Pertanyaan tentang Kemerdekaan dari Buruh dan warga Tamansari Bandung
Warga Kota Bandung mempertanyakan janji-janji kesejahteraan dari pemerintah. Sementara suara kritis masyarakat masih sering terancam dibungkam.
Penulis Bani Hakiki21 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Pasca-hari kemerdekaan ke-76 tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 17 Agustus 2021 lalu, masyarakat khususnya warga Kota Bandung masih menanti kesejahteraan yang dijanjikan pemerintah. Janji yang sejatinya tertuang dalam konstitusi itu dinilai belum terealisasi.
Salah satu isu yang disoroti masyarakat adalah belum jalannya mandat Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Dalam lima tahun terakhir, penyelewengan UUPA terjadi di beberapa titik penggusuran Kota Bandung.
Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung mengklaim bahwa warga korban penggusuran tidak memiliki dokumen akta jual beli (AJB) atas tanah yang mereka tinggali. Klaim ini untuk korban penggusuran Tamansari yang berlangsung antara 2017-2019.
Selain kehilangan tempat tinggal, sebagian warga Tamansari juga kehilangan mata pencarian karena harus mengungsi ke wilayah lain. Seorang warga yang bertahan, Eva Eryani dari Forum Tamansari Berjuang menganggap Pemkot Bandung tidak punya itikad baik dalam menyelesaikan konflik sesuai jalur dan aturan hukum yang berlaku.
“Poin utama yang selalu saya ingat adalah bagaimana pemkot (Bandung) ini akan mentaati hukum dan mensejahterakan rakyatnya. Dari dulu saya meminta dua poin itu, ada di mana? Warga tidak meminta lebih, kecuali hak-haknya sesuai UU (dasar) tahun 45 Pasal 33,” ungkap Eva Eryani, dalam diskusi virtual bertajuk “Merdeka?”, Jumat (20/8/2021).
Diskusi secara daring yang diinisiasi oleh Ruang Hidup Institut itu dihadiri narasumber Aan Aminah dari Serikat Buruh F-Sebumi, Fayadh dari Aksi Kamisan Bandung, Aziz dari Serikat Petani Pasundan, dan Heri Pramono dari LBH Bandung sebagai moderator.
Pada 2020 lalu, LBH Bandung diketahui telah mencatat lebih dari 100 laporan pengaduan atas penindasan terhadap kaum pekerja. Laporannya mulai dari pemotongan upah hingga pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh perusahaan tertentu.
Aan Aminah menganggap sejumlah permasalahan buruh di lapangan itu merupakan cerminan bahwa Indonesia masih jauh dari kata “merdeka”. Bentuk-bentuk penindasan itu juga terjadi pada masyarakat umum.
“Saya rasa, kemerdekaan ini tidak akan pernah kita nikmati selama pemerintahan kita dipimpin kapitalis. Kemerdekaan akan terwujud ketika masyarakat sudah sadar akan ketertindasannya. Mereka (pemerintah) hanya memberikan janji-janji palsu demi mendapatkan kursi (jawaban),” tegas Aan Aminah.
Menurut Aan, masih banyak masyarakat yang belum bisa merasakan kekayaan alamnya sendiri karena pusaran yang condong berpihak ke para pemangku kebijakan dengan kepentingan pribadi. Padahal hasil kekayaan alam sendiri bagi masyarakat adalah hak mendasar yang seharus mereka dapatkan. Maka dari itu, warga tidak bisa mengandalkan pemerintah dan perlu melakukan inisiatif sendiri untuk menyelamatkan hak hidupnya masing-masing.
Baca Juga: Pameran Lukisan Tisna Sanjaya di antara Timbunan Limbah Plastik
Suatu Sore Bersama Jihan dan Ziddan
Pembungkaman Pendapat dan Ekspresi
Permasalahan kesejahteraan masyarakat tidak hanya berhenti di penyelewengan undang-undang dan gagalnya pemenuhan hak-hak dasar. Ada pula sejumlah pekerjaan rumah lainnya, misalnya kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dewasa ini dirasa semakin terancam pembungkaman.
Pembungkaman terjadi baik di dunia nyata maupun dunia virtual. Hal tersebut terlihat dari sejumlah kasus pembubaran aksi atau unjuk rasa yang dilakukan masyarakat, bahkan tidak sedikit pula yang terkena tindak represif dari oknum aparat. Sementara di dunia virtual, khususnya di media sosial, rentetan kasus pemanfaat UU ITE yang dikenal dengan pasal-pasal karetnya telah banyak menjerat suara-suara kritis yang diungkapkan masyarakat.
Aziz dari Serikat Petani Pasundan mengutarakan, berbagai pembungkaman suara terhadap masyarakat sebagai sebuah dalih untuk menjaga citra pemerintahan. Ditambah, pihak pemerintah juga tak jarang menggiring opini-opini yang menyudutkan suara kritis masyarakat.
“Sekarang mau gimana kita bisa berpendapat jika untuk menyuarakannya saja sudah sulit? Kalau kita lihat aksi-aksi di lapangan, kita malah sering mendapat kekerasan,” imbuhnya.
Bagi Aziz, kemerdekaan di Indonesia hanya sebatas hitungan angka semata karena kesejahteraan telah menjadi hak eksklusif untuk sebagian kalangan. Meskipun telah melewati masa reformasi, masih banyak sifat-sifat kolonial yang melekat di sejumlah kebijakan.
Pendapat serupa diungkapkan seorang pegiat Aksi Kamisan Bandung, Fayadh yang mengatakan bahwa selama masih ada Kamisan berarti negeri ini tidak baik-baik saja. Kamisan bukan hanya wadah menagih janji-janji pemerintah di ranah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), tapi juga sebagai media bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat.
Aan Aminah menambahkan, segala bentuk aksi yang dilakukan masyarakat merupakan cerminan nyata bagaimana kondisi kesejahteraan di Indonesia hari ini. Sayangnya, suara-suara itu masih dianggap sepele, bahkan seringkali dituduh sebagai pengganggu stabilitas sosial.
“Selama negara bermasalah, kita akan terus melihat aksi Kamisan di depan Gedung Sate. Jika negara kita sudah merdeka, mungkin tidak akan ada lagi kawan-kawan yang corat-coret (mural) di jalanan. Karena (itu) adalah salah satu bentuk keresahan masyarakat,” tegasnya.