• Opini
  • Menelaah Polemik Idul Adha Zaman Belanda, Menggurat Hikayat Pengorbanan

Menelaah Polemik Idul Adha Zaman Belanda, Menggurat Hikayat Pengorbanan

Kejadian ini terjadi tahun 1932. Penyebabnya datang dari kesewenangan pemerintah kolonial Belanda yang tidak meliburkan sekolah pada hari Idul Adha.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Umat Islam melaksanakan ibadah salat Idul Adha di lapang soft ball Lodaya, Bandung, Sabtu (9/7/2022). Sebagian umat Islam di Indonesia melaksanakan salat Idul Adha Sabtu, dan sebagian umat melaksanakannya Minggu. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

12 Juli 2022


BandungBergerak.idBila kita membaca SKB 3 Menteri (Menag Yaqut Cholil Qoumas, Menaker Ida Fauziyah, dan Menteri PANRB Tjahjo Kumolo) Nomor 375 Tahun 2022, Nomor 1 Tahun 2022, Nomor 1 Tahun 2022 yang dikeluarkan tanggal 7 April 2022, libur Idul Adha 2022 jatuh pada hari Sabtu tanggal 9 Juli 2022.

Meski diralat melalui SKB yang ditetapkan pada 7 Juli 2022, yang semula jatuh pada hari Sabtu tanggal 9 Juli 2022 jadi hari Ahad 10 Juli 2022. Walhasil, perubahan ini menuai polemik di kalangan masyarakat awam. Adakah pelajaran yang bisa kita petik dari kehadiran Rayagung (10 Zulhijah)?

Kontroversi Idul Adha

Dalam video Idul Adha 1932 Tidak Libur, Warga Bandung Marah yang diunggah oleh Priangan.com yang berhasil ditonton 948 dengan jumlah subscribe 82,3 ribu pada hari Jumat (08/07/2022) pukul 23:48 mengabarkan, tak seperti biasanya, perayaan Idul Adha di Bandung diwarnai kekesalan.

Kejadian ini terjadi tahun 1932. Penyebabnya datang dari kesewenangan pemerintah kolonial Belanda yang tidak meliburkan sekolah pada hari Idul Adha. Karena tindakannya itu, kolonial dikiritik habis-habisan dan dianggap intoleran.

Ada hal kontroversial pada saat Idul Adha tahun 1932 di Bandung. Lembaga yang diberikan otoritas oleh pemerintah dalam urusan keagamaan menetapkan pada tanggal 10 Zulhijah 1351 jatuh pada hari Sabtu 16 April 1932.

Pada 12 April 1932 pemerintah kolonial Belanda melalui Hollandsch-Inlandsche School (HIS) mengeluarkan surat pengumuman resmi yang isinya bahwa pada hari raya di sekolah-sekolah di Bandung tidak diliburkan, murid beserta para gurunya dianjurkan untuk tetap masuk sekolah, seperti biasanya sekalipun ada perayaan Idul Adha.

Keluarnya putusan ini disinyalir sebagai buntut dari adanya perbedaan penetapan hari Idul Adha di berbagai daerah di Indonesia. Waktu itu tidak semua daerah di Indonesia menetapkan hari Idul Adha pada 16 April. Ada juga sebagai daerah yang merayakan 17 April 1932.

Pemerintah kolonial sendiri memutuskan bahwa hari libur Idul Adha jatuh pada 17 April 1932 bertepatan hari Ahad. Kebijakan ini sontak menuai kritik dan menimbulkan keheranan bagi sebagian besar masyarakat Bandung. Pasalnya aturan tersebut hanya berlaku untuk sekolah di Bandung.

Kekecewaan sebagian masyarakat semakin besar, setelah mengetahui jika aturan tersebut tidak dibuat oleh Bupati, melainkan langsung dari pemerintah Belanda.

Berkaitan dengan kebijakan kontroversial ini terekam dalam koran Sipatahoenan yang terbit pada 20 April 1932. Mereka menganggap pemerintah kolonial terhadap sikap intoleran karena tidak menghormati umat Islam.

Kebijakan ini juga dinilai sebagai bentuk kurang penghargaan pemerintah terhadap agama Islam dan tradisi rakyat yang sudah ada sejak lama, bahkan muncul juga di tengah masyarakat, jika kebijakan tersebut adalah cara perjanjian untuk menggoyahkan aqidah umat Islam agar pindah keyakinan.

