Masjid Swafoto
Dalam konteks Masjid Al Jabbar, muncul kebiasaan seseorang dianggap belum ke Bandung bila tidak mengunjungi masjid apung di Gedebage ini sambil melakukan swafoto.
Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
18 Januari 2023
BandungBergerak.id—Rasanya tak sempurna, bila kita bepergian ke tempat (objek) wisata (religi) tidak melakukan selfie atau swafoto, foto bareng keluarga, sanak famili, bersama kawan bermain, teman sejawat, sahabat seperjuangan sebagai bagian dari gaya hidup trendi masa kini. Akibat perilaku itu masjid-masjid telah berubah menjadi destinasi religi yang tak membuat pengunjungnya menyadari kehambaan dirinya di hadapan Sang Khalik. Pasalnya saat melancong ke masjid, orang-orang hanya takjub pada bangunan, arsitektur dan strukturnya yang megah, lalu sibuk melakukan swafoto, sambil mengagumi diri sendiri.
Apalagi di kalangan milenial, sebutan untuk generasi Z yang lahir era 2000-an, tumbuh berkembang dengan serba-serbi digitalisasi. Menurut Mastio AF mereka punya karakteristik unik, misalnya suka makan sebagai pengalaman wisata, suka nongkrong ngobrol bareng (kolaborasi), suka self learning (belajar mandiri), suka mentor yang keren, suka tontonan (suka screen), suka bekerja sesuai passion dalam suasana informal (cassual), suka mendapatkan panggung ekspresi, suka swafoto, suka berkomunitas di dunia maya maupun nyata.
Lantas bagaimana dengan masjid dalam menghadapi generasi Z, sebagai pusat dakwah, masjid harus fleksibel. Jangan lagi pendidikan di masjid hanya dipenuhi anak-anak TPA, namun sunyi pendidikan berbasis SMP, SMA, hingga sampai mahasiswa (anak kuliahan).
Sejatinya masjid harus menjadi sebaik-baiknya dan senyaman-nyamannya bagi pemuda kita ke depannya. Tak sekadar pengajian dan pengajaran. Masjid merancang peradaban dimulai dari pendidikan dan pemberdayaan pemuda (komunitas). Melalui dana masjidlah pengembangan demi pemberdayaan terus digalakkan.
Mastio AF memberikan Business Model Ideal untuk generasi Z. Pertama, tempat "nongkrong ngobrol" produktif, kolaborasi belajar bersama baik nyata maupun maya; kedua, tempat pengembangan bakat dan akhlak dengan dukungan mentor; ketiga, tempat membangun komunitas bukan hanya tempat berkumpul; keempat, library online; kelima, startup business dan investment center.
Dengan harapan suatu saat ke depannya manajemen masjid dapat melirik instrumen investasi untuk jangka panjang. Layaknya Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Sehingga nantinya ketika sudah memiliki peran mengentaskan kemiskinan misalnya, tidak kesulitan lagi dalam urusan dana. Sebab hasil investasinya sudah ada dan gerakannya akan lebih dinamis (Muh Taufiq Al Hidayah, 2019:29-30).
Baca Juga: JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #8: Memupus Kebencian, Meraih Indahnya Hidup Berdampingan
SAWALA DARI CIBIRU #2: Merawat Tradisi, Menyemai Selebrasi
Jejak Mahakarya Azyumardi Azra di Bandung
Menelaah Polemik Idul Adha Zaman Belanda, Menggurat Hikayat Pengorbanan
Paradoks Sosmed
Memang teknologi terus berkembang, semestinya menjadi pendukung untuk memudahkan tersebarnya suatu ibadah ke media sosial. Membaca Al-Qur'an satu, dua, tiga juz dibuat status. Ibadah rutin ke masjid difoto, lalu diunggah di laman sosial. Setelah sedekah ke fakir miskin dibicarakan dan menjadi status hangat di medsos pribadi. Saat menunaikan ibadah haji, tidak lupa swafoto dan diunggah ke medsos pula.
Itulah fenomena hari ini. Hingga terkadang sebagian muslim tidak tahan untuk mengomentari itu semua dengan nada miring. Langsung menilai hal itu sebenarnya telah terjerumus pada riya', pamer ibadah kepada orang lain sekaligus berharap ingin dapat pujian manusia.
Sebenarnya saat kita menganggap mereka riya' atau sum'ah (ingin didengar orang lain) tanpa sengaja kita telah menilai niat mereka. Seolah kita tahu isi hati mereka. Tapi bukankah niat seseorang baik atau buruk bisa dilihat dari perilakunya. Memang bisa kita sebut seperti itu. Karena sering kali niat akan memancarkan pada kelakuan tubuh.
