• Opini
  • Ramadan dalam Pusaran Komodifikasi Agama

Ramadan dalam Pusaran Komodifikasi Agama

Puasa mengajak umat untuk belajar dari rasa haus dan lapar. Namun hikmah ini dibayang-bayangi konsumerisme.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Umat Islam di sela-sela salat Idul Fitri 1442 H di Masjid Agung, Kota Bandung, , Kamis (13/5/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

16 April 2023


BandungBergerak.idAdanya aksi imam salat tarawih secara siaran langsung (live streaming) di Tiktok dengan harapan mendapatkan saweran (gift) menjadi bukti nyata atas maraknya komersialisasi simbol-simbol agama untuk dijadikan komoditas. Padahal ajaran agama Islam mendorong orang (umat) untuk berdagang, tetapi tidak untuk memperdagangkan (simbol, nilai) agama.

Walhasil, terperangkapnya aktivitas keagamaan dalam pusaran budaya populer, yang terus didorong, distimulasi, dan ditampilkan melalui media elektronik (televisi), internet, media sosial (Instagram, Tiktok, Facebook) telah melanggengkan komodifikasi agama.

Media cetak, online memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk karakter suatu masyarakat yang konsumtif. Kehadiran bulan Ramadan menjadi komoditi pihak-pihak pemilik modal. Bisa kita lihat dari pelbagai acara televisi yang berubah total dengan menampilkan program-program berbau religi yang seakan-akan agama itu dijadikan sebagai komoditas untuk bisa diperjualbelikan.

Ragam Aktivitas Religi

Idi Subandy Ibrahim menegaskan bulan Ramadan menjadi momen umat Islam mengekspresikan religiusitas dalam sentuhan lokalitas. Ada tradisi malam selikuran untuk menyambut Lailatul Qadar di Keraton Surakarta. Festival (Kampung) Ramadan muncul di banyak daerah dengan beragam ekspresi.

Rupanya, pandangan kritis mencemaskan wisata religius mendorong peningkatan komodifikasi agama. Agama dan keyakinan dijadikan kemasan komoditas komersial untuk meraup keuntungan pasar wisata. Paket wisata religius ke situs-situs suci mengikuti hukum pasar dengan mengeksploitasi peningkatan keimanan demi keuntungan.

Di era budaya populer digital, perbedaan antara atraksi taman bertema religius dan unsur-unsur religius sedang mencair. Momen wisata religius menjadi ajang pertunjukan sinematik dan pengalaman digital untuk menghibur mata pengunjung ketimbang melembutkan hati penganut keyakinan.

Muncul kekhawatiran terjadinya erosi agama dan tradisi lokal dalam representasi budaya wisata yang didorong gaya hidup hedonis dan konsumtif, yang menyisakan sampah dan krisis lingkungan (Kompas, 18 Maret 2023).

Miller menjelaskan konsumerisme tidak hanya menawarkan nilia-nilai alternatif, yang secara halus menjerat kita dalam sebuah jaringan tafsir konsumen dan keterlibatan dengan semua sistem nilai, termasuk yang kita miliki.

Dinamika yang berlangsung dalam komodifikasi agama menunjukkan bagaimana daya tarik agama sebagai obyek budaya berakar dalam imaji diri yang lazim. Dalam budaya masyarakat konsumen, diri (self) telah semakin terputus dari bentuk-bentuk tradisional yang semula menyediakan sumber identitas dan makna (Idi Subandy Ibrahim, ‎Bachruddin Ali Akhmad, 2014:23).

Jalan Mencari Keuntungan

Pengembangbiakan tradisi komoditas dan budaya populer di dalam masyarakat konsumen telah memerangkap aneka aktivitas keagamaan ke dalam pusaran motif mencari keuntungan.

Aktivitas-aktivitas keagamaan kini dikemas melalui aneka kemasan tanda, citra, dan gaya hidup, seperti praktik-praktik menu berbuka puasa yang dikaitkan dengan kelas sosial, fesyen sebagai simbol kesalehan, paket peragaan busana yang menjanjikan kebebasan, parsel lebaran yang mengusung kesucian hati, paket liburan lebaran yang menjanjikan kemewahan ibadah, paket berbuka puasa bersama artis di hotel berbintang.

