• Pemerintah
  • Data Upah Minimum Kota (UMK) Kota Bandung 2002-2021, Mandek di Tahun Pandemi

Data Upah Minimum Kota (UMK) Kota Bandung 2002-2021, Mandek di Tahun Pandemi

Dalam 20 tahun terakhir, besaran UMK Kota Bandung terus mengalami kenaikan, meski secara perlahan. Mandek di tahun 2013, lalu 2021 akibat pandemi Covid-19.

Penulis Sarah Ashilah17 November 2021


BandungBergerak.id - Upah Minimum Kota (UMK) merupakan minimal upah pokok per bulan yang harus diberikan pada pegawai atau buruh berdasarkan kebijakan pemerintah kota. Penentuan besaran UMK, yang disepakati secara tripartit oleh pemerintah, buruh, dan pengusaha, menjadikan laju inflasi tahunan sebagai salah satu faktornya. Proses mencapai kesepakatan ini seringkali berlangsung dengan sangat alot, ditambah aksi-aksi unjuk rasa.

Inflasi adalah meningkatnya harga-harga barang secara merata. Inflasi biasanya selalu naik, sehingga upah yang diterima oleh pegawai atau buruh juga harus meningkat agar masyarakat tetap mempunyai daya beli yang cukup, terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok sandang, pangan, dan papan.

Data menunjukkan besaran Upah Minimum Kota (UMK) Kota Bandung secara umum mengalami peningkatan dalam dua dasawarsa terakhir. Dari 471.000 rupiah pada 2002 menjadi 3.623.778 pada tahun 2021.

Mandeknya penambahan besaran UMK Kota Bandung terjadi pada 2021, dengan nilai yang sama persis dengan UMK tahun sebelumnya. Keputusan ini tidak lepas dari situasi darurat pandemi Covid-19 yang merontokkan banyak sendi perekonomian.

Mandeknya peningkatan nilai UMK Kota Bandung tahun 2021 ini mengulangi apa yang terjadi pada tahun 2013. Ketika itu besaran upah dipatok sebesar 1.538.703 rupiah atau tepat sama dengan besaran upah tahun sebelumnya. 

Baca Juga: Data Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Bandung 2011-2020, Anjlok Menjadi -2,28 Persen di Tahun Pandemi
Data Penanaman Modal di Kota Bandung 2016-2020, Realisasi Investasi Meroket di Tahun Pandemi

UMK tidak hanya berlaku bagi mereka yang bekerja di sektor formal dengan perusahaan-perusahaan yang telah memiliki badan hukum. Mereka yang bekerja secara informal, seperti asisten rumah tangga dan buruh yang bekerja di perusahaan yang belum mempunyai badan hukum.

Disebutkan dalam artikel "Kajian Yuridis Terhadap Gaji Pekerja Dibawah Upah Minimum Kota pada Usaha yang Tidak Berbadan Hukum" yang terbit di Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial NUSANTARA volume 8 Nomor 3 Tahun 2001, pengupahan yang layak sudah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 pasal 88 ayat (3). UU tersebut mengamanatkan keharusan bagi pengusaha yang memiliki usaha non berbadan hukum memberikan upah sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan.

Kesesuaian upah yang diberikan pada pekerja ini harus sesuai dengan standar upah minimum. Karena itulah pengusaha berbadan hukum maupun tidak, harus memberikan upah yang sesuai dengan standar kehidupan yang layak, dalam hal ini UMK lah yang menjadi tolak ukurnya.

Artikel jurnal yang ditulis oleh Rudi Saputra dan Tutiek Retnowati ini juga menyayangkan keberadaan UU Cipta Kerja yang mengubah sistem pengupahan. Dalam UU Cipta Kerja, pengusaha dapat mengupah upah pegawainya berdasarkan satuan waktu dan hasil. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk menyesuaikan kebutuhan perusahaan.

Pengubahan ini membuat pegawai atau buruh rentan menerima pengupahan yang tidak memenuhi standar kehidupan yang layak karena pengupahan berdasarkan waktu tidak akan sebanding dengan laju inflasi yang terus naik.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//