok makan roti saja. Lama-lama mereka beradaptasi makan nasi. Para menak Bandung juga adapasi makan roti, mengikuti cara makan orang Belanda. Tapi mereka juga masih konsumsi nasi sebagai makanan pokok,” kata Sudarsono Katam, dalam Bincang Buku Produsen Ontbijt Walanda Bandoeng, di Anatomi Coffee, Bandung, Jumat (4/6/2021).
Sudarsono Katam, penulis buku Produsen Ontbijt Walanda Bandoeng, menuturkan bahwa roti tidak mampu menggantikan nasi sebagai makanan pokok bagi orang pribumi. “Berapa pun masyarakat Indonesia makan roti, akan merasa belum makan karena belum makan nasi,” tuturnya.
Di masa lalu, orang Belanda banyak mendirikan pabrik-pabrik roti untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok mereka. Pabrik-pabrik yang didirikan di Bandung bahkan memasok kebutuhan roti untuk daerah Cimahi yang merupakan basis militer kompeni waktu itu.
Namun masa itu, kata pria yang akrab disapa Pak Katam, banyaknya pabrik atau toko pembuat roti membuat kualitas maupun rasa roti menjadi sangat beragam, mulai yang paling enak sampai yang tidak enak. Belanda ingin roti berkualitas sama baiknya, maka didirikanlah pabrik roti di Cimahi.
Mulanya, pabrik roti di Cimahi hanya untuk memenuhi konsumsi militer. Lama-kelamaan, jumlah militer bertambah, dan penduduk pribumi di Cimahi pun diminta mengkonsumsi roti juga. Akhirnya produksi pabrik roti Cimahi melimpah dan bisa memasok kebutuhan roti warga Bandung.
Roti sebagai menu sarapan pagi orang Belanda di Bandung tempo dulu dilengkapi dengan aneka macam topping, seperti mentega yang terbuat dari susu, margarin nabati, keju, berbagai jenis selai, taburan cokelat, dan gula. Ada pula isi roti, mulai roti sosis, telur, dan daging.
Sumber karbohidrat lain selain roti yang biasa dijadikan menu sarapan orang Belanda adalah bolu ontbijtkoek, yaitu kue terbuat dari terigu, telur, dan rempah-rempah. Ada pula aneka kue, seperti pastry dan beragam tar.
Menu lainnya, kentang rebus, nasi goreng, havermut, sup kental dari kentang dan daging, dan nasi olahan seperti nasi goreng dan bubur. Adapun sumber protein yang melengkapi sarapan pagi terdiri dari daging asap dan lidah asap. Untuk minuman sarapan, orang Belanda biasa minum susu murni, kopi, kakau, teh, air mineral.
Di tengah menjamurnya toko menu sarapan di Bandung yang disediakan khusus untuk orang Belanda, ada pula toko yang membidik pasar pribumi atau menengah ke bawah. Salah satunya toko roti Babah Uyong di Jalan Alkateri. “Dulu sangat terkenal, cukup murah harganya. Untuk olahan menengah ke bawah laris sekali,” kata Sudarsono Katam.
Bagi warga Belanda yang tinggal di Bandung, sarapan pagi hari menjadi acara penting. Selain untuk mengisi energi, waktu sarapan biasa mereka pakai untuk membahas berbagai persoalan keluarga. “Katakanlah sarapan menjadi waktu rapat keluarga. Banyak yang melakukannya, meski tidak semua. Sarapan itu biasa dipakai bertukar pikiran dengan anggota keluarga.”
Baca Juga: Sukarno dan Suharto Sama-sama Wariskan Buku Masakan di Akhir Kekuasan
Konferensi Asia Afrika dan Sukarno di Mata Pram
Sarapan Orang Bandung
Jusair, penikmat buku kuliner yang juga menjadi narasumber bincang buku tersebut, mengatakan menu masakan menjadi perhatian khusus bagi orang-orang Belanda. Buku-buku resep masakan era kolonial memiliki keunikan tersendiri, mulai buku resep masakan Indonesia yang ditulis dalam bahasa Sunda, buku resep masak yang ditulis Dewi Sartika yang merupakan pendiri Sekolah Keuatamaan Istri, buku resep gereja, buku resep perusahaan-perusahaan.
Buku resep masakan zaman Belanda banyak yang diterbitkan tahun 1930-an. Tetapi sampai 1950, Jusair masih menemukan buku resep masakan yang terbit dalam bahasa Belanda. “Paling antik ada buku resep yang ditulis tangan. Kenapa antik, dari prosesnya menunjukkan betapa pentingnya keahlian memasak. Buku ini ditulis dengan huruf elok (tegak bersambung), sehingga harus ada teknis khusus dalam membacanya,” tutur Jusair.
Banyaknya buku resep masakan mengindikasikan bahwa masak dan makan di rumah memiliki arti penting bagi warga Belanda. Sementara bagi calon suami, keahlian memasak menjadi kriteria penting yang harus ada pada seorang perempuan. “Dahulu ada pepatah, manjakanlah suamimu mulai dari perutnya, dengan makanan enak,” kata Jusair.
Sekarang, Jusair melihat fenomena yang berubah. Orang-orang Bandung kekinian banyak yang gemar makan di luar. Tidak sedikit pusat-pusat kuliner Bandung yang kebanjiran pengunjung yang akan sarapan. Berkurangnya sarapan di rumah membuat waktu berkumpul bersama keluarga di pagi hari otomatis jadi berkurang.
Bincang buku ini bagian dari pameran buku “Anatomi Buku” hasil kolaborasi Anantomi Coffee dan LawangBuku, didukung brand tematik buku Bandung yaitu Oleh-oleh Boekoe Bandoeng. Pameran berlangsung 1 - 8 Juni 2021.