Kritik Keras Mahasiswa Bandung atas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Batas Usia Capres dan Cawapres
Mahasiwa Bandung menilai Mahkamah Konstitusi terlibat konflik kepentingan. Ketua MK Anwar Usman sekaligus ipar Jokowi, mesti mundur.
Penulis Emi La Palau19 Oktober 2023
BandungBergerak.id - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengeluarkan keputusan kontroversial. Benteng terakhir konstitusi ini mengabulkan permohonan gugatan tentang Pemilu soal batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), Senin, 16 Oktober 2023. Mahasiswa Bandung menilai MK sudah tidak lagi independen dan tidak memiliki integritas.
Diketahui, permohonan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 itu dimohonkan oleh seorang mahasiswa dari Surakarta bernama Almas Tsaqi Birru. Padahal sebelumnya, gugatan dengan materi serupa pernah dilayangkan beberapa partai politik, seperti PSI dan Partai Garuda. MK menolak kedua gugatan partai politik tersebut.
Kini, setelah gugatan Almas Tsaqi Birru dikabulkan, siapa pun yang belum berusia 40 tahun asalkan pernah menjabat kepala daerah atau sedang menjabat, diperbolehkan untuk dapat mengikuti kontestasi Pilres yang akan dihelat Februari 2024.
Selama proses persidangan, sejumlah mahasiswa turut serta mengawal dengan mendatangi MK di Jakarta. Hadir pula mahasiswa dari Bandung Raya.
Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Pasundan (Unpas) M Reza Zakki Maulana mengungkapkan, ia bersama kurang lebih 28 sampai 30 mahasiswa berangkat dari kampusnya di Bandung ke Jakarta khusus untuk mengawal gugatan perubahan batas usia capres cawapres tersebut.
Menurut Zakki, kini publik bisa menilai bahwa MK tidak independen dan tidak memiliki integritas. Ia menduga permohonan Almas Tsaqi Birru syarat dengan intervensi keluarga Jokowi, atau syarat kepentingan politik yang sedang diformulasikan oleh istana. Diketahui, Anwar Usman yang menjadi Ketua MK adalah adik ipar Jokowi.
“Bagi kami itu adalah sebuah teknik manipulasi barangkali, karena secara outputnya tetap sama adalah kemudian untuk melanggengkan keluarga Jokowi untuk bisa masuk dalam kontestasi pemilihan presiden 2024,” ungkap Zakki, kepada Bandungbergerak.id melalui sambungan telepon, Selasa, 17 Oktober 2023.
Zakki mengaku resah menghadapi kenyataan bahwa tak ada lagi perbedaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang berpihak pada kekuasaan. Lembaha eksekutif, pemerintah, telah bertindak sewenang-wenang. Parlemen atau legislatif juga penuh dengan koalisi kekuasaan.
Bahkan Mahkamah Konstitusi sebagai tulang punggung demokrasi akhirnya berpihak terhadap kekuasaan.
“Hari ini MK juga terintervensi oleh kekuasaan istana, sehingga akhhirnya kita tidak punya pilihan lain untuk berharap dan bertaruh pada siapa,” katanya.
Mahkamah Konstitusi Ugal-ugalan
Embel-embel anak muda yang disematkan pada putusan Mahkamah Konstitusi dinilai problematik. Di satu sisi, Zakki mengatakan tidak ada yang salah dalam kontes pemimpin di usia muda boleh memimpin atau tidak, tidak ada persoalan di sana. Namun keputusan MK ini terkesan dipaksakan. Dugaan terkait nepotisme kemudian jadi tampak jelas.
“Padahal sebetulnya pembahasan soalnya bisa dilangsungkan pasca-2024 nanti, oleh parlemen bukan oleh MK itu sendiri. Karena kemudian seolah-olah menjadi memaksakan kepentingan anaknya Presiden untuk bisa naik atau ikut berkontestasi di pilpres 2024,” kata Zakki.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua BEM Kema Unpad Mohamad Haikal Febrian Syah. Ia dan mahasiswa Bandung yang tergabung dalam BEM SI Kerakyatan merasa kecewa setelah mengawal putusan MK dari siang hingga malam. Ia sangat menyayangkan MK bersikap inkonstitusional dan tidak konsisten.
