• Berita
  • Buruh Jabar Menuntut Kenaikan Upah Minimum 10 Persen dan Serukan Mogok Nasional

Buruh Jabar Menuntut Kenaikan Upah Minimum 10 Persen dan Serukan Mogok Nasional

Kenaikan upah minimum sebesar 1,09 persen mengacu pada UU Cipta Kerja yang kini tengah diuji di Mahkamah Konstitusi.

Aksi unjuk rasa massa yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) Jawa Barat di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Rabu (17/11/21). Massa buruh menuntut kenaikan upah minimum 2022 sebesar 10 persen. (Agil Mohammad Gilman Najib/BandungBergerak.id)

Penulis Tim Redaksi17 November 2021


BandungBergerak.idPemerintah menyatakan upah minimum nasional naik sebesar 1,09 persen berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Kebijakan ini langsung menuai protes dari kalangan buruh. Mereka menolak kenaikan upah minimum yang dinilai amat kecil. Rencana mogok nasional pun bergulir.

Di Jawa Barat, penolakan muncul dari sejumlah gabungan serikat pekerja, antara lain Serikat Pekerja Nasional (SPN) Jawa Barat yang menyalurkan aspirasi mereka melalui demonstrasi yang diikuti sekitar 2.000 orang di depan Gedung Sate, Bandung, Rabu (17/11/2021).

Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI) pun merilis tuntutan kenaikan upah minimum 10 persen. Jika tidak, FSP TSK SPSI akan melakukan mogok nasional.

Sementara aksi buruh dari SPN Jabar yang mengepung Gedung Sate berasal dari 18 Dewan Pengurus Cabang (DPC). Jumlah ini baru perwakilan-perwakilan saja. Mereka siap menurunkan massa ke jalan lebih besar lagi jika tuntutan mereka tak dipenuhi.

Ketua DPD SPN Jabar, Dadan Sudiana menyampaikan bahwa SPN menolak penentuan UMP/UMK menggunakan formulasi PP no. 36 tahun 2021. Dadan juga menggarisbawahi peran Pemprov Jabar yang tidak melakukan koordinasi dengan SPN.

“Pemprov Jabar ini selama hubungan industrial, Gubernur udah jarang sekali bertemu dengan kita, udah sulit berdiskusi, berdialog dengan kita untuk penetapan ini. Jadi ini (aksi) akan terus bergelombang. Karena Gubernur sudah tidak berkomunikasi dengan serikat-serikat buruh,” ungkap Dadan Sudiana, saat ditemui di Gedung Sate.

Dadan menyampaikan, pihaknya akan terus melakukan serangkaian aksi untuk menarik perhatian Gubernur Jawa Barat, seperti konvoi dari Jalan Pasteur ke Gedung Sate yang dilakukan tadi pagi. Menurutnya ruang-ruang diskusi dan dialog dengan Gubernur sudah nyaris tidak ada.

Selain itu, Dadan juga menyampaikan aksi-aksi di daerah akan terus dilakukan. Rencananya SPN akan melakukan aksi lanjutan yang lebih besar pada 28 November di Bandung sekaligus melakukan aksi mogok kerja.

“Ke depan tanggal 28, 29, 30 kita akan melakukan aksi mogok total se-Jawa Barat, keluar dari mesin-mesin. Kita datang ke Bandung semua. Ya hari ini baru pengurus-pengurusnya saja. Kita bisa bawa massa lebih banyak, dari serikat-serikat buruh lainnya juga,” ungkapnya.

Menolak PP 36 Tahun 2021

Dadan meminta pemerintah daerah agar tidak menetapkan upah minimum berdasarkan PP/36 2021. Menurutnya, penentuan UMP/UMK harus didasari pada perhitungan kebutuhan hidup layak dengan persentase kenaikan minimal 10 persen.

Dadan juga meminta agar dikeluarkan peraturan gubernur (pergub) tentang struktur skala upah. Pergub ini menurutnya dibutuhkan sebagai ketegasan pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan di Jawa Barat menerapkan struktur skala upah bagi buruh di atas satu tahun.

