Organisasi Masyarakat Sipil Satu Suara Menolak Perppu Cipta Kerja
Penerbitan Perppu Cipta Kerja dinilai sebagai pengkhianatan terhadap konstitusi. Sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah memerintahkan pemerintah untuk taat aturan.
Penulis Iman Herdiana25 Maret 2023
BandungBergerak.id - Organisasi masyarakat sipil marak menolak pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Pengesahan Perppu menjadi undang-undang ini dinilai mengkhianati konstitusi, melawan keputusan Mahkamah Konstitusi, mengabaikan aspirasi rakyat, dan bentuk otoritarian pemerintahan Joko Widodo.
Penolakan terhadap Perppu Cipta Kerja disuarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Amnesty International Indonesia, dan Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Perppu Cipta Kerja sendiri disahkan menjadi undang-undang melalui Rapat Paripurna DPR pada Selasa (21/3/2023).
Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI Edi Faisol menyatakan, pengesahan Perppu Cipta Kerja dilakukan di tengah gelombang protes dari masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Sebab, Perppu Cipta kerja tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada November 2021.
Dalam putusan, majelis hakim MK menyebut UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Dengan keputusan ini, pemerintah tidak bisa mengambil kebijakan strategis dan berdampak luas terkait UU Cipta Kerja. MK juga memberikan kesempatan kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU selambat-lambatnya dua tahun.
“Ironinya sikap DPR dan pemerintah tidak berubah ketika mengesahkan omnibus law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” papar Edi Faisol, dalam keterangan resmi yang dikutip Sabtu (25/3/2023).
DPR dan pemerintah disebut kembali mengulangi kesalahan yang sama dalam proses legislasi ini yaitu tidak memberikan ruang partisipasi publik secara bermakna. Padahal asas pembentukan peraturan perundang-undangan agar tidak serampangan dan tergesa-gesa, serta memperhatikan betul-betul partisipasi masyarakat juga disinggung dalam putusan MK.
Ia menjelaskan, UU Cipta Kerja memiliki dampak yang besar bagi semua pekerja di tanah air, tidak terkecuali pekerja media. Sejumlah ketentuan di klaster ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja yang disahkan ini merugikan pekerja, di antaranya ketentuan soal pesangon, alih daya, pekerja kontrak, pengaturan waktu kerja dan cuti bersama.
AJI Indonesia juga menyoroti revisi Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Draf Perppu Cipta Kerja sebelum disahkan undang-undang membolehkan dunia penyiaran bersiaran secara nasional, sesuatu yang dianggap melanggar oleh Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Sebab, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh.
Atas dasar ini, AJI Indonesia menyampaikan sikap:
- Mengutuk DPR RI dan pemerintah yang telah mengesahkan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang. Pembuatan undang-undang ini telah merendahkan pilar-pilar negara hukum dan mengkhianati konstitusi negara Republik Indonesia. DPR sebagai wakil masyarakat hanya menjadi alat atau stempel pemerintah yang jelas melanggar konstitusi.
- Mendesak DPR dan pemerintah untuk kembali kepada konstitusi RI dengan membatalkan Undang-undang Cipta Kerja yang inkonstitusional dan merugikan pekerja di Indonesia, tidak terkecuali pekerja media.
- Menyerukan komunitas pers untuk membongkar berbagai pelanggaran yang dilakukan DPR dan pemerintah dalam pembuatan Undang-undang Cipta Kerja. Pasal 3 Undang-undang Pers menjelaskan bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi dan kontrol sosial. Karena itu, sudah sepatutnya fungsi kontrol sosial ini diterapkan dalam pemberitaan-pemberitaan tentang Undang-undang Cipta Kerja.
Baca Juga: UU Cipta Kerja Berdampak Buruk pada Sektor Pengupahan dan Lingkungan
Buruh Bandung Raya Desak Pencabutan UU Cipta Kerja
Turun ke Jalan, Mahasiswa Bandung Menolak Perpu Cipta Kerja
Mengabaikan Aspirasi Rakyat
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan, pengesahan Perppu Ciptaker oleh DPR dinilai sebagai langkah gegabah. Alasannya, Penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh pemerintah pada dasarnya sudah bermasalah.
“Kami melihat penerbitan Perppu ini tidak mengandung unsur kedaruratan sebagaimana klaim pemerintah. Dengan penerbitan dan pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU, Pemerintah dan DPR dapat dianggap tidak menghargai dan mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi pada November 2021,” kata Wirya Adiwena.
Apalagi, Perppu Cipta Kerja mendapatkan penolakan secara luas oleh berbagai kalangan masyarakat, mengingat luasnya dampak Perppu ini terhadap berbagai lini kehidupan. Dalam situasi ini DPR harusnya lebih berhati-hati dalam menyikapi Perppu Cipta Kerja dan tidak gegabah maupun terburu-buru dalam melakukan pengesahan.
“DPR sebagai wakil rakyat seharusnya mendengarkan aspirasi rakyat, bukan terang-terangan mengabaikannya,” katanya.
Penerbitan Perppu Cipta Kerja yang dilakukan tanpa mempertimbangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat jelas merenggut hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam urusan publik, seperti yang telah tertulis dalam Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah disahkan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005.
Kudeta atas Konstitusi
YLBHI menilai penerbitan Perppu Cipta Kerja sebagai bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi RI. Langkah ini juga semakin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo.
“Ini semakin menunjukkan bahwa presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK,” kata Ketua Umum YLBHI Muhamad Isnur, dalam keterangan resmi.
Penerbitan Perppu Cipta Kerja selain mengkhianati konstitusi juga melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis. Di sisi lain, penerbitan Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi syarat diterbitkannya perppu yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa.
Atas penerbitan Perppu tersebut, YLBHI menyatakan sikap sebagai berikut:
Mengecam penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja;
Menuntut presiden melaksanakan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK;
Menarik kembali Perppu No. 2 Tahun 2022;
Menyudahi kudeta dan pembangkangan terhadap Konstitusi.
Mengembalikan semua pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Prinsip Konstitusi, Negara Hukum yang demokratis, dan Hak Asasi Manusia.
Kronologi Penolakan Perppu Cipta Kerja
Gagasan RUU Cipta Kerja pertama kali dicetuskan Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden RI periode kedua pada 20 Oktober 2019. Pemerintah secara kilat menyusun RUU Cipta Kerja dan rampung pada 12 Februari 2020. RUU Cipta Kerja mulai dibahas oleh DPR pada 2 April 2020.
Walau mendapat berbagai penolakan dari kalangan buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil karena dianggap mengandung banyak pasal yang berpotensi merugikan publik, pembahasan RUU Cipta Kerja tetap berlangsung dan disahkan sebagai UU pada 5 Oktober 2020.
Organisasi masyarakat sipil dan individu kemudian menggugat UU Cipta Kerja ke MK. Pada sidang 25 November 2021, MK menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 itu inkonstitusional bersyarat.
MK menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak, dengan kata lain UU ini mengabaikan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam urusan publik. MK lalu memberi waktu untuk pembuat undang-undang memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun setelah putusan dibacakan.
Setahun pascaputusan MK, pemerintah tiba-tiba menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Aturan itu diteken Presiden Jokowi pada 30 Desember 2022 dan akhirnya disahkan DPR, Selasa, 21 Maret 2023.