Kebijakan ini turut mewarnai dinamika sosial keagamaan pada paruh pertama abad ke-20. Apalagi masalah ini menjadi salah satu kebijakan kolonial yang paling kontroversial yang bersentuhan langsung dengan umat Islam sepanjang pemerintahan di Indonesia (Sipatahoenan, 20 April 1932).

Hakikat Idul Adha

Hasil liputan Kodar Solihat bertajuk Kenangan Idul Adha di Bandung Zaman Dahulu, bahwa Ustaz Abdul Rachman menegaskan Hari Raya Idul Adha merupakan salah satu dari dua hari besar umat Islam yang disambut suka cita dengan penuh makna.

Uniknya, terdapat kenangan zaman dahulu yang pernah terjadi di Kota Bandung pada tahun 1952, saat pelaksanaan salat Idul Adha 1373 Hijriyah. Saat itu, hujan tiba-tiba mengguyur saat salat Idul Adha 1373 di Kota Bandung masih dipusatkan di Lapangan Tegallega.

Diberitakan suratkabar AID Preangerbode terbitan 1 September 1952 yang arsipnya tersimpan di Koninklijke Bibliotheek Belanda, meski diguyur hujan, ribuan umat Islam berkumpul di Lapangan Tegallega kemarin paginya, melakukan salat berjamaah dalam rangka Idul Adha.

Ustaz Abdul Rachman dalam khotbahnya mengatakan, bisa jadi seseorang itu kepanasan di kala hujan, sedangkan dia kedinginan di kala panas. Ini adalah tanda bahwa orang seperti itu sakit.

Demikian pula, orang-orang di negara merdeka (maksudnya Indonesia) yang baru diperoleh, mungkin merasa tidak aman dan tidak bahagia, meskipun mereka telah mengorbankan hampir segalanya untuk mendapatkan kemerdekaan nasional.

“Mungkin ada orang-orang merasa bahwa lebih aman untuk hidup dalam keadaan tidak merdeka. Ini kemudian menjadi tanda, bahwa negara merdeka terkena penyakit sosial,” kata Ustaz Abdul Rachman dalam khotbah yang digelar usai salat Idul Adha.

Mengingat pentingnya hari besar ini dan menyatakan bahwa asal mula penyakit sosial disebabkan oleh krisis iman. Idul Adha harus dirayakan dengan sukacita. Bagaimanapun, pada hari ini kurban diberikan kepada orang miskin.

“Maka merupakan suatu kebahagiaan bagi setiap muslim karena ia mampu mencapai sesuatu yang baik bagi sesamanya. Pada hari ini setiap muslim diberi kesempatan untuk menunjukkan rasa cintanya kepada sesamanya,” ujarnya pada khotbah.

Ingat, setiap orang berjuang untuk kebahagiaan. Bahwa Islam menginginkan semua orang hidup bahagia. Ikhtiar mengejar kehidupan yang bahagia, tidak boleh dicapai dengan menempatkan orang lain pada posisi yang kurang menguntungkan.

"Mengejar kesejahteraan diri sendiri dengan menyebabkan orang lain menjalani kehidupan yang tidak bahagia, pada dasarnya adalah sumber dari semua kekacauan dan sumber dari semua kejahatan dalam masyarakat,” tegas Ustaz Abdul Rachman.

Al Quran mengajarkan bahwa setiap orang dapat berjuang untuk kehidupan yang bahagia. Tetapi hanya dengan bertindak sedemikian rupa, sehingga kebahagiaan sesamanya juga dipacu olehnya. (Deskjabar Pikiran Rakyat, 20 Juli 2021, 13:07 WIB).

Dalam buku Korban Tabrak Lari Hawa Nafsu Sendiri diuraikan ihwal peristiwa kurban yang di awali dari keikhlasan, kesabaran, dan ketulusan seorang ayah dan anaknya, kurban menjadi perantara pendekatan diri kita kepada Sang Khalik.

Dalam dimensi sosial, kita semua pasti sepakat, berbagai untuk tolong-menolong adalah kebaikan. Tidak ada yang sia-sia dalam memberi. Apalagi Al Quran telah mengamanatkan kepada kita semua, tolong menolonglah untuk berbuat baik dan takwa.