Semua itu merupakan contoh bagaimana aktivitas keagamaan menjadi jalan untuk mencari keuntungan, imajinasi yang dikembangkan di dalamnya adalah imajinasi materialis, melaluinya maka kehidupan diperlihatkan dengan dunia penampilan dan kepemilikan objek-objek.

Logika aktivitas ritual keagamaan yang terperangkap di dalam logika komoditas adalah perayaan penampakan tanda, citra, dan makna permukaan ketimbang makna spiritual dan kesucian. Ketika pusat perhatian kini terfokus pada penampilan luar dan gaya hidup, maka ruang bagi perenungan spiritualitas semakin menyempit, disebabkan perhatian lebih terpusat pada materi dan citra daripada pesan-pesan ketuhanan di dalamnya.

Kini agama menjadi sesuatu yang murah meriah, di dalam dunia ritual keagamaan sesuatu yang dulu dianggap tidak penting, seperti penampilan, sifat menghibur, gaya pakaian, gaya penampilan kini menjadi jantung dunia kehidupan. Misalnya para ustaz di layar televisi terlihat lebih mementingkan gaya penampilannya ketimbang penguasaan subtansi ajaran Islam yang diajarkannya.

Sungguh keadaan itu telah berlangsung semacam pementingan yang banal dan pembanalan yang subtansial. Banalitas telah menumbuhkan sikap ketidakacuhan terhadap kategorisasi nilai: benar-salah, baik-buruk, berguna-tidak berguna.

Banalitas telah menciptakan semacam imanesi keagamaan, yaitu kecenderungan merayakan penampakan luar (performansi), tanpa peduli dengan makna (nilai-nilai) spiritual-ketuhanan di baliknya. Tuntutan gaya hidup telah mencabut ritual keagamaan dari ruang transendental dan kini menjadi semacam ekstasi penampakan tanpa kedalaman.

Dunia yang dikuasi oleh ideologi budaya populer menghasilkan kebudayaan tidak autentik. Hal itu disebabkan sifat dasar dari konsumerisme dan budaya populer itu sendiri. Pengomandoan massa dari atas oleh sekelompok elite yang menciptakan massa sebagai mayoritas yang diam, dalam pengertian diri mereka dibentuk di dalam sebuah wacana di luar dirinya (konsumerisme, budaya populer), sehingga di dalamnya mereka memiliki peran yang minim dalam mendefinisikan dan mengendalikan wacana itu sendiri.

Di dalam kebudayaan yang dikuasai oleh budaya populer, identitas menjadi sebuah persoalan serius sebab di dalamnya identitas individu (kelompok sosial) dan gaya hidup mereka dikontruksi oleh kelompok elit tertentu (prosedur kapitalis, bintang) sebagai bagian dari industri dan komoditas budaya.

Dalam konstruksi identitas itu, tidak ada ruang bagi pengembangan apa yang disebut sebagai identitas autentik, termasuk identitas keislaman (identitas Keminangan, Sunda, Jawa) yang autentik.

Hasrat untuk menjadi populer pada umat Islam meninggalkan gaya hidup keagamaan (pakaian, penampilan, bicara, belanja) dan mengikuti gaya hidup populer yang dikonstruksi untuk mereka. Mereka dijanjikan kesenangan, kebebasan dan keterpesonaan, sehingga membuat mereka betah di dalamnya. Melalui hasrat populer yang sama, para ustaz turut berlomba-lomba dalam penampilan dan gaya hidup, serta melupakan tugas menjaga kesucian agama itu sendiri, termasuk kesucian dari hedonisme dan keduniaan yang berlebihan (Yasraf Amir Piliang,2011:183-185).

