• Berita
  • Buruh akan Terus Mendesak Ridwan Kamil demi Kenaikan UMP 10 Persen

Buruh akan Terus Mendesak Ridwan Kamil demi Kenaikan UMP 10 Persen

Ridwan Kamil diminta menetapkan UMP tanpa melalui PP Nomor 36 Tahun 2021. Dipihak buruh, banyak yang mendapat potongan upah selama pagebluk.

Aksi unjuk rasa buruh dari 18 serikat pekerja Jawa Barat di depan Gedung Sate, Bandung, Jumat (19/11/21). Mereka menyerukan penolakan penetapan UMP 2022 dan menolak UU Cipta Kerja beserta turunannya. (Agil Mohammad Gilman Najib/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki19 November 2021


BandungBergerak.idRatusan buruh Jawa Barat kembali berunjuk rasa menolak kenaikan Upah Minimum Provinsi atau UMP 2022, di Gedung Sate, Bandung, Jumat (19/11/2021). Buruh menilai penetapan UMP 2022 yang dilakukan pemerintah pusat akan bersinggungan dengan UMK yang akan ditetapkan kabupaten/kota.

Selain itu, mereka juga menyuarakan pembatalan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law dengan segala aturan turunannya yang dianggap sebagai sumber masalah.

Seorang buruh asal Ciparay, Winda Raehuni (37) meyakini bahwa penetapan UMP yang ditawarkan pemerintah hanya bakal menguntungkan pihak perusahaan. Sementara hak-hak buruh dikhawatirkan semakin tersudut dengan nominal yang tidak sepadan tanpa ada relaksasi kebijakan.

“Kita jelas menolak dengan keras UMP yang ditetapkan, sangat jauh dari sistem yang ideal buat pekerja. Bukan semakin baik, malah lebih buruk. Yang kita suarakan itu bukan cuma hak buruh pabrik saja, tapi seluruh pekerja,” ungkapnya kepada Bandungbergerak.id di lokasi.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan RI Ida Fauziyah telah menetapkan nominal rata-rata kenaikan UMP pada tahun 2022 berada di angka 1,09 persen. Penetapan ini diputuskan berdasarkan data kenaikan upah yang telah dirangkum oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021.

Kenaikan UMP 2022 sebesar 1,09 persen itu menuai gelombang unjuk rasa di mana-mana, sejak kemarin. Mereka menuntut kenaikan Upah Minimum Provinsi minimal 10 persen.

Pada unjuk rasa buruh kali ini, massa buruh didominasi oleh buruh dari Bandung Raya, meski ada juga perwakilan dari Cianjur, Garut, Kuningan, dan beberapa kabupaten/kota lainnya. Namun, berkali-kali hujan mengguyur lokasi sejak pukul 12.00 sehingga sebagian massa sempat membubarkan diri.

Sekitar pukul 1 siang, para buruh mulai beraksi dan membacakan beberapa refleksi dan poin-poin tuntutan yang diajukan. Mayoritas buruh yang hadir berasal dari Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK - SPSI) Jawa Barat. Ada pula massa dari Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) perwakilan Jawa Barat dan sejumlah buruh yang mengaku tidak terafiliasi serikat apa pun.

Ketua Umum FSP TSK - SPSI Roy Jinto menegaskan bahwa pihaknya bakal terus melakukan serangkaian aksi penolakan jika putusan kenaikan UMP 2022 disahkan. Ia berharap agar Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bisa merancang kenaikan nilai UMP tanpa melalui mekanisme PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

“Kebijakan ini sama sekali tidak berpihak kepada buruh. Kita bakal terus mendesak supaya gubernur (Jawa Barat) tidak mengikuti mekanisme yang sama,” katanya saat dijumpai di lokasi.

Aksi serupa telah dilakukan lebih dulu oleh soldaritas massa dari Serikat Pekerja Nasional Jawa Barat pada Rabu (17/11/2021) di lokasi yang sama. Satu hal utama yang disuarakan kedua aksi tersebut sama, yakni menolak kebijakan yang dianggap berpotensi mengancam ha-hak seluruh pekerja di Indonesia.

Aksi unjuk rasa buruh dari 18 serikat pekerja Jawa Barat di depan Gedung Sate, Bandung, Jumat (19/11/21). Mereka menyerukan penolakan penetapan UMP 2022 dan menolak UU Cipta Kerja beserta turunannya. (Agil Mohammad Gilman Najib/BandungBergerak.id)
Aksi unjuk rasa buruh dari 18 serikat pekerja Jawa Barat di depan Gedung Sate, Bandung, Jumat (19/11/21). Mereka menyerukan penolakan penetapan UMP 2022 dan menolak UU Cipta Kerja beserta turunannya. (Agil Mohammad Gilman Najib/BandungBergerak.id)

Malapetaka Industri Tekstil

Selama pagebluk Covid-19 melanda Jawa Barat, banyak buruh yang kehilangan pekerjaan karena alasan pengurangan jumlah karyawan. Ditambah, banyak pula buruh yang mengalami pemotongan upah secara sepihak.

