MAHASISWA BERSUARA: Membaca Kerapuhan Mahkamah Konstitusi menjelang Pemilu 2024
Kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi menggambarkan terkooptasinya kekuasaan yudisial untuk politik dinasti. Perlu perombakan total penentuan hakim konstitusi.
Dhien Favian A
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabya
31 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Senin lalu, tepatnya pada tanggal 16 Oktober 2023, publik kembali diguncang oleh keputusan Mahkamah Konstitusi untuk ke sekian kalinya. Putusan yang dimaksud merujuk pada gugatan batas usia pencalonan calon presiden dan calon wakil presiden, di mana MK pada hari tersebut mengeluarkan putusan yang mendukung majunya pasangan capres-cawapres yang berusia di bawah 40 tahun, sebuah putusan yang sangat kontroversial.
Pada pembacaan amar putusan, Anwar Usman selaku Ketua MK memperbolehkan seseorang untuk mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres jika telah mencapai usia 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah. Dalam pengertian sederhananya, MK membuka kesempatan bagi mantan kepala daerah – baik itu Walikota, Bupati, hingga Gubernur – untuk mencalonkan diri sebagai capres/cawapres kendati usianya belum mencapai 40 tahun.
Putusan ini praktis menganulir ketentuan pendaftaran capres-cawapres yang tertuang dalam Pasal 169 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, dengan persyaratan usia bukan menjadi satu-satunya patokan dalam pendaftaran capres-cawapres. Bisa dikatakan bahwa mantan bupati yang berusia 38 tahun bisa mencalonkan diri terlepas dari usianya yang tergolong muda. Dengan demikian, maka sosok seperti Gibran yang sangat menonjol dalam bursa kepala daerah potensial dapat “dipinang” untuk menjadi capres ataupun cawapres.
Bunyi putusan ini seketika menuai kritik tajam dari masyarakat sipil. Kelompok akademisi seperti Bivitri Susanti dan Zainal Arifin Mochtar menyatakan bahwa MK sudah menjadi mahkamah keluarga yang mendukung politik dinasti dan keberadaan Anwar Usman dalam sidang inilah yang membuat “palu hakim MK sudah patah” dalam menjaga keagungan dari konstitusi. Selain karena sikap MK yang berat sebelah, putusan ini menjadi gambaran mengenai mobilisasi kekuasaan yudisial untuk memuluskan kepentingan politik satu pihak, terutama kepentingan untuk memuluskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres salah satu koalisi.
Tidak hanya dari kalangan akademisi, masyarakat sipil pun turut menduga-duga putusan MK sudah direncanakan untuk melanggengkan trah Jokowi dalam politik, dengan posisinya Anwar sebagai adik ipar Jokowi menjadi syarat mutlak untuk membuka “karpet merah” bagi Gibran melalui perubahan syarat pencalonan capres-cawapres. Dengan demikian, maka tidak heran apabila MK dijuluki “Mahkamah Keluarga” karena mengikuti arahan kekuasaan (baca: Jokowi) demi melanggengkan politik dinasti.
Baca Juga: Menuju Mahkamah Kebijaksanaan dan Mahkamah Konsistensi
Keputusan Mahkamah Konstitusi Soal Uji Materi UU Minerba Membahayakan Lingkungan dan Masyarakat
Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Gugatan UU Cipta Kerja Membahayakan Demokrasi dan Konstitusi
Kontroversi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan MK ini memang kontroversial dari segi hukum dan politik, dengan intervensi MK untuk mengubah ketentuan persyaratan usia capres-cawapres sudah melampaui kewenangannya sendiri sebagai “penjaga konstitusi” dan “wasit pemilihan umum”. Secara umum, terdapat tiga poin yang menjelaskan kontroversi putusan MK dari segi hukum dan politik.
Pertama ialah instrumentasi kekuasaan Jokowi dan sekutunya melalui hakim pro-pemerintah, yang mana formasi hakim MK kini lebih didominasi oleh hakim yang mendukung pemerintah seperti Guntur Hamzah dan Anwar Usman. Perlu diketahui bahwa kedua hakim ini sudah bermasalah sejak penunjukannya, dengan terpilihnya Guntur Hamzah sengaja diloloskan oleh DPR dan Presiden untuk menggantikan Aswanto yang sebelumnya diberhentikan secara paksa karena menolak UU Cipta Kerja.
Selain Guntur Hamzah, hadirnya Anwar Usman sejak tahun 2019 menyiratkan adanya keberpihakan Anwar terhadap keinginan Jokowi dan ia juga turut “menggiring” rekan-rekan hakim yang sepandangan untuk meloloskan kehendak rezim. Maka tidak heran apabila banyak undang-undang yang bermasalah justru lolos di hadapan meja MK dan interpretasi yang mayoritas dikeluarkan hakim pro-pemerintah membuat apa pun yang bertentangan bisa lolos, termasuk diperbolehkannya mantan kepala daerah untuk menjadi capres-cawapres terlepas usianya belum mencapai 40 tahun.
