Pemuda Bandung Termakan Revolusi, Sejarah Jalan Mohamad Toha dan Mohamad Ramdan
Mohamad Toha dan Mohamad Ramdan, dua pemuda di zamannya, mereka mewarnai rangkaian peristiwa Bandung Lautan Api.
Penulis Iman Herdiana5 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Antara Januari hingga Maret 1946, tulis John R.W. Smail, situasi di Bandung relatif tenang. Walaupun terjadi kebuntuan diplomasi antara Inggris dan Indonesia. “Bandung tetap terbagi dua dengan tidak nyaman,” kata Smail, dalam buku Bandung Awal Revolusi 1945-1946 (cetakan 2011).
Kurun tersebut sebenarnya mendekati puncak peristiwa yang dikenal Bandung Lautan Api. Inggris yang berperan sebagai “pasukan perdamaian” antara Indonesia dan Belanda, datang ke Bandung dengan salah satu misinya menyelamatkan para pengungsi orang-orang Eropa.
Masa itu, Bandung sengaja dibagi dua, yakni utara yang dihuni para pengungsi, dan selatan yang dihuni pribumi. Rel kereta api menjadi tembok imajinernya.
“Bandung utara dalam keadaan sebagai kamp pengungsian yang padat di mana penghuninya hidup dari makanan kaleng dan terganggu oleh serangan-serangan pada bagian sisinya dan Bandung selatan dalam keadaan setengah kosong dan dihuni terutama oleh pemuda,” demikian tulis Smail.
Mohamad Toha dan Mohamad Ramdan
Di era kekinian, jejak pemuda Bandung di masa revolusi diabadikan dalam menjadi nama sejumlah jalan. Antara lain, Jalan Mohamad Toha dan Jalan Mohamad Ramdan, yang namanya diambil nama dua pemuda di zamannya, mereka mewarnai rangkaian peristiwa Bandung Lautan Api.
Ojel S.Y., seorang seniman yang juga penulis Bandung, baru-baru ini mengunggah kisah kedua pemuda tersebut dalam status Facebook-nya. Bandungbergerak.id telah menghubungi Ojel S.Y. untuk mengutip tulisan sejarah yang diberjudul “Mohamad Toha dan Mohamad Ramdan” itu, akhir Juli kemarin. Ojel S.Y., menceritakannya sebagai berikut:
Di Bandung ada dua ruas jalan yang saling berhubungan dan menghubungkan Bandung dengan Dayeuhkolot (ibukota Kabupaten Bandung abad ke-17): Jl. Moh. Toha dan Jl. Moh. Ramdan. Sebagian tahu siapa itu M. Toha (walau samar-samar), tapi jarang ada yang tahu siapa itu Moh. Ramdan. Mari kita throwback ke tahun 1946.
Setelah Bandung Lautan Api terjadi di Maret 1946, kekuatan militer Bandung dipusatkan di selatan Bandung. Baik markas TRI Divisi III maupun laskar-laskar bertahan di wilayah tersebut.
Toha sendiri (lahir di Banceuy) masih berusia 19 tahun. Ia ikut mengungsi ke Dayeuhkolot ketika Bandung Lautan Api. Pemuda yang pernah bekerja di bengkel kendaraan semasa penduduk Jepang ini, geram terhadap Belanda (yang baru “mengambil ahli kekuasaan” atas Bandung dari Sekutu). Ia menyampaikan rencana untuk menghancurkan gudang mesiu Belanda di Dayeuhkolot kepada atasannya, tapi ditolak.
Ia lalu pulang ke Garut guna menemui ibunya (ibunya ini telah menikah lagi dengan adik iparnya alias dengan paman Toha sendiri) dan adik tirinya. Tanggal 8 Juli, ia kembali ke Dayeukolot, dengan membawa pistol granat tangan (mungkin rampasan dari Jepang).
Di Dayeuhkolot, esoknya ia menyampaikan permohonannya kembali dan akhirnya diterima. Komandan MP3 (Majelis Persatuan Perjuangan Priangan) Sutoko menindaklanjuti permohonan Toha dengan mengadakan pertemuan dengan semua badan perjuangan yang bermarkas di Ciparay, di rumah Bapak Utju, seorang anggota PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia). Hasil pertemuan: esok hari, pusat pertahanan Belanda di Dayeuhkolot akan dihancurkan dengan cara meledakkan gudang mesiu.
