Mempertanyakan Keberadaan Para Artis di Panggung Politik
Mampukah para artis yang ada di panggung politik, dengan modal budaya yang dimilikinya, menghadirkan produk politik yang berpihak dan memberikan warna budaya?
Muhammad Akmal Firmansyah
Mahasiswa Ilmu Sejarah UIN SGD Bandung dan Jurnalis BandungBergerak.id sejak 12 Juni 2022
11 Mei 2023
BandungBergerak.id – Menjelang tahun politik tiba-tiba hadir wajah-wajah yang tidak dikenal terpajang di jalanan bersama poster promosi jasa, jual beli properti, dan grafiti-grafiti anak muda minim ruang Kesenian. Wajah-wajah yang terpajang itu kadang menampilkan senyuman sumringah seraya mengepalkan tangannya, atau bahkan berpose seperti emotikon di Whatapps dengan kata-kata perubahan, kemajuan, dan harapan-harapan yang ia janjikan di poster, stiker, dan kalender yang dibagikan pada masyarakat. Mereka akan mewakili kita di panggung konstituen dengan mencalonkan diri dan bertarung di pemilihan legistatif. Wajah-wajah itu mungkin sebagian kita kenal sebagai pemain sinetron, musisi, dai, dan bahkan pemain sepak bola.
Misalnya belakangan ini skena musik punk diramaikan dengan salah seorang vokalis band cadas yang akan maju menjadi anggota dewan di Jawa Timur, atau sosok selebritas muda yang tiba-tiba masuk partai. Ada juga beberapa musisi ternama di kancah belantika musik tanah air yang banting gitar bersenandung melalui politik, atau para artis pemain peran menjadi anggota legislatif bahkan menjadi kepala daerah. Belakangan juga di Kota Bandung, salah satu partai politik yang lolos verifikasi faktual mengejutkan khalayak dengan mengumumkan seorang pesepabola sebagai calon wakil rakyat – bahwa sang penjaga mistar tidak lagi meminta dukungan penonton di tribune tapi berliga di dapil (daerah pemilihan).
Tentunya fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru. Sebagian dari mereka sudah ada yang mewakili rakyat di parlemen. Entah apa motivasi serta motifnya, tapi sudah sepatutnya rakyat dengan segera menanyakan keberpihakan para selebritas itu.
Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Benny Hoedoro Hoed dalam sebuah tulisan berjudul Caleg Selebritas, Aset yang Terlupakan di buku Caleg Selebritas, Kekerasan & Korupsi : Menelusuri Tanda dalam Dinamika Budaya (2011) mengatakan bahwa selebritis yang masuk di panggung politik, bahkan yang terpilih menjadi DPR atau DPRD merupakan gejala emansipasi sosial. Para selebritas dengan bidang keseniannya, melampaui capaian yang lebih tinggi dalam kehidupan sosial. Dengan banyaknya followers serta gosip infotainment atau keterkenalan mereka, adalah hasil dari sebuah proses emansipasi sosial.
“Keberhasilan mereka masuk DPR dan DPRD merupakan peningkatan dan perluasan jangkauan peran dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu membawa arah kehidupan negara atau daerah melalui kegiatan mereka di lembaga legislatif. Terlepas dari motivasi tiap selebritas ini semua merupakan gejala yang baik, meski masih perlu dicermati setelah mereka duduk di lembaga itu,” tulisnya.
Terjunnya para selebritis di panggung politik, kata Benny, merupakan dampak proses demokratisasi. Gejala yang mulai terlihat pasca reformasi, malah di zaman Orde Baru sendiri beberapa artis sudah masuk menjadi kader partai. Selain itu, dengan modal budaya yang dimilikinya maka para artis ini bisa memberikan warna budaya dalam arah kehidupan masyarakat dan negara. Namun hingga saat ini kebijakan baik eksekutif dan produk legislatif sangat minim dari warna budaya. Lihat saja isu-isu yang tersisihkan, dimulai dari isu perempuan, hak-hak pekerja rumah tangga, guru-guru honorer, bahkan para penyintas masalah kesehatan mental. Mampukah mereka menghadirkan produk legistatif yang berpihak dan memberikan warna budaya?
