• Opini
  • Ketika Ustaz E Abdurrahman Menjadi Khatib Salat Iduladha di Tegallega

Ketika Ustaz E Abdurrahman Menjadi Khatib Salat Iduladha di Tegallega

E Abdurrahman dan gurunya yakni A. Hassan juga melaksana salat id di Lapangan Tegallega dengan suasana yang mencengkam.

Muhammad Akmal Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Sejarah UIN SGD Bandung dan Jurnalis BandungBergerak.id sejak 12 Juni 2022

Berita AID-Preangers tentang salat Iduladha dengan khatib E Abdurrahman di Lapangan Tegallega, Bandung. (Dok Penulis)

20 Juli 2021


BandungBergerak.idUmat Islam setiap tahunnya merayakan dua hari raya, yaitu hari raya Idulfitri dan Iduladha. Di Bandung, pelaksanaan salat id seringkali diadakan di Lapangan Tegallega.

Pada tahun 1952, seperti yang diberitakan oleh AID De Preangerbode, 1 September 1952, telah dilaksana salat Iduladha di Lapangan Tegallega, Bandung, dan yang menjadi khatib adalah Ustaz Abdurrahman. Saat itu hujan menguyur kota Bandung namun ribuan jamaah tetap melaksana salat Iduladha.

Masih diberitakan oleh AID Preangerbode, pada tahun 1954 di Lapangan Tegallega juga dilaksana salat Iduladha. Hadir Gubernur Jawa Barat, R. Sanoesi Hardjadinata, kemudian Wali Kota Bandung R. Enoeh, dan Bupati R. Male Wiranatakoesoema. Dan yang menjadi khatib ialah E. Abdurrahman.

Jika kita melihat ke tahun 1938 justru E Abdurrahman dan gurunya yakni A. Hassan juga melaksana salat id di Lapangan Tegallega dengan suasana yang mencengkam sebagaimana yang dituturkan oleh Encang Saefuddin dalam bukunya Metode Istinbath al-Ahkam KH E. Abdurrahman (2000):

"E. Abdurrahman dan Ahmad Hassan melaksanakan salat id di lapangan Tegallega Bandung dengan penjagaan polisi yang lengkap bersenjata, karena pihak kontra revolusi Quran Hadis menyebarkan fitnah dan ancaman, mereka datang ke Tegallega, ada yang mengendarai delman untuk menyaksikan dan menonton lebaran Wahabi, sehingga penonton lebih banyak daripada salat id."

Mengenal E Abdurrahman

Ia dikenal dengan sebutan ustaz Abdurrahman, lahir di Cianjur, 12 Juni 1912. Abdurrahman adalah anak cikal dengan jumlah saudara 13 orang. Ayahnya adalah guru ngaji dan penjahit bernama Ghazali dan ibunya keturunan petani bernama Hafsah.

Dari pendidikan ayah dan ibunya serta kesederhanaan hidupnya yang memacu E Abdurrahman untuk hidup berdiri sendiri. Pada umur tujuh tahun Abdurrahman mengkhatam Al Quran kemudian melanjutkan pendidikan ke madrasah Nahdatul Ulama Al Lanah, Cianjur.

Setelah berhasil meraih pendidikan di Madrasah Nahdatul Ulama Al-Ianah Cianjur kemudian atas permintaan keluarga Swarha Bandung, Ustaz Abdurrahman mengajar di Madrasah Nahdatul Ulama Al Lanah, Bandung.

Selain itu, ia juga mengajar bahasa Arab dan Pendidikan Islam di HIS, Mulo, Kweek School, kemudian mendirikan Majelis Pendidikan Diniyyah Islamiyah di Jalan Kebon Jati, Gang Ence Azis no.12/10D, Bandung, atas permintaan Tuan Al-Katiri, orang kaya di Bandung, untuk mengajar putra putrinya, dan mengajar orang tua dan anak-anak.

Pada 1933, E Abdurrahman menikah dengan keturunan menak keluarga Asikin. Dari perkawinan inilah dikarunia 5 putra dan 8 putri.

Salat Id di Lapangan Tegallega, Bandung, dengan khatib E Abdurrahman. (Dok. Penulis)
Salat Id di Lapangan Tegallega, Bandung, dengan khatib E Abdurrahman. (Dok. Penulis)

Baca Juga: Dari Masyarakat Analog Pancasila Menjadi Masyarakat Digital Pancasila
Mendorong Evaluasi Layanan DJP Online
Menarikan Agama di Panggung Milenium Ketiga

Kiprah dan Karier E Abdurrahman

Ketika Persatuan Islam menyelenggarakan pengajian di mana Ahmad Hassan menilai tahlilan, talqin, marhaban, dan usholi sebagai bid'ah, hal itu terdengar oleh Ustaz E Abdurrahman. Keduanya beberapa kali terlibat perdebatan dan akhirnya Ustaz Abdurrahman menerima dalil-dalil yang diterangkan oleh Ustaz Ahmad Hassan.

Paham Al-Quran dan As-Sunnah diterima oleh Abdurrahman. Hal itu mendapat reaksi keras dari murid-muridnya di Majelis Pendidikan Diniyah Islam. Tuan Al-Katiri, pemilik rumah Abdurrahman di Jalan Ence Azis, mengusir ustaz E Abdurrahman. Kedudukannya sebagai katib di Pekauman (Penghulu) Bandung, dibebaskan.

Setelah itu, Abdurrahman bergabung dengan Muhammad Natsir di Pendis (Pendidikan Islam) pada tahun 1934, dan menjadi anggota Persatuan Islam, di Jalan Lengkong Besar. Muhammad Natsir dan Ahmmad Hassan mendirikan Pesantren Besar pada 1936 dengan jumlah 40 orang dewasa dan Pesantren Kecil berjumlah 100 anak.

Pada tahun 1936-1939, Abdurrahman ditunjuk oleh PB. Persis untuk menjadi pengurus Pesantren Persis Bandung. Semangat akan mengajar di dunia pendidikan inilah yang sampai akhir hayatnya dilakoni E Abdurrahman. Selama itu ia tetap menjabat menjadi pimpinan Pesantren Persatuan Islam nomor 1 di Bandung.

Pada tahun 1957, Ustaz Abdurrahman menjadi anggota Konstitute Republik Indonesia dari fraksi Masyumi, dan pada akhirnya konstitute itu dibubarkan oleh Sukarno. Lalu pada tahun 1959 dan 1967 menjadi dosen di Universitas Islam Bandung dan FKIT-IKIP untuk mata kuliah Pendidikan Islam. Dan pada 1968 dalam muktamar Persatuan Islam di Bandung, Ustaz E Abdurrahman terpilih tiga kali berturut-turut menjadi ketua umum Persatuan Islam.

Ulama terkemuka, KH. E. Z. Muttaqien, menyebut Abdurrahman sebagai “Ulama yang paling dalam ilmunya di Bidang Hadits dan Tafsir." 

Hari Kamis, 21 April 1983, pukul 02.30, di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Allah memanggil Abdurrahman. Ribuan orang mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir di Pekuburan Karang Anyar.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//