Kedua, intervensi Anwar Usman dalam membalikkan putusan MK, di mana intervensi ini justru terlihat di menit-menit terakhir MK memutuskan serangkaian gugatan mengenai batas usia capre-cawapres. Sebelum Usman mendatangi meja sidang, hampir semua hakim konstitusi menolak semua gugatan karena ketidakjelasan unsur rasional dalam setiap gugatan yang ada. Akan tetapi, ketika Usman datang, sikap MK langsung mengabulkan sebagian gugatan berupa “berusia minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah” dengan alasan mantan kepala daerah memiliki kapabilitas untuk memimpin negara setelah teruji memimpin daerah.
Perubahan sikap inilah yang dibeberkan oleh Saldi Isra sebagai guncangan inkonsistensi MK, yang juga menunjukkan bagaimana Usman berperan besar dalam perubahan ini. Selain inkonsistensi sikap, terbesit dugaan kuat bahwa Usman sengaja melobi hakim lainnya untuk mendukung keputusannya dan kuatnya pengaruh Usman dalam majelis kemudian memuluskan itu semua, sehingga tidak heran apabila perubahan sikap MK juga dipengaruhi oleh Usman. Maka, Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjadi penguji undang-undang sudah menjadi perpanjangan tangan dari “kekuasaan”.
Ketiga, konfigurasi politik pengusungan capres-cawapres yang menguntungkan Gibran, di mana putusan MK ini tidak memberikan keadilan terhadap amar putusan yang ditetapkan. Bila berkaca dari putusan ini, sepintas putusan ini memberikan harapan karena membuka kesempatan bagi kawula muda untuk memimpin negara. Sebut saja Gabriel Boric yang menjadi presiden Chile di usia 35 tahun maupun Jacinda Ardern sebagai perdana menteri Selandia Baru pada usia 39 tahun, di mana kedua orang ini berhasil menjadi kepala negara di usianya yang masih belia. Keduanya berhasil membuktikan, bagaimana mereka berhasil menjadi pemimpin dengan cara-cara yang demokratis sekaligus membuktikan kualitas kepemimpinannya untuk membawa perubahan yang berarti bagi warga negaranya. Akan tetapi, bila dikaitkan dengan kondisi sekarang, putusan ini justru sangat politis. Hal ini dikarenakan putusan MK ini lantas dilakukan atas dasar “kehendak halus” kuasa Jokowi untuk menempatkan putra sulungnya dalam bursa cawapres melalui peran Usman dalam koridor “legislatif pasif”. Jokowi tentu paham bahwa mengubah syarat usia capres-cawapres tidak bisa dilakukan melalui koridor DPR karena keterbatasan waktu, namun hal tersebut bisa diakali dengan adanya Usman di MK.
Menunggu Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Meski yang mengajukan gugatan tersebut bukanlah bagian dari keluarga Jokowi, namun Usman dan Jokowi sengaja merongrong MK dari luar (hakim pro-pemerintah) dan dalam (melobi majelis) supaya Gibran bisa masuk sebagai capres maupun cawapres kendati masih belia. Hal ini kemudian terbukti dengan pembacaan putusan MK tersebut, yang pada saat bersamaan hanya ada nama Gibran yang sudah digaungkan sebagai cawapresnya Prabowo, dan hal ini menunjukkan bahwa gugatan ini tidak lepas dari skenario untuk memuluskan jalan “putra mahkota”.
Tidak hanya itu, pencalonan capres-cawapres di bawah usia 40 tahun hanya bisa dilakukan oleh partai politik yang memimpin koalisi – tidak bisa dipungkiri peran presidential threshold begitu kuat karena masih bertahan dalam UU Pemilu – dan bila dilihat dengan konteks terkini, tentu yang bisa mencalonkan politisi muda untuk menjadi capres-cawapres hanyalah partai besar. Dengan peta politik terkini yang sudah mengerucut pada tiga nama – yaitu Anies, Ganjar, dan Prabowo – maka yang paling mungkin mencalonkan politisi muda ialah kubu Prabowo, terutama meloloskan Gibran, dan hal ini juga didasarkan oleh kalkulasi Prabowo yang ingin menyematkan “simbol” Jokowi pada dirinya supaya dapat menang dalam Pemilu 2024.
Ketiga poin ini merepresentasikan polemik yang menggerogoti demokrasi Indonesia secara konsekuen dan sekaligus menjadi cerminan dari kooptasi kekuasaan yudikatif justru terjerembap untuk melanggengkan politik dinasti. Memang, di tengah kekacauan yang disebabkan oleh putusan MK, masih ada harapan untuk memperbaiki itu semua melalui pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang baru dibentuk minggu ini. Namun, apakah MKMK ini dapat mengembalikan muruah MK seperti sedia kala? Belum tentu mekanisme ini bisa mengembalikan yang sudah terjadi. Namun yang perlu digerakkan segera adalah perubahan total formasi hakim MK dengan mereka yang independen dan berpihak pada rakyat.
Ke depannya, setelah pemilu, masyarakat sipil harus mampu mengambil alih kewenangan penentuan hakim MK untuk memastikan tidak ada lagi hakim yang sewenang-wenang dalam mengambil keputusan. Selain itu, penentuan hakim tidak boleh didominasi oleh lobi-lobi DPR dan Presiden supaya mereka yang menduduki MK tidak bisa dipengaruhi oleh kekuasaan.
* Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel Mahasiswa Bersuara, serta tulisan-tulisan lain mengenai pemilu.