Mahkamah Konstitusi dinilai telah melangkah terlalu jauh melampaui kewenangan DPR dalam menyusun undang-undang. Aturan pembatasan usia capres dan cawapres mestinya digodok di DPR, bukan di MK.
“Bukannya ini menyalahi aturan, dan kami sangat menyayangkan dan kecewa berat bahwa hari ini MK sudah tidak lagi menjadi intitusi konstitusi,” ungkapnya.
Bukan kali ini saja MK mengeluarkan keputusan yang kontroversial. MK telah mengabulkan Perppu Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, padahal sebelumnya UU Cipta Kerja dinyatkaan inkonstitusional atau cacat hukum.
Kemudian MK juga memiliki andil dalam pengesahan UU Minerba yang mengeksploitasi alam, pemecatan hakim MK, dan kasus-kasus putusan lainnya. “MK ini sudah makin ugal-ugalan kami lihat,” katanya.
Karpet Merah Dinasti Politik
Haikal melihat keputusan kontroversial MK terkait dengan niat cawe-cawe politik Presiden Joko Widodo. Ada upaya membangun dinasti politik pada Pemilu 2024 nanti.
Di saat yang sama, ada upaya kuat untuk memajukan Gibran Rakabuming sebagai cawapres. Menurut Haikal, persepsi masyarakat tidak salah jika menyimpulkan bahwa rencana gugatan batas usia ini hanya untuk ambisi majunya anak presiden dalam kontestasi Pilres 2024.
“Karena cenderung politik kepentingan sangat terasa di MK. Terasa dan juga sangat tipis antara professional dan juga kepentingan politik terutama politik dinasti ini,” terang Haikal.
Sebagai mahasiswa, Haikal juga lebih kecewa lagi karena fakta bahwa permohonan tersebut juga berasal dari seoarang mahasiswa. Ia melihat si pemohon tidak mengerti bagaimana konstitusi berjalan. Namun, baginya, siapa pun yang melakukan permohonan kepada MK semuanya tidak tepat.
“Pun misalkan mahasiswa tersebut juga adalah keluarga dekat dan orangnya Jokowi dan lain sebagainya, bagi saya itu sebuah upaya ada dinasti politik juga di dalamnya,” ungkapnya.
Keputusan Terburu-buru
Menurut Haikal, saat ini bukan momen yang tepat untuk membuat regulasi yang membuka jalan bagi anak muda untuk memimpin. Apalagi permohonannya dilakukan sesaat menjelang pendaftaran calon.
“Karena kita nggak bisa melihat batasan umur sebagai tingkat kematangan. Dan tentu, kalau misalkan kita ingin anak muda dan lain sebagainya, kenapa tidak jauh-jauh hari. Kenapa tidak dari beberapa tahun lalu, kenapa harus dalam waktu yang dekat,” ungkapnya.
Ke depan mahasiswa telah bersepakat akan melakukan gerakan aksi demosntrasi besar pada tanggal 20 Oktober 2023. Hal ini untuk menyikapi putusan MK, evaluasi 9 tahun kerja Presiden Jokowi, dan berbagai permasalahan yang masih menjadi pekerjaan rumah.
Mahkamah Konstitusi tidak Konsisten
Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung Tristam Pascal Moeliono menjelaskan, suka tidak suka, putusan yang dilakukan MK sudah sesuai dengan tupoksi, yaitu memeriksa suatu permohonan uji materi. Yang menjadi persoalan menurutnya adalah logika di balik pertimbangan-pertimbangan dan perubahan sikap MK yang sebelumnya menolak tapi kemudian menerima.