Baca Juga: SUARA SETARA: Idul Adha dan Momen Pengorbanan Siti Hajar yang Kerap Terlupakan
Merayakan Idul Adha di Amerika Serikat, Masih di Tengah Pandemi
Aturan Iduladha dan Panduan Penyembelihan Hewan Kurban di Kota Bandung

Kurban Bagian dari Pendidikan Tolong-menolong

Kurban bagian dari pendidikan tolong-menolong. Kita diajarkan untuk berbagai dengan nilai yang tak biasa. Galibnya hanya memasukkan uang di kotak amal 1.000 - 2.000 rupiah. Namun dalam ibadah kurban kita melakukan lebih dari itu, dengan tujuan mensemarakan cinta kasih dalam lingkungan masyarakat.

Apalagi di era modern ini, tidak mudah mendorong manusia memberi lebih, kebanyakan dari mereka ingin menerima lebih. Identitas itulah yang sekarang terbangun, sehingga menimbulkan sikap rakus dalam dunia modern, tidak lagi memperhatikan nilai-nilai dan kualitas hidup bersama (Aswab Mahasin, 2020:300).

Dalam buku Bercermin pada Nabi Ibrahim ditegaskan bahwa dengan perjuangan ketaatan dan keikhlasan Nabi Ibrahim As, memenuhi perintah Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail. Dari peristiwa ini bisa diambil pelajaran penting bagi manusia yang hidup di zaman sekarang agar mampu mengorbankan harta yang dicintainya untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan mencapai rida Allah Swt.

Menolong orang-orang yang kurang mampu, menyantuni anak yatim, dan berupaya bagi ulama dalam memberikan tuntunan, bimbingan agar menuntun umat manusia menuju jalan yang benar, yang dirahmati dan diridai Allah Swt. Ini semua berkat perjuangan Nabi Ibrahim As, yang menjadi bagian daripada kesempurnaan syariat Islam yang dibawakan oleh nabi Muhammad Saw (Otong Surasman, 2020:88).

Dalam Majalah Mata Air edisi 4, kurban mendekatkan diri kepada Allah dan sesama. Ibadah kurban yang telah dilakukan sejak zaman Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, adalah simbol dari sifat berserah diri, pengorbanan, dan ketulusan tanpa pamrih.

Kurban merupakan salah satu cara untuk meraih kecintaan kepada Allah SWT dan juga merupakan dan wasilah dalam mendekatkan hati sesama manusia. Kurban adalah berbagai untuk kemanusiaan dan sebuah ketaatan dalam kehambaan (Majalah Mata Air edisi 4:51).

Kurban adalah salah satu suri teladan sikap bersosial dalam kehidupan nyata. Dalam berkurban, seorang muslim yang mempunyai kekayaan disunahkan mengikhlaskan sebagian hartanya, dimanfaat-kan untuk saudaranya yang miskin. Hanya saja, bentuknya ditentukan sebagaimana dalam syarat dan rukun kurban. Dalam kehidupan nyata, seorang yang kaya semestinya menyedekahkan sebagian harta untuk kelangsungan hidup saudaranya yang membutuhkan.

Pengorbanan tanpa pamrih adalah satu kata kunci yang harus dipegang dalam melaksanakan kurban dan substansinya. Adanya pengorbanan semacam inilah akan menjadikan seorang shahibul kurban menuai dua dimensi; kedekatan kepada Tuhan dan saleh kepada sesama. Di samping itu, keberkahan Tuhan dan rasa nyaman bagi lingkungan sekitar akan tercapai. Maka tiadalah kekurangan dirasakan jika sudah demikian (Kompas, Rabu 10 November 2010).

Sejatinya, momentum Idul Adha merupakan tonggak awal lahirnya peradaban Islam berbasis keimanan yang  kukuh. Serangkaian perintah kurban (menyembelih sapi, domba, kerbau), salat id (dilaksanakan di lapangan), silaturahim (membagikan daging kurban) kepada tetangganya harus menjadi petanda peradaban Rasul untuk menegakkan keadilan, kemerdekaan sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Kendati, masyarakat muslim Sunda sering menyebutnya Rayagung (hari yang agung) lebaran haji. Pasalnya, pada bulan Zulhijah inilah umat Islam di Indonesia dan seluruh penjuru dunia berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam kelima ini.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//