“Saya minta kepada Gubernur, kami rakyat Jawa Barat, jangan hanya takut kepada Mendagri yang akan memberikan sanksi kepada kepala daerah yang tidak menentukan sesuai dengan PP nomor 36. Kita rakyatnya, kita yang memilih, ayo hati nuraninya diperlihatkan. Jangan takut sama kehilangan jabatanlah istilahnya. Liat masyarakatnya upahnya yang tidak naik, lagi pandemi, dirumahkan, sekarang malah upahnya tidak naik,” katanya.

Pantauan BandungBergerak.id, massa aksi meminta bertemu Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil untuk berdialog. Namun, pihak keamanan Gedung Sate menyatakan Gubernur Jabar sedang tudak berada di kantor. Massa aksi masih bersikeras menunggu Ridwan Kamil.

Selagi menunggu, perwakilan massa terus berorasi menyampaikan, agar seluruh DPC SPN terus mengawal penetapan UMK agar sesuai dengan upah layak di masing-masing daerah di Jawa Barat.

Baca Juga: Pertanyaan tentang Kemerdekaan dari Buruh dan warga Tamansari Bandung
Data Upah Minimum Kota (UMK) Kota Bandung 2002-2021, Mandek di Tahun Pandemi

Aksi unjuk rasa massa yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) se-Jawa Barat di depan Gedung Sate, Bandung, Rabu (17/11/21). Massa buruh menuntut kenaikan upah minimum 2022 sebesar 10 persen. (Agil Mohammad Gilman Najib/BandungBergerak.id)
Aksi unjuk rasa massa yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) se-Jawa Barat di depan Gedung Sate, Bandung, Rabu (17/11/21). Massa buruh menuntut kenaikan upah minimum 2022 sebesar 10 persen. (Agil Mohammad Gilman Najib/BandungBergerak.id)

Serikat Buruh Cianjur Meminta Kenaikan Upah 21 Persen

Dari 2.000-an massa aksi SPN, DPC Kabupaten Cianjur membawa 900 orang. Ketua DPC SPN Kabupaten Cianjur, Hendra Malik menyampaikan bahwa pada dasarnya mereka menuntut agar Gubernur Jabar tidak menetapkan kenaikan upah sesuai PP nomor 36.

Secara spesifik, DPC SPN Kabupaten Cianjur meminta kenaikan upah sebesar 21%. Alasannya, Cianjur merupakan kabupaten dengan UMK terendah dari tiga kabupaten sekitar, yaitu Purwakarta, Sukabumi, dan Bandung Barat.

“Kalau tuntutan kita kenaikan 21 persen untuk Cianjur. Karena nanti keluar rekomendasi dari Bupati dan diajukan ke Gubernur, dan yang akan mengeluarkan SK nanti Gubernur. Makanya kita meminta kepada Gubernur untuk tidak menentukan sesuai dengan PP 36. Tapi Gubernur mengeluarkan diskresi, ini untuk kepentingan masyarakat Jawa Barat,” ungkap Hendra Malik.

Hendra menambahkan, jika Gubernur Jabar tetap menetapkan UMK sesuai regulasi PP 36, maka buruh Cianjur akan melakukan mogok kerja.

“Saya atas nama ketua DPC SPN Kabupaten Cianjur akan mengerahkan massa seluruh anggota SPN Cianjur untuk mogok kerja. Bahkan akan melakukan sweeping dan memastikan semuanya datang ke Bandung,” tegasnya.

Buntut Panjang UU Cipta Kerja

Salah seorang buruh di PT. Sugih yang memproduksi alat kesehatan, Eli (54) menyampaikan bahwa ia meminta kenaikan upah yang lebih layak. Eli yang sudah bekerja di PT. Sugih selama 20 tahun ini meresahkan kehadiran UU Cipta Kerja dan turunannya, Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2021.

