• Berita
  • Buruh Jawa Barat akan Demonstrasi 29 dan 30 November, KSPSI Mohon Maaf Jika Terjadi Kemacetan

Buruh Jawa Barat akan Demonstrasi 29 dan 30 November, KSPSI Mohon Maaf Jika Terjadi Kemacetan

Kemacetan diperkirakan akan terjadi di jalur-jalur yang dilalui konvoi buruh se-Jawa Barat. Mereka akan menuntut kenaikan upah yang akan ditetapkan 30 November.

Aksi unjuk rasa buruh menuntut kenaikan upah 10 persen dan pembatalan Omnibus Law di Gedung Sate, Bandung, Kamis (25/11/2021). Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja atau omnibus law inkonstitusional bersyarat. (Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Tim Redaksi27 November 2021


BandungBergerak.idKonfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) akan kembali turun ke jalan untuk menuntut kenaikan upah minimum, menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat hukum. Aksi akan dipusatkan di Bandung pada 29-30 November 2021.

Demonstrasi buruh yang direncanakan melibatkan massa dalam jumlah besar se-Jawa Barat ini kemungkinan akan menimbulkan kemacetan lalu lintas di Bandung dan sekitarnya. Untuk itu, buruh dari KSPSI memohon maaf seandainya perjalanan masyarakat nantinya terganggu.

Muhammad Sidarta, Ketua DPD Federasi Serikat Pekerja Logam Elektronik Mesin (FSP LEM) SPSI SPSI Jawa Barat, mengungkapkan pihaknya akan mengerahkan massa sebanyak 20.000 hingga 30.000 orang. Massa akan datang dengan cara konvoi menggunakan sepeda motor. 

Sidarta menyebutkan, demi memperjuangkan kesejahteraan, pihaknya terpaksa menempuh demonstrasi yang konsekuensinya akan menimbulkan kemacetan. 

“Mohon maaf kalau 29-30 November terjadi kemacetan yang luar biasa. Oleh karena itu mohon dimaklumi, mohon dimaafkan. Kalau perlu, kita bergabung bersama. Ini serikat pekerja, buruh, menerima upah, kita sedang berjuan. Semoga enggak ada masalah,” ungkap Sidarta, dalam konferensi pers di Hotel Lodaya, Sabtu (27/11/2021).

Di tempat yang sama, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit - (FSP TSK) SPSI, Roy Jinto, mengatakan MK telah menangguhkan pemberlakuan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Putusan ini otomatis menunda pelaksanaan PP 36/2021 tentang Pengupahan yang ditentang buruh.

Karena itu, kata Roy Jinto, penentuan upah 2022 harus berdasarkan rekomendasi dari dewan pengupahan dan bupati maupun wali kota. “Artinya kita meminta kepada Gubernur Jawa Barat menetapkan UMK tahun 2022 berdasarkan rekomendasi 27 bupati/walikota dan kita meminta itu yang diterbitkan keputusannya oleh gubernur,” ungkapnya. 

Ia menyebutkan bahwa kenaikan minimal UMK yaitu tiga hingga 10 persen. SPSI dan serikat buruh lainnya akan terus mengawal penetapan UMK ini. “Karena ketetapannya paling lambat tanggal 30 November maka SPSI mulai hari Senin sampai tanggal 30 (Selasa) akan melakukan pengawalan dengan kekuatan yang kontroversial sangat maksimal,” tambahnya. 

Jika dalam penentuannya tidak sesuai dengan permintaan serikat buruh, pihaknya akan melakukan mogok total pada 30 November. Semua buruh akan meninggakan produksi dan melakukan aksi unjuk rasa di Bandung. Ia menegaskan, KSPSI sebagai serikat buruh memiliki dasar konstitusi untuk melakukan pemogokan. 

“Kita menyerukan kepada perusahaan, aparat, kepada siapa pun dalam rangka kami melakukan pemogokan daerah, kami minta tidak ada yang menghalang-halangi, tidak ada yang mengintimidasi, tidak ada yang mengintervensi karena ini kami lakukan berdasarkan konstitusi,” ungkap Roy. 

UU Cipta Kerja Cacat Hukum

Roy Jinto menjabarkan empat alasan Mahkamah Konstitusi menetapkan UU Cipta Kerja sebagai cacat formil. Penyusunan UU Cipta Kerja tidak menggunakan metode penyusunan yang baku berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2011. 

Alasan kedua, UU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan rumusan. Menurut MK, UU Cipta Kerja tidak jelas apakah menjadi UU baru, UU Pencabutan atau UU perubahan. MK juga menemui bukti-bukti bahwa setelah rapat paripurna pada 5 Oktober 2020 lalu, adanya perubahan dan penambahan muatan substansi pada draf UU Cipta Kerja. 

Fakta di persidangan MK pun mengungkapkan bahwa tidak ada partisipasi publik dalam pembentukan UU Cipta Kerja, naskah akademik dan draf juga tidak bisa diakses oleh masyarakat. Sehingga hal ini melanggar UU Nomor 96 Tahun 2011. Yang terakhir, UU Cipta Kerja dipandang oleh MK melanggar asas keterbukaan publik. 

Roy kemudian menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja ditetapkan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Sebab, pemerintah memiliki niat untuk menyederhanakan regulasi dan menciptakan investasi dan lapangan kerja bagi masyarakat. Sehingga MK menyetujui asas kebermanfaatan dari UU Cipta Kerja.

MK memutuskan ada beberapa syarat terhadap regulasi yang pernah disebut UU Cilaka itu. Pemerintah dan DPR harus merevisi UU Cipta Kerja selama dua tahun. Dalam kurun waktu dua tahun tersebut, ada syarat yang ditentukan oleh MK bahwa pemerintah tidak boleh mengeluarkan kebijakan strategis dan yang berdampak luas. Selain itu, pemerintah dilarang menerbitkan aturan pelaksanaan atau turunan dari UU Cipta Kerja sejak putusan MK ditetapkan. 