Apalagi Anwar Usman merupakan bagian dari keluarga Jokowi. Menurut Tristam, di negara lain yang sistem demokrasinya sehat, seorang hakim yang memiliki kaitan dengan keluarga penggugat akan menolak untuk mengadili perkara. Dia akan keluar dari majelis untuk menghindari konflik kepentingan.
“Kalau ini kan nggak. Itu yang membuat keputusan apa pun selalu ada nuansa kepentingan keluarga. Itu yang membuat pertimbangan-pertimbangan dan logika di balik pertimbangan-pertimbangan ini menjadi susah dinilai bersih,” terang Tristam Pascal Moeliono, melaui sambungan telepon.
Anwar Usman sebagai Ketua MK mengalami konflik kepentingan dalam menghadapi perkara yang akan berpengaruh pada Gibran Rakabuming.
“Kalau kita mau curiga boleh ke dekatan besan tadi ya. Dan harusnya di negara yang lebih beres begitu ada hubungan keluarga dia (hakim) keluar, saya nggak mau periksa. Tapi kalau dia tetap jadi bagian dari majelis, maka orang pasti akan curiga, pasti orang akan membaca diputuskan karena besan. Karena ada hubungan (kepentingan keluarga),” ungkapnya.
Denga hal ini, tambah Tristam, yang paling bisa diukur dari putusan ini adalah siapa yang diuntungkan dengan perubahan sikap MK ini?
Baca Juga: Menanti Langkah Elite-elite Politik untuk tidak Menggunakan Politik Identitas di Pemilu 2024
Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik
Mempertanyakan Keberadaan Para Artis di Panggung Politik
MK Menggadaikan Kredibilitas
Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Unpad Giri Ahmad Taufik mengungkapkan bahwa putusan yang dilakukan MK aneh. Putusan ini tak lagi berlandaskan hukum tapi sarat akan kepentingan politik di dalamnya.
Menrut Giri, MK telah keluar dari tupoksinya, kewenangan membuat undang-undang seharusnya berada pada kewenangan parlemen. Sementara perubahan pendapat yang begitu cepat dan diputuskan menimbulkan pertanyaan publik. Juga dilihat dari urgensinya, tidak memiliki urgensi.
“Seolah-olah mengkualifikasi ingin meloloskan seseorang gitu. Nah itu makin menguatkan indikasi bahwa ini putusan hanya ditujukan untuk kepentingan satu orang,” kata Giri.
Giri tidak melihat alasan logis dan rasional apa yang membuat akhirnya MK mengabulkan permohonan dari mahasiswa tersebut. Padahal jika dilihat, tuntutan yang disampaikan mirip dengan putusan dari Partai Garuda dan PSI yang telah ditolak MK.
“Jadi memang sangat tidak logis, dan memang kalau misalnya hukum ya itu bukan hukum sebenarnya yang dilakukan MK itu bukan hukum, itu sudah murni politik,” katanya.
Dengan putusan ini, MK telah menggadaikan kredibilitasnya. Para hakim yang menyepakati tidak berpikir panjang mengabulkan putusan tersebut. Hal ini perlu dicermati, karena ke depan MK masih memiliki mandat untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu.
Giri menambahkan, jika Gibran Rakabuming benar-benar maju menjadi kontestan Pemilu, kemudian terjadi sengketa di MK, masyarakat tentu akan marah. Kredibilitas MK dipertanyakan.
Giri menyatakan para hakim MK telah menghancurkan bangsa ini. Hal ini yang akan memancing amarah rakyat.
“Jadi memang mereka hakim ini mau menghancurkan bangsa ini, itu tidak akan bisa kekontrol kemarahannya (masyarakat) karena mereka sudah tidak kredibel. Memang satu satunya cara untuk menyelematkan MK Anwar Usman harus mundur dari MK,” katanya.
*Kawan-kawan yang baik, mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Emi La Palau, atau artikel-artikel tentang Politik dan Pilpres