Baca Juga: Jejak dan Karya Dindin Jamaluddin, Belajar dan Mengabdi Sepanjang Hayat
Masjid Swafoto
Jejak Mahakarya Azyumardi Azra di Bandung

Hakikat Puasa

Ternyata komidifikasi sudah merasuk segala sendi kehidupan. Semua transaksi kehidupan adalah usaha untuk mencari untung. Segala sesuatu dikomodifikasi untuk memaksimalkan keuntungan, baik secara finansial maupun kekuasaan. Agama dan budaya tidak luput dari gempuran gelombaang pasang komodifikasi ini.

Padahal puasa mengajarkan banyak hal kepada kita tentang bagaimana berpegang teguh pada hakikat ajaran agama dan tetap eksis dalam kehidupan secara mulia. Pertama, puasa mengajarkan bagaimana manusia harus membangun keseimbangan hidup dalam segala dimensi kehidupan. Puasa adalah sarana untuk menguatkan ketahanan fisik seseorang sekaligus kekuatan jiwa untuk memperkuat kepekaan sosial, kepedulian dan meningkatkan moral spiritualitasnya.

Kalau puasa dilaksanakan hanya sebatas untuk memenuhi kewajiban dengan tidak makan dan minum, maka tidak ada maknanya kecuali mendapatkan haus dan lapar semata. Demikian juga kalau seseorang hanya mengajar tujuan-tujuan simbolik dan formatistik, maka itu kurang bermakna, selain hanya kepuasan yang bersifat sementara.

Kedua, puasa melatih kesadabaran dan kesadaran untuk menjalani kehidupan sebagai proses panjang. Untuk berbuka puasa, seseorang bisa saja tidak harus menunggu lebih dari separuh hari yang dilaluinya. Tetapi seseorang yang berpuasa dituntut untuk bersabar menunggu sampai magrib tiba saat dibolehkan untuk berbuka.

Di sini puasa juga mengajarkan bahwa untuk mencapai kesenangan dan kenikmatan hidup, seseorang seharusnya tidak membeli waktu dengan menempuh cara-cara pragmatis dan instan untuk mencapai tujuan. Saat waktu berbuka tiba, dianjurkan untuk mengabadikan diri dengan tidak makan dan minum secara berlebihan.

Ketiga, puasa mengajarkan seseorang untuk bekerja lebih giat dan meningkatkan etos kehidupan. Bila mau seseorang yang berpuasa cukup diam di rumah dan tidur. Akan mendapat pahala dengan tidurnya. Tetapi jika ia mau bekerja keras, pahala yang diterima akan jauh lebih besar. Itulah etos kepribadian yang diajarkan melalui puasa.

Dengan demikan puasa merupakan proses humanisasi kehidupan manusia, sehingga tata kehidupan menjadi lebih transformatif, berkeadilan, bermoral, beretos sosial tinggi. Kita memang hidup sangat jauh dari masa kenabian, tetapi kalau pesan-pesan kenabian bisa ditangkap secara utuh, maka kita termasuk golongan yang beruntung (A. Muhaimin Iskandar, 2010 :13-16).

Sejatinya, kehadiran puasa di bulan Ramadan ini harus menjadi kawah candradimuka (madrasah ruhaniyah) yang dapat melahirkan peradaban Islam nusantara berbasis keimanan yang kukuh dan tidak menciderai kemanusiaan dengan tidak melakukan perbuatan tak terpuji, kotor, lalim, dan berdosa.

Salah satu hikmah adanya puasa itu dapat mengendalikan diri, termasuk tidak menjual ayat-ayat Tuhan untuk kepentingan diri sendiri. Hasrat untuk beribadah live (imam salat tarawih), selfie saat salat, baca quran, dengan harapan mendapatkan saweran, mestinya ditanggalkan.

Kiranya, petuah Rasulullah tentang pentingnya menjaga (mengendalikan, menahan) diri saat saum ini, “Barang siapa tidak mampu meninggalkan dengki (perkataan kotor) dan mengerjakannya, maka sesungguhnya Allah Swt. tidak memiliki kepentingan baginya untuk meninggalkan makanan dan minumannya; Banyak orang berpuasa, tetapi dari puasanya ia tidak mendapatkan sesuatu, kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//