“Meresahkan. Penginnya naik upah. Kan sekarang biaya hidup juga sudah naik, penginnya gaji juga naik. Nanti gimana sama pensiunan, biaya hidup, dan yang lain,” ungkap Eli, saat ditemui BandungBergerak di lokasi aksi.

Sebelum adanya UU Omnibus Law, peraturan mengenai upah diatur melalui PP Nomor 78 Tahun 2015. Secara umum, perubahan antara PP Nomor 78/2015 dan PP Nomor 36/2021 di antaranya sebagai berikut:

1. Upah bagi buruh dengan masa kerja satu tahun atau lebih berpedoman pada struktur dan skala upah. Sebelumnya diatur bahwa upah dapat dirundingkan secara bipartif antara pekerha dengan perusahaan

2. Upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, meliputi paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah. Sebelumnya diatur upah ditetapkan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi

3. Upah disesuaikan setiap tahun dengan batas atas dan batas bawah. Ketentuan batas atas didasarkan pada rata-rata konsumsi perkapita dan rata-rata banyaknya ART yang bekerja pada setiap rumah tangga. Data ini diambil dari wilayah bersangkutan. Sebelumnya diatur bahwa Gubernur dapat menetapkan UMP/UMK berdasarkan hasil kesepakatan asosiasi pengusaha dengan serikat buruh pada sektor yanh bersangkutan. Penetapan juga bisa mendapatkan saran dari Dewan Pengupahan.

Seruan Mogok Kerja FSP TSK SPSI

Protes serupa dilontarkan Ketua Umum FSP TSK SPSI Roy Jinto Ferianto. Ia mengatakan, PP 36/2021 tidak lain produk hukum turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kini sedang dalam proses uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Pemerintah harus menghormati proses hukum di MK dengan menunda pelaksanaan UU Cipta Kerja termasuk peraturan turunannya sampai adanya putusan MK baik secara formil dan materil,” terang Roy Jinto Ferianto, dalam siaran persnya.

FSP TSK SPSI juga tidak sepakat dengan aturan ambang atas dan ambang bawah dalam penetapan upah minimum. Jika aturan ini diterapkan, Roy menilai bahwa upah buruh beberapa tahun ke depan tidak akan naik, kalaupun naik hanya berkisar 18 ribu rupiah.

Ia pun menyatakan bahwa serikat pekerja/serikat buruh di tingkat nasional dan tingkat daerah sepakat untuk melakukan mogok daerah dan mogok nasional, dengan tuntutan: MK harus membatalkan UU Cipta Kerja, dan penetapan upah minimum 2022 sebesar 10 persen.

“Mogok nasional dan mogok daerah terpaksa kaum buruh lakukan karena pemerintah memaksakan kehendak untuk mendegradasi hak-hak kaum buruh,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyatakan upah minimum 2022 secara nasional naik sebesar 1,09 persen, sesuai PP RI 36/2021 tentang Pengupahan. Ketentuan ini bakal diterapkan untuk penetapan nominal upah terendah bagi para pekerja baru. Salah satu kriteria pekerja baru yang dimaksud adalah mereka yang masa kerjanya masih di bawah satu tahun di sebuah perusahaan.

Bagi para pekerja dengan masa pengalaman kerja lebih dari satu tahun tidak dikenakan aturan kenaikan UMP per tahun. Besarannya mengikuti skala upah per wilayah masing-masing. Tujuan utamanya yaitu mengelompokkan nominal upah sesuai kinerja per individu dengan harapan mendorong peningkatan produktivitas pada kaum buruh.

“Pekerja dengan masa kerja lebih datu satu tahun menggunakan upah actual atau efektif berdasarkan skala masing-masin perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, kenaikan upah pekerja bergantung produktivitas yang dihasilkan,” papar Ida dalam konferensi pers virtual, Selasa (16/11/2021).

*Liputan ini hasil kerja tim reporter BandungBergerak.id: Alwa Rajul dan Bani Hakiki 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//