• Berita
  • UU Cipta Kerja Berdampak Buruk pada Sektor Pengupahan dan Lingkungan

UU Cipta Kerja Berdampak Buruk pada Sektor Pengupahan dan Lingkungan

Dampak UU Cipta Kerja sudah dirasakan kaum buruh. Di bidang lingkungan, UU Cipta Kerja justru mengampuni perusak hutan.

Aksi unjuk rasa massa perwakilan 18 serikat buruh dan pekerja Jawa Barat di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat (19/11/21). Mereka menyerukan penolakan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 dan menolak UU Cipta Kerja. (Agil Mohammad Gilman Najib/BandungBergerak.id)

Penulis Luqy Lukman Anugrah1 Juli 2022


BandungBergerak.id - Mahkamah Konstitusi pada tanggal 25 November telah memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Mahkamah Konstitusi pun melarang pemerintah dalam penerbitan seluruh peraturan terkait UU Ombibus Law ini.

Namun pascaputusan MK, pemerintah terkesan tidak menghormati dan melanggar putusan MK dengan menerbitkan sejumlah aturan turunan UU Cipta Kerja. Misalnya, pemerintah menerbitkan peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2021 Tentang Struktur dan Penyelenggaran Badan Bank Tanah yang ditandatangani pada 27 Desember 2021.

Di Kota Bandung, saat ini Pemkot sedang melakukan akselerasi peraturan daerah (perda) sebagai penyesuaian terhadap terbitnya UU Cipta Kerja. Sekertaris Daerah Kota Bandung, Ema Sumarna menyatakan bahwa Pemkot bersama DPRD tengah serius melakukan revisi pada sejumlah Perda.

“UU Cipta Kerja ini mempengaruhi 40 Peraturan daerah di Kota Bandung. Sehingga perda tersebut harus diubah, dicabut, diganti dan lain-lain,” kata Ema Sumarna, melalui siaran pers Senin (27/6/2022).

Ema menambahkan evaluasi terhadap Perda harus terus dilakukan. Perda, kata Ema, harus aplikatif dan memberikan nilai kemanfaatan.

Selain itu, dampak UU Cipta Kerja sudah dirasakan terutama pada sektor pengupahan di mana kaum buruh yang paling dirugikan.

Menurut Heri Pramono dari Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBH Bandung), UU Cipta Kerja dengan status inkonstisional ini telah cacat setelah diuji secara formil di Mahkamah Konstitusi. Heri menjelaskan, putusan MK sifatnya mengikat, sehingga UU Cipta Kerja tidak bisa digunakan kerangka acuan kebijakan baik pemerintah pusat maupun daerah

Meskipun sejauh ini belum ada spesifikasi kasus laporan yang diterima LBH Bandung mengenai UU Cipta Kerja, namun menurut Heri, pemerintah sudah mengacu pada UU Cipta Kerja ini dalam beberapa kebijakannya.

“Dalam SK Penetapan upah saja itu menggunakan UU Cipta Kerja dan saya khawatir ini bisa digunakan pada sektor lain seperti lingkungan dan perizinan,” kata Heri, kepada BandungBergerak.id, Kamis (30/6/2022).

Heri juga mengkritisi putusan MK yang masih memberikan celah bagi eksekutif maupun legislatif untuk memperbaikinya.  “Secara politik dan hukum pemerintah berusaha untuk menerapkan dengan didukung juga dari keputusan MK yang setengah hati,” tutupnya.

Baca Juga: Buruh Bandung Raya Desak Pencabutan UU Cipta Kerja
Raperda RTRWP Jawa Barat Cacat Hukum
UU Omnibus Law juga Dinilai tidak Berpihak pada Buruh

Darurat Lingkungan

Di sektor lain, seperti lingkungan hidup, banyak perusahaan yang merusak lingkungan justru mendapat pengampunan dosa dengan terbitnya UU Cipta Kerja. Padahal mengacu pada point 3 amar putusan MK Nomor 91/PUU-XVII/2020 menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sampai perbaikan dilakukan.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi Indonesia) mencatat, sebanyak 222 entitas perusahaan perkebunan sawit dengan total luas 765 ribu hektare akan mendapat "pengampunan dosa" dari negara melalui mekanisme keterlanjuran yang diatur dalam pasar 110 A dan 110 B Undang-undang Cipta Kerja.

Perusahaan-perusahaan yang memenuhi persyaratan hanya harus membayarkan denda administrasi atau melunasi Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) untuk bisa bebas dari pelanggaran kehutanan yang selama ini telah mereka lakukan serta dapat mengelola kembali kawasan tersebut secara legal.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, menyatakan sSudah seharusnya pengurus negara memberikan sanksi pidana atau bahkan pencabutan izin perusahaan-perusahaan yang melakukan aktivitas perkebunan dalam kawasan hutan, bukan alah memberikan pengampunan.

“Setelah sebelumnya memberi pengampunan melalui PP 104 tahun 2015 Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, kemudian diberikan lagi pengampunan melalui UU Cipta Kerja, pasal 110 A dan 110 b. Jika diakomodasi, pelepasan hutan untuk korporasi melalui mekanisme keterlanjuran ini akan memperparah kerusakan lingkungan dan memperpanjang rantai konflik antara rakyat dan perusahaan,” terang Uli Arta Siagian, dikutip dari laman Walhi Indonesia, Jumat (1/7/2022). 

Menurutnya, beberapa perusahaan yang mengajukan mekanisme keterlanjuran ini faktanya berkonflik dengan rakyat di lapangan. Satu hal lagi, kata Uli, mengakomodasi keterlanjuran untuk korporasi ini akan menunjukkaan bahwa negara lebih tunduk pada korporasi bukan kepada konstitusi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//