Namun alangkah baiknya kita tidak perlu terus mengurusi amal pribadi mereka. Biarlah mereka memposting semua ibadah ke media sosial. Kita doakan semoga niat mereka tulus, ikhlas. Niat tidak melenceng. Siapa tahu ibadah mereka yang diumbar ke jejaring sosial, bisa memberi semangat yang lain untuk beramal. Bisa jadi saat mereka memposting ibadah mereka, ada orang lain terpacu untuk melakukan ibadah dengan lebih giat (Rohmat Saputra, Deejay Supriyanto, 2017:25-26).
Hakikat Ibadah
Dalam konteks Masjid Al Jabbar, muncul kebiasaan seseorang dianggap belum ke Bandung bila tidak mengunjungi (menginjakkan kaki) di masjid apung Gedebage ini sambil melakukan swafoto.
Padahal masjid berfungsi sebagai sujud, tempat melakukan ibadah, salat. Untuk masjid yang dibangun dalam ukuran besar melalui anggaran pemerintah dengan harapan dapat menampung jamaah. Namun nyatanya tidak selamanya masjid berukuran besar itu disesaki jamaah dalam rentang ibadah wajib, salat lima waktu. Paling-paling baru akan penuh, bahkan membludak pada saat salat Jumat dan bulan Ramadhan dengan salat tarawih.
Besarnya bangunan masjid dan jamaahnya terkadang memang tidak seimbang, malah sering pula dijumpai jumlah jamaah hanya dalam hitungan jari saja.
Kondisi lain terjadi di kota-kota besar belakang ini. Masjid tampak lumrah dikunci. Orang tidak leluasa keluar masuk. Keberadaan bangunan masjid seperti diperuntukkan bagi ibadah wajib, terbatas waktu salat saja. Selebihnya masjid ditutup di luar jadwal ibadah wajib. Penguncian masjid biasanya dilakukan untuk alasan keamanan barang-barang di dalamnya, kesucian tempat, demi menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Ya sebagai bentuk pencegahan (Biro MJS Press, 2019:30-31).
Ingat, dalam beribadah dan melakukan perbuatan baik, cukup hanya kita dan Allah SWT saja yang tahu. Tak perlu orang lain tahu. Tak perlu kita mengumbarnya ke sana ke mari. Saat salat berjamaah di masjid, selfie, lalu upload. Ketika ada penggalangan dana misalnya sedekah, selfie jumlah uang yang disedekahkan, lalu upload. Ketika mendoakan orang tua, selfie, lalu menuliskan keterangan foto dengan kalimat doa yang sudah diucapkan dalam doa, lalu upload. Hingga jutaan pasang mata (ratusan pasang mata) menyaksikan.
Ada yang memuji (pujian yang bisa mengakibatkan riya' dan yang menasehati, bahkan mencela (yang bisa mengakibatkan hilangnya semangat). Padahal segala fitnah tersebut kitalah yang memulainya. Kitalah yang mengundang orang lain agar melakukannya pada kita.
Kita tahu bersama, ibadah, berbuat kebaikan cukup kita Allah yang tahu. Tak perlu orang lain tahu. Sebab dapat mengakibatkan ujub, tinggi hati, lalu kerusakan hati yang semakin lama semakin parah karena ujub.
Rasulullah mengajarkan kita sikap ikhlas ketika beramal. Ikhlas ialah tak menurun semangatnya untuk berbuat baik, walau banyak yang tahu. Rida manusia bukanlah yang utama, tapi rida Allah yang menjadi tujuannya. Kelak balasan dari-Nya, yang paling dirindukan, bukan manusia dengan segala pujian. Sebab pujian tak akan mengenyangkan karena bisa mengundang fitnah.
Allah SWT berfirman, "Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah:284).
Segala perbuatan apa pun yang kita sembunyikan atau lahirkan (tampakan) niscaya akan mendapatkan balasan dari yang Mahakuasa (Ummu Kulsum, dkk, 2018:17-18).
Dengan demikian, bila kita menjalankan ibadah dengan sungguh-sungguh, mendalam, secara menyeluruh (kafah) niscaya tak ada praktik yang menjadikan rumah ibadah, masjid sebagai ajang swafoto, melakukan perbuatan tak terpuji dengan aksi joged yang divideokan, di-upload ke media sosial, disebar, hingga menjadi viral dan menuai polemik.
Mudah-mudahan jelang pemilihan tak menjadikan tempat suci ini sebagai ruang kampanye terselubung dan aktivitas politik praktis. Semoga.