• Nusantara
  • Menanti Langkah Elite-elite Politik untuk tidak Menggunakan Politik Identitas di Pemilu 2024

Menanti Langkah Elite-elite Politik untuk tidak Menggunakan Politik Identitas di Pemilu 2024

Kesbangpol Jabar mengajak anak muda bersikap toleran menjelang Pemilu 2024. Langkah ini belum cukup karena memerlukan teladan dari elite-elite politik.

Pemilu 2024 mulai terasa dengan hadirnya poster kampanye terselubung dari tokoh partai politik. Sementara KPU Jawa Barat juga tengah menyiapkan tahapan Pemilu 2024, di Bandung, 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana12 Mei 2023


BandungBergerak.idBadan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Barat (Kesbangpol Jabar) menggelar dialog antarpemuda dari lintas suku dan agama se-Jabar. Tema yang mencuat dari dialog ini adalah meningkatnya suhu politik menjelang Pemilu 2024 yang memiliki potensi perpecahan. Generasi muda diharapkan menjadi perekat, tidak terjebak politik identitas.

Namun langkah Kesbangpol Jabar dalam meredam politik identitas dengan pendekatan pada anak muda belumlah cukup. Pencegahan menguatnya politik identitas memerlukan contoh dari para elite politik, dari pemerintah maupun wakil rakyat.

Sasaran dialog yang digelar Kesbangpol Jabar sendiri lebih menekankan kepada anak muda, khususnya generasi milenial dan Z. Mereka diharapkan memahami hakekat keragaman yang menjadi dasar persatuan.

“Kita perlu mengajak dialog generasi milenial dan generasi Z agar mereka benar-benar memahami hakekat keragaman yang bisa menjadi dasar persatuan. Apalagi jelang pemilu tahun depan yang potensial terjadi perpecahan. Dengan kegiatan ini kita berharap agar generasi ini tidak mudah terpancing atau terprovokasi dengan alasan perbedaan suku dan agama," terang Kepala Badan Kesbangpol Jabar Iip Hidajat di Kabupaten Bandung, dalam siaran pers, Kamis (11/5/2023).

Acara bertema "Kolaborasi Keragaman Budaya Kearifan Lokal Untuk Memperteguh Identitas dan Kesatuan Bangsa" berlangsung dari tanggal 11-12 Mei 2023 dan diikuti 130 peserta. Masing-masing peserta berdialog tentang keragaman kearifan lokal daerah asal masing-masing, juga terdapat penambahan wawasan tentang kaerifan lokal dari narasumber.

Kepala Bidang Ketahanan Ekonomi, Seni Budaya, dan Kemasyarakatan Kesbangpol Jabar Ruliadi menuturkan alasan peserta dari kalangan milenial dan generasi Z dihadirkan karena mereka bisa menjadi pemberi pengaruh tentang keberagaman.

"Karena mereka nantinya bisa menjadi pemberi pengaruh. Hasil dari kegiatan ini mereka bisa menyampaikan pemahaman tentang keberagaman kepada sesama dan masyarakat yang terdekat," ujarnya.

Politik Identitas dan Hoaks Menjelang Pemilu 2024

Untuk meredam politik identitas diperlukan keteladanan dari para elite. Dengan kata lain, anak muda tidak bisa sendiri menanamkan nilai-nilai kebhinekaan di masyarakat sementara elite-elitenya bersikap sebaliknya.

Peran para elite dibahas dalam jurnal “Dampak Politik Identitas Pada Pilpres 2019: Perspektif Populisme” yang ditulis Aryojati Ardipandanto. Menurut Aryojati, kelemahan Pemilu 2019 terutama terjadi pada momen Pemilihan Presiden (Pilpres).

Ia memaparkan berbagai kondisi situasi politik yang terjadi pada masa kampanye Pilpres 2019, termasuk pada masa prakampanye, terlihat bahwa gejala yang terjadi adalah menguatnya eksploitasi identitas sebagai propaganda politik, atau politisasi suku, agama, ras, antar golongan (Sara).