Jika dalam kurun waktu dua tahun revisi tidak dilakukan oleh pemerintah dan DPR, maka 78 pasal yang tercantum dalam UU Cipta Kerja ditetapkan cacat formil permanen dan UU yang diubah akan berlaku kembali. 

Roy kemudian menjelaskan bahwa pada amar putusan yang keempat disebutkan bahwa UU Cipta Kerja akan tetap berlaku. Namun, ia bilang bahwa pemberlakuan tersebut harus diselaraskan dengan diktum yang ketujuh. Bahwa UU Cipta Kerja tidak dilakukan program strategis dan yang berdampak secara luas. 

Baca Juga: UMP Jabar 2022 Rp 1.841.487, Buruh akan Kembali Turun ke Jalan
Buruh akan Terus Mendesak Ridwan Kamil demi Kenaikan UMP 10 Persen
Buruh Jabar Menuntut Kenaikan Upah Minimum 10 Persen dan Serukan Mogok Nasional

Desakan dari F-Sebumi

Pagebluk Covid-19 dan pembatasan sosial telah memberatkan kehidupan para buruh. Selama ini buruh telah berusaha memahami bahwa segala bentuk pembatasan aktivitas tersebut dilaksanakan demi mencegah dan memperlambat penyebaran Covid-19 di lingkungan kerja.

Walaupun konsekuensinya ribuan bahkan jutaan buruh dirumahkan dan sebagian banyak yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa pesangon, saat pabrik-pabrik mengalami krisis perekonomian. Padahal buruh tetap harus memenuhi kebutuhan pokok dan jaminan kesehatan di tengah pagebluk.

Perwakilan Federasi Serikat Buruh Militan (F-Sebumi) Jawa Barat, Iwan Kurnia menyampaikan bahwa kebutuhan pokok dan kesehatan buruh harus menjadi prioritas dalam menentukan UMP 2022. Pemerintah sebagai regulator harus dapat mengakomodasi aspirasi buruh, bukan hanya mendengar pengusaha.

“Kami menuntut pemerintah khususnya Bapak Gubernur Jawa Barat (Ridwan Kamil) menetapkan upah minimum yang berkeadilan dan berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL),” tegasnya kepada Bandungbergerak.id, Sabtu (27/11/2021).

Di sisi lain, pemerintah juga didesak untuk mampu mengkontrol harga bahan pokok di pasaran untuk menjaga kestabilan ekonomi. Iwan mencontohkan, fenomena yang paling mudah dipantau yaitu kenaikan harga minyak yang sering mengalami lonjakan telah medendorong kenaikan harga bahan pokok lainnya. Pihak yang dirugikan bukan hanya buruh, tapi juga masyarakat umum

Maka dari itu, pihak F-Sebumi mendesak pemerintah untuk menyesuaikan ketetapan upah berdasarkan survei komponen hidup layak (KHL). Kebijakan UMP 2022 saat ini merupakan sebuah bukti perampokan atas hak buruh untuk mendapatkan keadilan upah karena telah melewatkan survei yang dimaksud.

“Apalagi jika kenaikan upah 1,09 persen yang diterapkan sangatlah tidak berpihak kepada kaum buruh, maka dari itu saya menolak penetapan upah minimum berdasarkan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020,” tutur Iwan.

Diketahui, terdapat beberapa hal mendasar yang jadi kriteria penetapan UMP dan UMK 2022. Salah satunya, nilai rata-rata pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah pada kurun tiga tahun terakhir pada periode yang sama. Selain itu, nilai pertumbuhan ekonomi dikurangi inflasi kebupaten/kota yang bersangkutan selama 3 tahun terakhir dari data yang tersedia.       

Empat Tuntutan Utama

Dalam dua pekan terakhir, beragam aliansi buruh turun ke jalan untuk menggelar aksi unjuk rasa, tak terkecuali di Kota Bandung. Namun, pihak F-Sebumi memilih untuk bersabar dan mendiskusi berbagai tuntutan yang realistis untuk disampaikan sebelum menggelar aksi serupa.

Setelah melakukan konsolidasi terkait UMP 2022, F-Sebumi menyimpulkan ada beberapa tuntutan yang perlu disampaikan kepada pemerintah. Semuanya harus bisa menampung segala kebutuhan buruh.

Berdasarkan KHL, ada empat hal utama yang mereka tuntut, berikut poin-poinnya:

Pertama, kebutuhan dasar atau komponen hidup layak seharusnya tidak semata-mata mencerminkan harga terendah karena dinilai tidak adil dan tidak realistis;

Kedua, nilai upah harus ditetapkan berdasarkan jumlah tanggungan para buruh karena para mereka tidak bekerja untuk sendiri, minimal mencukupi kebutuhan keluarga;

Ketiga, upah dihitung berdasarkan jam kerja normal tidak lebih dari 48 jam per pekan;

Keempat, kedepankan keadilan gender dan upah yang setara untuk pekerjaan yang setara tanpa diskriminasi, khususnya terhadap buruh perempuan.

Saat ini, mereka mengaku telah berkoordinasi dengan sejumlah aliansi buruh lainnya di seluruh Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Mereka bakal mengadakan aksi unjuk rasa besar-besaran dan berkepanjangan jika Gubernur Jawa Barat mengesahkan ketentuan UMP 2022 tidak sesuai dengan tuntuan buruh.

*Liputan ini hasil tim reporter BandungBergerak.id: Awla Rajul dan Bani Hakiki

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//