Kasus yang dialami buruh itu disaksikan langsung oleh Winda Raehuni yang bekerja di salah satu perusahaan tekstil di wilayah Bandung Selatan. Hampir setengah dari jumlah keseluruhan karyawan di tempatnya bekerja tertimpa kebijakan pengurangan karyawan. Ia termasuk salah satu yang beruntung karena masih tetap bekerja meski upahnya dipotong beberapa kali tanpa ada perundingan sebelumnya.

Adanya kebijakan pengurangan karyawan, otomatis jumlah para pekerja berkurang. Namun perusahan tetap menuntut bobot kerja yang sama seperti sebelumnya. Dari situlah pihak perusahaan mengambil kesempatan untuk memotong nominal upah berdasarkan penilaian produktivitas masing-masing pekerjanya.

“Keadaan (pagebluk) ini kayak sengaja dimanfaatkan oleh oknum-oknum perusahaan, mungkin mereka berpikir kami lebih butuh jadi bisa seenaknya. Ya, memang butuh tapi bukan berarti bisa seenak jidat. Jadinya tidak manusiawi,” tutur Winda.

Winda berharap kasus-kasus kesewenang-wenangan perusahaan terhadap buruh bisa terus dikawal oleh seluruh masyarakat, khususnya awak media agar hak-hak kaum buruh bisa terus disuarakan. Terkait aksi, Winda juga setuju akan terus mendesak pemerintah agar bisa melahirkan generasi penerus yang kritis terhadap rezim dan sadar akan haknya masing-masing sebagai warga negara.

Baca Juga: Buruh Jabar Menuntut Kenaikan Upah Minimum 10 Persen dan Serukan Mogok Nasional
Usai Lebaran, THR 1.142 Buruh di Bandung Belum Dibayar
Di Tengah Pandemi, Buruh Bandung Digugat Ratusan Juta Rupiah oleh Perusahaan Sendiri

Aksi unjuk rasa buruh dari 18 serikat pekerja Jawa Barat di depan Gedung Sate, Bandung, Jumat (19/11/21). Mereka menyerukan penolakan penetapan UMP 2022 dan menolak UU Cipta Kerja beserta turunannya. (Agil Mohammad Gilman Najib/BandungBergerak.id)
Aksi unjuk rasa buruh dari 18 serikat pekerja Jawa Barat di depan Gedung Sate, Bandung, Jumat (19/11/21). Mereka menyerukan penolakan penetapan UMP 2022 dan menolak UU Cipta Kerja beserta turunannya. (Agil Mohammad Gilman Najib/BandungBergerak.id)

Tetap Mengacu UU Cipta Kerja 

Melalui siaran persnya, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memastikan akan menaikkan UMP tahun 2022 Jawa Barat. Namun penetapan UMP ini akan berdasarkan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dan turunannya PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Ridwan Kamil menjelaskan, kebijakan pengupahan justru bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada buruh agar upahnya tidak dibayar terlalu rendah akibat posisi tawar mereka yang lemah dalam pasar kerja.

Menurut Gubernur, kebijakan UMP ini merupakan salah satu program strategis nasional yang ditujukan sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan serta mendorong kemajuan ekonomi Indonesia melalui pengupahan yang adil dan berdaya saing.

"Jadi kesimpulannya kalau ditanya apakah untuk tahun depan UMP akan naik? Iya kesimpulannya naik," kata Ridwan Kamil di Gedung Pakuan, Kota Bandung, Kamis (18/11/2021)

Ridwan Kamil juga mengingatkan, penetapan UMP 2022 hanya untuk pekerja atau buruh yang umur kerjanya satu tahun. Ada pun bagi buruh dengan masa kerja di atas 1 tahun, maka pengupahan yang berlaku dengan menggunakan struktur dan skala upah.

"Kita juga mengingatkan bahwa upah minimum ini hanya untuk pekerja yang umurnya satu tahun dalam usia kerjanya. Sehingga kepada buruh yang di atas satu tahun usia kerjanya itu bisa mengajukan kenaikan yang tidak sama seperti di PP Nomor 36 Tahun 2021 dengan bernegosiasi langsung di perusahaannya. Jadi bisa naiknya sesuai dengan kesepakatan," kata Ridwan Kamil.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//