Gejala selanjutnya adalah meningkatnya ujaran kebencian hate speech yang memenuhi ruang publik selama beberapa tahun sebelum dan pada saat pelaksanaan Pilpres 2019. Begitu juga dengan menjalarnya hoaks politik.

“Ditambah lagi dengan sikap elite politik yang tidak memberi contoh yang baik, malahan menunjukkan sikap yang anti demokrasi, cenderung hanya siap menang dan tidak siap kalah,” tulis Aryojati Ardipandanto, diakses Jumat (12/5/2023).

Sebagai contoh, politik identitas yang terjadi pada Pemilu 2019 menggunakan isu-isu agama untuk menarik perhatian massa atau pemilih. Politik identitas ini telah menyebabkan polarisasi yang meluas di kalangan masyarakat ataupun para elite-elite politik.

Aryojati menyarankan, para politisi seharusnya lebih berfokus kepada narasi politik sehat yang mempersatukan dan mendamaikan para pendukungnya dengan mengedepankan rasionalitas bukan emosionalitas ataupun kepentingan kelompok agama tertentu. Bahkan, elite-elite politik seharusnya lebih mengedepankan isu-isu nasional yang membangun secara progresif dan substantif terhadap narasi-narasi politiknya.

Sementara saran kepada masyarakat, diharapkan mereka mampu berpikir rasional dan kritis, terutama dengan isu-isu politik dan agama yang cenderung dimanipulasi oleh elite-elite politik. Preferensi politik masyarakat harus lebih didasarkan pada keberanian berpikir sesuai nalar rasionalnya di tengah cengkeraman elite-elite dan otoritas politik keagamaan.

“Keberanian dalam berpikir rasional serta menjadi individu yang kritis membuat terciptanya masyarakat yang terbuka serta toleran dalam menghadapi isu-isu sosial politik,” katanya.

Baca Juga: Program Polisi RW Harus Membantu Masyarakat, Bukan Melahirkan Raja-raja Baru
Mempertanyakan Keberadaan Para Artis di Panggung Politik
Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik

Di sisi lain, pada Pemilu 2019 lalu juga menjamur hoaks-hoaks politik. Dikutip dari laman Kominfo, Henri Subiakto, staf ahli Menteri Komunikasi dan Informatika memaparkan setidaknya pihaknya sudah mengumpulkan 700 lebih konten yang teridentifikasi sebagai hoaks.

Henri mencatat, ada peningkatan jumlah hoaks ketika momen Pilpres semakin dekat. Hal serupa juga terjadi pada saat kontes politik tahun 2014 maupun 2017. Ia pun menilai bahwa hoaks sudah menjadi bagian dari politik dan tidak bisa dipisahkan. Kecenderungan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara.

Sementara Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) melaporkan jumlah hoaks yang berhasil didata dan diverifikasi pada 2018 hingga Januari 2019. Pada 2018, jumlah hoaks terdata mencapai 997 buah dengan 488 hoaks atau 49,94 persen bertema politik. Pada Januari 2019, jumlah hoaks mencapai 109 buah dengan 58 di antaranya bertema politik.

Mafindo menyatakan meningkatnya jumlah hoaks dengan tema politik berpotensi mengancam kualitas pesta demokrasi. Dari 259 hoaks bertema politik pada paruh kedua 2018, pasangan Jokowi-Amin disasar 75 buah hoaks dan Prabowo-Sandi menerima 54 hoaks. Pada Januari 2019 saja, ada 58 hoaks politik, dimana 19 hoaks merugikan Jokowi-Amin dan 21 hoaks menyasar Prabowo-Sandi.

Mafindo juga mencatat, Facebook masih menjadi platform media sosial yang paling banyak digunakan untuk menyebarkar hoaks. Twitter dan WhatsApp berada di bawahnya, namun dalam jarak cukup jauh. Sebagai contoh, pada Januari 2019, 49.54 persen hoaks ada di Facebook, 12,84 persen di Twitter dan 11, 92 persen melalui WhatsApp.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//