Baca Juga: Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik
MAHASISWA BERSUARA: Menukas Politik Identitas, Kritik pada Partai Politik dan Pemuka Agama
NGABANDUNGAN: Winter is Coming di Tahun Politik
Masihkah Relevan Artis Menjadi Vote Getters?
Dari emansipasi sosial dan modal budaya, kemudian dampak demokratisasi, para artis berkiprah terjun di dunia politik. Tapi tak sedikit dari mereka hanya dijadikan sebagai Vote Getters saja, atau pendulang banyaknya suara. Dan hal itu disebutkan juga oleh Benny H. Hoed.
Kapasitas dan kapabilitas para artis ini memang selalu dipertanyakan. Tiap tahun dan menjelang tahun-tahun politik, partai selalu menyebutkan nama-nama artis yang dulu dan baru untuk bergelut di gelanggang politik, apakah kaderisasi partai dan pendidikan politik yang berjalan dengan baik? Ya gak taulah, kok tanya saya.
Dosen Komunikasi Politik, FISIP UIN Jakarta, Iding R Hasan pada tulisannya Artis dan Ampuntasi Parpol dimuat Suara Pembaruan, Jumat 26 April 2013, menyebutkan bahwa hadirnya artis menjadi calon legistatif atau kader partai tentu menyebabkan keuntungan bagi dua pihak, atau disebut juga hubungan simbosis mutualistis.
“Partai politik (parpol) jelas akan diutungkan oleh kehadiran artis, kaena dengan modal popularitas dan finansial, artis lebih berpotensi daripada caleg-caleg lainnya untuk meraih suara,” kata Iding R. Hasan.
Meski para artis ini selalu menjadi pertimbangan sebagai vote getters, tapi hal itu dikatakan Iding menjadi tidak relevan di konteks politik Indonesia kontemporer. Sebab perhelatan pemilihan umum (pemilu) menggunakan sistem proporsional terbuka.
“Dalam sistem proporsional terbuka istilah vote getter sebenarnya tidaklah tepat. Yang paling menentukan adalah suara terbanyak. Caleg yang mendapatkan nomor urut terbawah pun memiliki peluang keterpilihan yang sama dengan caleg di urutan teratas. Para artis yang ikut berkompetisi tidak lagi berfungsi sebagai pendulang suara bagi partainya. Melainkan bagi dirinya sendiri,” jelas Iding.
Bila dalam konteks politik Indonesia kontemporer para artis sudah tidak relevan menjadi vote getters, maka partai politik modern justru tidak menjadikan perekrutan para artis malah menggerogoti eksistensi partai. Menurut Iding, salah satu variabel dari partai politik adalah dengan adanya kaderisasi yang berjenjang.
Iding menyebutkan tiga tahapan penting dalam jenjang kaderisasi partai ini. Pertama, rekrutmen anggota partai harus dilakukan dengan proses seleksi yang ketat serta profesional, tidak berdasarkan kekerabatan, kekuatan modal, atau popularitas. Kedua, pembinaan anggota menjadi kader partai loyalis yang memahami betul platform serta ideologi partai. Serta ketiga, distribusi sumber daya politik ke pos-pos kekuasaan baik di legistatif atau eksekutif, setelah menjadi kader loyalis partai.
Maka apabila kita melihat kabar yang saat ini berseliweran di berbagai kanal pemberitaan, agaknya benar apa kata Iding bahwa terjadi pengamputasian tahapan partai untuk menjadi partai politik modern sebab di antara mereka melompat tahapan sebagai anggota partai. Maka jangan berharap banyak. Dan bahkan di antara mereka para artis tersebut, ada yang menjadi kutu loncat dengan berpindah-pindah partai. “Tidak heran artis yang kemudian berhasil lolos menjadi anggota legistatif tidak mampu menampilkan performa politik yang memadai,” tutup Iding. Maka sudah seharusnya kita mempertanyakan para artis yang kini manggung di gelanggang politik.