Dikerahkan perwakilan tiga laskar untuk menjalankannya. Ketiga kesatuan itu: BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia), Hizbullah (sayap semi militer Masyumi), dan BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) Pasukan Pangeran Papak (asal Garut). Ketiga laskar tersebut disatukan dalam dua regu, di mana hanya sebelas orang yang diberi mandat melaksanakan tugas. Pembentukan dua regu pasukan ini dikarenakan tidak mungkin dengan pasukan besar mengingat Dayeuhkolot terbuka sementara kedudukan musuh lebih strategis. Di sinilah Toha mengenal Mohamad Ramdan, seorang anggota Hizbullah.
Dua regu pasukan milisi ini terdiri atas: Barisan Banteng (Toha, Jojon, Suntama, Uju, Muin), tiga anggota BPRI Pangeran Papak (Ahmad, Memed, Wakhri), dan tiga anggota Hizbullah (Moh. Ramdan, Warta, Idas). Regu pertama, yang semuanya anggota Barisan Banteng, dipimpin Toha. Regu kedua, dari Pasukan Pangeran Papak dan Hizbullah, dipimpin oleh Ahmad. Setiap anggota pasukan dipersenjatai karaben, pistol, serta dua atau tiga granat di pinggang masing–masing.
Malamnya, bercelana pendek dan berkain sarung di bahunya sambil membawa pancingan, Toha dan Ramdan berjalan menuju Citarum yang membelah Dayeuhkolot. Sesampai di sana, mereka melemparkan pancingannya, tapi tidak berjongkok, melainkan berjalan pelan menuju hilir, mengikuti pancingan yang terbawa arus Citarum. Toha mengajak Ramdan kembali ke hulu. Sebab terlihat, di atas tembok gudang senjata, terlihat tentara Belanda yang jaga. Sampai di jembatan, keduanya naik dan berjalalan menyusuri selokan kecil dan pematang sawah menuju Kampung Manggahang.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Potret Pandemi Flu Spanyol di Bandung 1918-1919 (2)
NGALEUT BANDUNG: Menelusuri Pangaritan di Bandung Timur
Cornelis de Groot, Perintis Radio dari Parijs van Java
NGALEUT BANDUNG: Oerip Soemohardjo di Bandung dan Cimahi
Mengajak Jawaharlal Nehru ke Bandung
Besoknya, 10 Juli, Kamis malam, kira-kira pukul 22.30, ketika semua anggota laskar tidur, Toha, Ramdan, serta ketiga regunya, termasuk Undang, keluar dari markas berjalan mengikuti selokan, memotong jalan pesawahan yang gelap. Setiap ada cahaya kilat, mereka berjongkok, bersembunyi di bawah pohon. Tepat di jembatan Dayeuhkolot, mereka menyeberang jalan, menuju pinggir Citarum. Toha di depan, sekitar 100 meter, diikuti Ramdan dengan regunya. Sampailah mereka di tempat yang sudah diberi tanda, berhenti.
Pukul 00.30, terdengar suara burung uncuing sebagai kode dari Toha kepada Ramdan (atau Akhmad?). Saat itu pula Akhmad (?) memberi kode dengan suara tekukur. Yang berada di tebing memulai menembak yang diarahkan ke menara lampu sorot. Mendengar sekali tembakan, lampu sorot terang dengan diikuti dengan suara miltaliur. Terdengar suara anak buah Ramdan yang tertembak, dan kemudian terjungkal ke Citarum. Saat saling serang dengan tembakan itu, Toha berenang menyerong menyeberangi Citarum, lalu masuk hong air sebesar perut kerbau. Perhitungannya tidak salah: ujung hong tersebut tembus ke kamar mandi tentara Belanda di dalam markas.
Di luar gedung, Mohamad Ramdan terkena tembak. Ia masih sempat menitahkan Undang untuk menemui kakaknya di Ciheulang. Sesampainya di Ciheulang, Undang pun jatuh dan kemudian meninggal dunia.
Esoknya, 11 Juli, Jumat pagi, Komandan BPRI, Rivai, mendengar laporan bahwa Toha masih bertahan di gudang mesiu dalam keadaan terluka. Ia langsung memerintah S. Abbas agar mengadakan serangan ke tentara Belanda dari arah berbeda untuk mengalihkan perhatian tentara Belanda dan melapangkan jalann bagi Toha untuk menghancurkan gudang mesiu. Perintah baru dijalankan pukul 09.00 pagi.
Dengan menghindar ke arah timur sekitar 100 meter, pasukan S. Abbas melakukan serangan ke arah gudang mesiu, sehingga terjadi pertempuran antara kedua pihak. Sekitar pukul 12.30 terdengar ledakan hebat, disertai guncangan bumi dan kepulan asap putih kehitam-hitaman dari arah gudang mesiu. Konon, semburan pasir akibat ledakannya sampai ke Banjaran.
