• Opini
  • Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik

Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik

Persoalan korupsi dan politik uang sudah sangat memprihatinkan di Indonesia. Namun seberapa penting persoalan tersebut harus diangkat di panggung pertunjukan?

Rudi Agus Hartanto

Mahasiswa Program Magister Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret. Bergiat di komunitas Kamar Kata Karanganyar dan Sanggar B

Demonstrasi aktivis antikorupsi di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta. (Sumber Foto: ICW/antikorupsi.org, diakses 2022)

22 April 2023


BandungBergerak.idMonolog Pejalan kembali bergulir setelah hampir satu tahun hiatus. Pementasan ini mengangkat tema yang berbeda dari biasanya. Naskah berkisah mengenai pengalaman seseorang dalam mengarungi kehidupan. Perjalanan hidup aktor dibagi menjadi tiga fase: masa remaja penuh pergolakan, peralihan menuju dewasa dihadapkan realitas, dan ketika tua terjerembab penyesalan.

Aktor kala masih muda merupakan seorang aktivis mahasiswa yang mendapatkan panggung. Usai lulus ia berkarier di dunia politik lalu terpilih menjadi seorang kepala daerah. Godaan kekuasaan kemudian membuatnya tergiur hingga ia terjerat kasus korupsi.

Itulah gambaran singkat naskah “Monolog Kehilangan” yang disutradarai Sidiq Bachtiar, Rabu (22/02/2023). Meski jalannya alur cerita terasa biasa, namun terdapat sesuatu yang mengganjal mengapa Monolog Pejalan mengangkat naskah tersebut.

Konstruksi Realitas

Masyarakat Indonesia kerap dihadapkan pada buruknya perilaku pejabat publik. Korupsi menjadi salah satu kasus yang mendapatkan atensi tinggi dari masyarakat. Menurut statistik yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di laman kpk.go.id, per tahun 2022 saja terdapat 120 kasus korupsi.

Di sisi lain, Transparency International melaporkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia di tahun yang sama juga mengalami penurunan. Adapun dalam laporan itu disebutkan bila Indonesia menempati peringkat 110 (skor 34/100) dari 180 negara. Padahal pada 2021 Indonesia berada di urutan 96 (skor 38/100).

Hal itu tidak mungkin membahagiakan perasaan masyarakat Indonesia. Meski begitu, karena kabar demikian terasa dekat membuat masyarakat seolah memakluminya. Bahkan dalam bahasa Indonesia tercipta frase untuk mengakomodasi pemakluman tersebut: “rahasia umum”.

Adanya frase tersebut bukan berarti masyarakat menunjukkan sikap tidak peduli. Bahkan alm. Prof. Azyumardi Azra di harian Kompas (04/02/2021), dalam artikel yang berjudul Darurat Korupsi mengatakan bahwa korupsi merupakan “kejahatan luar biasa”. Dalam artikel yang sama, beliau menegaskan bahwa diperlukan terobosan kebijakan dan tindakan politik yang dilakukan oleh elemen negara selain menggunakan hukum konvensional untuk mengatasi masalah korupsi.

Jika argumentasi salah satu cendekiawan yang pernah dimiliki Indonesia itu dikaitkan dengan apa yang ada di akar rumput, artinya ada sebuah ekspresi budaya yang seharusnya dijadikan diskursus guna memerikan masalah ini. Terlebih persoalan korupsi rasa-rasanya sudah sangat memprihatinkan di Indonesia.

Baca Juga: Ramadan dalam Pusaran Komodifikasi Agama
Mengukur Kadar Kepakaran Dosen
Ketika Kepentingan Publik Tunduk pada Nama Baik Pejabat
SUARA MAHASISWA: Yang Baik dan Buruk dari Junk Food

Suara Akar Rumput

Monolog Kehilangan” tidak ditutup dengan tepuk tangan lalu penonton pulang begitu saja, justru di sinilah terjadi diskusi antara sutradara, aktor, dengan penonton. Respons yang muncul dari khalayak ialah menyoal pemilihan naskah yang biasa saja, kemudian terlontar pula pertanyaan kritis mengenai seberapa penting persoalan korupsi harus diangkat di panggung pertunjukan. Hal itu menghadirkan diskusi panjang para hadirin yang mayoritas berisi anak muda.

Terkait pemilihan naskah terjawab ketika sutradara menjelaskan bahwa Monolog Pejalan bermaksud untuk membawa suasana baru dalam pertunjukannya. Hal ini dikarenakan beberapa pentas sebelumnya hampir selalu mengangkat tema seragam, yakni spiritualitas. Kembalinya pertunjukan berbasis warung kopi tersebut bermaksud memberi sebuah tawaran baru.

Sementara itu, naskah yang biasa memang sengaja dipilih guna menarik respons kritis hadirin. Kesengajaan tergambar kala dua dimensi yang berlawanan dihadirkan dalam tubuh aktor. Aktor yang di masa muda berteriak paling lantang perihal sikap anti korupsi, nyatanya tidak dapat berkilah dan tergiur untuk melakukan korupsi saat menjabat sebagai kepala daerah.

Itulah yang kemudian memunculkan frase “rahasia umum” di masyarakat yang berkonotasi negatif. Bahwa tidak sedikit narapidana korupsi yang tercermin realitasnya dalam tubuh aktor. Hal ini setidaknya membawa alam pikir hadirin untuk merefleksi sesuatu yang telah menjadi pengalaman empirisnya sebagai masyarakat sekaligus menuntut berpikir ulang mengenai apa yang akan mereka lakukan jika mengambil peran aktor.

Peringatan

Alasan penting lainnya mengapa mengangkat isu korupsi dalam ranah pertunjukan ialah tidak kurang dalam waktu satu tahun ke depan Indonesia akan memasuki tahun politik. Kontestasi yang hari ini sudah terasa pergulatannya hanya berkutat pada perdebatan siapa kepastian calon pemimpin yang akan berlaga.

Sementara itu, partai politik yang pada dasarnya menjadi jembatan seseorang untuk mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan umum belum benar-benar serius menyiapkan kadernya untuk menghindari kejahatan tersebut. Padahal persoalan korupsi telah menjadi hal yang menyakiti masyarakat serta mencederai semangat demokrasi.

Berdasarkan data yang dikutip dari sejumlah media, hingga April 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani 310 perkara yang melibatkan anggota DPR dan DPRD, 22 perkara yang melibatkan Gubernur, serta 148 perkara yang Walikota/Bupati dan Wakil. Angka tersebut menyumbang 35 persen dari keseluruhan jumlah perkara.

Data tersebut menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi permasalahan akut. Dan apa yang disebut masyarakat sebagai “rahasia umum” seharusnya disikapi oleh partai politik dengan lebih serius dalam menyiapkan kader-kadernya agar jauh dari sikap korup. Gagasan politik kerakyatan yang selalu digemakan harusnya benar-benar dimaterialkan. Sebab, berbagai penelitian menyatakan bahwa belakangan arah politik Indonesia cenderung ditentukan oleh kekuasaan oligarki.

Secara tersirat, baik aktor maupun sutradara memperingatkan masalah ini saat mengakhiri pementasan di Warung Pejalan. Agaknya korupsi dan politik uang belum menjadi perhatian utama dalam setiap kontestasi. “Mungkin kamus kekuasaan tidak mengenal maksud ‘rahasia umum’, makanya mereka begitu,” kata aktor disambut panggung berubah menjadi gelap diiringi suara azan Subuh.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//