• Berita
  • UMP Jabar 2022 Rp 1.841.487, Buruh akan Kembali Turun ke Jalan

UMP Jabar 2022 Rp 1.841.487, Buruh akan Kembali Turun ke Jalan

UMP Jabar 2022 dinilai jauh dari tuntutan buruh yang menginginkan kenaikan upah minimum minimal 10 persen.

Aksi unjuk rasa buruh dari 18 serikat pekerja Jawa Barat di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat (19/11/21). Mereka menyerukan penolakan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta turunannya. (Foto: Agil Mohammad Gilman Najib/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana20 November 2021


BandungBergerak.idUpah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Barat untuk tahun 2022 ditetapkan Rp 1.841.487,31. Nominal ini naik Rp 31.135,95 atau 1,72 persen dari UMP 2021. Di saat yang sama, penetapan UMP 2022 ini di luar tuntutan para buruh yang dalam tiga hari ke belakang getol melakukan demonstrasi menuntut kenaikan UMP minimal 10 persen.

Ketua Umum FSP TSK - SPSI Roy Jinto tegas menolak kenaikan upah yang hanya di bawah 2 persen itu. SPSI telah menentukan langkah dalam beberapa hari ke depan, yaitu melakukan mogok kerja dan kembali turun ke jalan.

Penetapan UMP Jabar sendiri disampaikan Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Setiawan Wangsaatmaja dalam jumpa pers, Sabtu (20/11/2021). UMP Jabar 2022 ditetapkan berdasarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 561 Tahun 2021. Kepgub ini antara lain mengacu pada Undang-undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Setiawan mengatakan, kenaikan 2 persen UMP Jabar 2022 dihitung berdasarkan formula yang diatur dalam PP 36 Tahun 2021, seperti batas atas dan batas bawah upah minimum, termasuk upah minimum tahun berjalan.

Dari formulasi itu, ada 11 kabupaten dan kota di Jawa Barat yang tidak mengalami kenaikan karena dinilai telah sesuai dengan formula batas atas dan batas bawah. “Apabila saat ini sudah dilampaui oleh UMK tahun berjalan artinya kita harus mengikuti upah minimum tahun berjalan,” katanya, dalam jumpa pers Sabtu (20/11/2021).

Selebihnya, ada 16 kabupaten dan kota di Jawa Barat yang mengalami kenaikan UMP. Rata-rata kenaikannya 1,06 persen. Kabupaten Karawang menjadi daerah dengan UMK tertinggi, sedangkan Kabupaten Pangandaran sebagai daerah dengan UMK terendah. Posisi ini kurang lebih sama dengan UMK 2021.

Setiawan mengimbau kepada pengusaha agar menaati penetapan UMP. Menurutnya, pada penetapan UMP tahun ini pengusaha tidak bisa melakukan penangguhan pembayaran upah.

“Para pengusaha diharapkan akan segera melaksanakan yang telah diundangkan baik oleh Jabar maupun Kabupaten Kota. Karena sekali lagi semuanya mengandung sanksi,” katanya.

Ia menjelaskan, sistem pengupahan masuk ke dalam program strategis nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014. Disebutkan bahwa pemerintah atau kepala daerah wajib melaksanakan program strategis nasional tersebut.

“Apabila kita tidak melaksanakan bisa kena sanksi. Gubernur tidak melaksanakan akan dikenai sanksi oleh menteri (Mendagri), apabila bupati/wali kota tidak melaksanakan akan disanksi gubernur. Saat ini Pemda Provinsi Jawa Barat sedang melaksanakan (amanat undang – undang),” ujar Setiawan. 

Sementara kepada pekerja, Sekda sangat memahami apa yang dirasakan dan dialami, namun saat ini perekonomian sedang turun akibat pandemi COVID-19. Jabar sedang akan bangkit seiring penurunan kasus, dan kebijakan pengupahan ini diharapkan menjadi solusi bersama.

“Program strategis pengupahan satu kebijakan bagaimana kita mendapatkan win win solution. Kita tetap bisa bekerja begitu pun pengusaha. Jangan sampai kita semangat menaikkan upah pekerja, tapi di satu sisi banyak industri terpukul akibat pandemi,” jelas Setiawan.

Baca Juga: Buruh akan Terus Mendesak Ridwan Kamil demi Kenaikan UMP 10 Persen
Buruh Jabar Menuntut Kenaikan Upah Minimum 10 Persen dan Serukan Mogok Nasional

SPSI Menolak Kenaikan UMP Jabar 2 Persen

Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK - SPSI) termasuk yang pertama kali menyuarakan penolakan kenaikan UMP Jabar yang dirumuskan berdasarkan PP 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Sejak awal, SPSI menolak PP yang merupakan turunan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Ombibus Law.

“Intinya, kenaikan UMP Jabar masih tetap menggunakan formula PP 36. SPSI jelas menolak penetapan upah minimum berdasarkan PP 36 baik UMP maupun UMK yang akan ditetapkan paling lambat 30 November nanti,” kata Ketua Umum FSP TSK - SPSI Roy Jinto, saat dihubungi via telepon.

SPSI telah menentukan langkah selanjutnya jika kemudian pemerintah kabupaten dan kota di Jawa Barat melakukan penetapan UMK dengan skema PP 36.

“Kita pastikan mogok atau aksi besar-besaran di seluruh kabupaten kota Jawa Barat khususnya di daerah-daerah penyangga industri sebagai bentuk protes kita pada pemerintah ketika memaksakan untuk memakai PP 36,” ungkapnya.

PP 36 merupakan turunan UU Cipta Kerja yang kini masih dalam proses uji materi di Mahkamah Konstitusi, kata Roy Jintjo. Sebagai negara hukum, Roy menyatakan seharusnya pemerintah menghormati proses uji materil tersebut dengan menunda pelaksanaan UU Cipta Kerja.

Roy juga mengritik data BPS yang diklaim pemerintah mejadi landasan kenaikan UMP. Sebab ada perbedaan data di beberapa BPS kabupaten kota. Selain itu, pertumbuhan ekonomi secara nasional maupun Jawa Barat juga naik.

“Perumbuhan ekonomi Indonesia 7 persen. Jabar saja tumbuh 6 persen.  Ketika tumbuh kok buruh gak naik upahnya, kan aneh,” katanya.

Jika pertumbuhan ekonomi Jawa Barat naik 6 persen, dan dengan menghitung jumlah imflasi maka paling tidak kenaikan upah buruh mestinya antara 7-9 persen. Itu sebabnya SPSI menuntut kenaikan upah minimal 10 persen karena sebagai angka kebutuhan riel para pekerja di tahun depan.

Roy menegaskan, antara tanggal 25, 29 dan 30 November para buruh akan melakukan mogok dan demonstrasi yang dipusatkan di Gedung Sate, Bandung. “Buruh terpaksa melakukan ini (mogok),” katanya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//