Menurut Nasution, Panglima TRI Divisi III, terdapat 1.100 ton mesiu yang meledak, mengakibatkan 18 orang meninggal dan lebih dari 50 orang menderita luka-luka. Dua kampung habis terbakar di samping bangunan-bangunan penting milik Belanda. Di tempat penimbunan amunisi itu terjadi lubang yang luasnya sekitar 100 x 60 m.
Nasution Resmikan Nama Jalan
Pada akhir tulisannya, Ojel S.Y., mengatakan pemuda memang selalu punya idealisme—kendati yang jadi musuh adalah raksasa.
“Toha dan Ramdan memang bukan Arjuna yang berhasil mengalahkan Niwatakawaca yang nekat meminta bidadari Supraba kepada Batara Guru. Tapi keduanya—walau terkesan naif dan nekat—pernah menghayati sebuah masa yang disebut Revolusi—yang kerap tak pandang bulu dan memakan anak-anaknya sendiri,” tutup penulis novel Kala Murka tersebut.
Menurut John R.W. Smail, peran pemuda Bandung tidak bisa dipisahkan dari revolusi Bandung Lautan Api. Ketika para orang tua – seperti AH Nasution yang waktu itu Komandan Divisi III berpangkat Kolonel, Syarifuddin Prawiranegara (salah seorang menteri di Kabinet Sjahrir), dan Sutan Sjahrir (menjabat Perdana Mentri), dan tokoh-tokoh senior lainnya larut dalam diplomasi dengan Inggris – para pemuda terus bergerak di fron-fron depan, sebagaimana yang dilakukan Toha dan Ramdan.
Dalam buku “Saya Pilih Mengungsi” (Penerbit Bunaya, 2013), di saat setengah juta penduduk Bandung meninggalkan kota, para pejuang yang sebagian besar anak muda, bersama TRI, terus melakukan perlawanan. Mereka mencegat konvoi pasukan Inggris yang mengirimkan logistik ke Kota Bandung.
Di tengah kecamuk perang-perang grilya, letusan dahsyat terjadi, seperti yang dikisahkan Ojel S.Y.
Semua orang terkejut melihat asap tebal membumbung tinggi di langit Dayeuhkolot. Belakangan diketahui bahwa ada yang meledakkan gudang mesiu milik Belanda.
“Kabar yang beredar waktu itu pelaku peledakkan adalah Mohammad Toha, dari Pasukan Barisan Banteng. LH Lily Sumantri menurutkan, ketika Belanda menghujani Bale Endah dengan mortir, Toha dan Mohammad Ramdan bersama pejuang lainnya dari Hisbullah yang semuanya berjumlah 11 orang, melakukan serangan ke Dayeuhkolot,” demikian buku Saya Pilih Mengungsi.
Mereka menyerang gudang yang menyimpan 1.100 ton mesiu. Dari 11 orang itu, hanya Mohammad Toha yang tidak diketahui keberadaan jasadnya. Sebagian jasad penyerang ditemukan, sebagian lagi selamat dan menuturkan bahwa Toha ditanggal dalam keadaan luka tembak. Toha tidak mau menjadi beban pasukan. Berbekal geranat, Toha berjibaku meledakkan gudang mesiu.
Mengenai pemuda Toha, AH Nasution tidak mengenalnya. Namun ia juga mendengar ledakan dahsyat itu.
“....kita sudah keluar dari Bandung dan saya waktu itu bermarkas di Banjaran sebelah selatan. Mendadak ketika kita sedang berbicara tentang siasat....harus tiap malam menyerbu ke Bandung, terdengar ledakan.... Itu ternyata gudang mesiu Belanda di Dayeuhkolot. Dari mana terjadi kita juga tidak tahu. Malumlah waktu itu yang berkuasa Belanda bukan kita.”
Lalu, lanjut Nasution, beberapa tahun kemuian setelah Belanda hengkang dari Indonesia, Nasution yang menjabat KSAD diminta meresmikan nama Jalan Raya Banjaran menjadi Jalan Mohamad Toha.
“Saya sebenarnya tidak tahu Toha yang mana. Jadi itu bagi kita tetap suatu hal yang penuh question mark....saya sendiri tidak tahu bagaimana gudang mesiu bisa meledak. Tetapi selalu disebut Toha yang berbuat. Toha adalah dari laskar pada waktu itu dari Garut,” kata Nasution.