• Berita
  • UU Omnibus Law juga Dinilai tidak Berpihak pada Buruh Perempuan

UU Omnibus Law juga Dinilai tidak Berpihak pada Buruh Perempuan

Kebanyakan buruh perempuan memikul beban ganda, sebagai pengasuh anak dan juga tulang punggung keluarga. Kenaikan upah yang kecil amat memberatkan mereka.

Unjuk rasa buruh dalam menuntut kenaikan upah minimum di depan Gedung Sate, Bandung, Senin (29/11/2021). Aksi ini juga dijadwalkan berlanjut hingga hari ini, Selasa (30/11/2021). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.idj)

Penulis Awla Rajul30 November 2021


BandungBergerak.idGelombang unjuk rasa buruh dalam menuntut kenaikan upah minimum tak hanya dilakukan laki-laki. Banyak buruh perempuan yang ikut turun ke jalan, seperti yang terjadi pada aksi ribuan buruh di depan Gedung Sate, Bandung, Senin (29/11/2021). Aksi ini juga dijadwalkan berlanjut hingga hari ini, Selasa (30/11/2021).

Pada aksi tersebut, terdapat lebih dari delapan mobil yang dilengkapi pengeras suara. Ribuan massa memadati sekeliling mobil, sebagian lagi memadati kawasan Gasibu. Beragam seragam serikat buruh mewarnai pemandangan pusat Kota Bandung tersebut. Begitu pun dengan bendera-bendera serikat buruh yang diangkat ke atas, berkibar-kibar. Tangan massa aksi terkepal diangakat ke atas, ketika orator aksi meneriaki hidup buruh. Massa aksi serempak berseru, “Hidup Buruh!”

Rahayu, salah seorang dari ribuan buruh perempuan yang terjun dalam aksi itu, turut menyuarakan penolakan tentang UU Nomor 21 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) dan aturan-aturan turunanya. Pengurus Departemen Perjuangan Buruh Perempuan FPPB Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Bandung Raya ini bilang kalau aturan tersebut tidak berpihak kepada buruh, melainkan pemodal.

“Pemerintah sama sekali tidak berpihak kepada rakyat. Regulasi yang dikeluarkan itu (UU Omnbus Law) itu condong melindungi dan berpihak kepada pemodal,” ungkapnya saat ditemui di lokasi aksi.

Terkait upah yang disuarakan oleh seluruh massa aksi, Rahayu bilang bahwa upah saat ini jauh dari kata layak. Sebelum lahir UU Omnibus Law, buruh sudah terpuruk. Ditambah lagi dengan hadirnya regulasi ini menambah keterpurukan yang dirasakan oleh buruh, khususnya perempuan.

“Karena regulasi yang berdasarkan Omnibus Law ini tidak ada yang memihak kepada buruh dan rakyat Indonesia. Yang katanya menciptakan lapangan karja, nyatanya banyak buruh-buruh perempuan yang di-PHK sepihak dan tidak mendapatkan haknya,” lanjutnya.

Menurutnya, kebanyakan buruh perempuan merupakan tulang punggung keluarga. Suami mereka banyak yang kesulitan mencari pekerjaan, sehingga mendorong perempuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Selain itu, buruh perempuan yang memiliki anak harus menitipkan anak kepada pengasuh. Sehingga, awal tahun nanti upah pengasuh anak pun harus dinaikkan. Tidak hanya itu, harga sembako yang naik, kontrakan rumah, dan kebutuhann lainnya harus tetap dipenuhi.

Dengan kebijakan Omnibus Law dan PP 36 tahun 2021, Rahayu bilang kenaikan upah di tempatnnya bekerja sangatlah tipis. Rahayu bekerja di sebuah perusahaan di Kota Cimahi yang jika disesuaikan dengan PP 36, kenaikan upahnya kurang dari 30 ribu Rupiah. Kenaikan tersebut sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

“Jadi hari ini bukan kenaikan upah, pergeseran juga tidak, penyesuaian juga tidak. Karena dengan upah buruh yang katanya cuma naik, tapi tidak naik, 30 ribu, itu pun dibarengi dengan biaya hidup yang mahal,” ungkapnya.

Rahayu menegaskan pihaknya akan terus mengawal keputusan yang nanti dikeluarkan oleh Gubernur Jabar, Ridwan Kamil.

Selain Rahayu, salah satu massa aksi dari DPC SPN Cianjur, Drisna (21) berharap kenaikan UMK sesuai rekomendasi bupati/walikota. Drisna merupakan buruh dari PT. Pou Yuen Indonesia. Sambil bekerja sebagai buruh, Drisna kuliah di Akademi Perawat Cianjur dan menjadi tulang punggung keluarga. Ia membiayai sekolah adiknya yang duduk di tingkat SMA dan ibunya.

Drisna bilang, upah yang diterima sekarang sangat kurang dalam memnuhi kebutuhan hidup di Cianjur. Sehingga, ia sangat berharap kenaikan yang layak di Cianjur khususnya, dan kenaikan secara umum di Jabar.

Drisna sengaja datang jauh-jauh dari Cianjur bersama rekan-rekan buruh lainnya demi memperjuangkan kenaikan upah. “Kami dengan motor dari Cianjur, alhamdulillah sangat khidmat sekali. Karena perjuangan tidak hanya diam di rumah saja. Kita tidak menitip nasib. Tapi kita berjuang bersama-sama. Semoga UMK tetap naik dan Gubernur menyatakan kenaikan UMK se-Jawa Barat,” ungkapnya, penuh semangat.

Baca Juga: Buruh Jawa Barat akan Demonstrasi 29 dan 30 November, KSPSI Mohon Maaf Jika Terjadi Kemacetan
UMP Jabar 2022 Rp 1.841.487, Buruh akan Kembali Turun ke Jalan
Buruh akan Terus Mendesak Ridwan Kamil demi Kenaikan UMP 10 Persen

Menunggu Sikap Ridwan Kamil

Massa aksi datang dari berbagai daerah se-Jawa Barat. Mereka menyuarakan kenaikan upah tahun 2022 kepada Gubernur Jabar, Ridwan Kamil berdasarkan rekomendasi 27 bupati/walikota.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit - (FSP TSK) SPSI, Roy Jinto, mengatakan bahwa bupati/walikota telah menyampaikan rekomendasi UMK kepada kepada Gubernur dengan besaran kenaikan upah tiga persen hingga 18 persen.

Roy membeberkan, pihaknya sempat ditawarkan beraudiensi dengan pihak Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Jawa Barat, namun ditolak. Roy bilang kalau mereka tidak akan beraudiensi jika bukan dengan Gubernur Jabar langsung.

Gak akan ada audiensi kalau bukan gubernur. Ada informasi (audiensi) dari dalam. Katanya dari Disnaker, cuma kita gak mau. Kita inginnya gubernur yang terima. Kita gak tahu (gubernur ke mana). Katanya gubernur sedang ada agenda lain. Makanya kita nunggu,” ungkap Roy Jinto kepada BandungBergerak saat ditemui di lokasi aksi.

Diperkirakan ada 10.000 massa aksi yang turun ke jalan. Roy bilang aksi akan terus berlanjut hari ini, Selasa (30/11/2021). Jika keputusannya tidak sesuai dengan harapan buruh, Roy bilang massa aksi yang turun ke jalan akan jauh lebih banyak lagi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//