• Opini
  • Dari Masyarakat Analog Pancasila Menjadi Masyarakat Digital Pancasila

Dari Masyarakat Analog Pancasila Menjadi Masyarakat Digital Pancasila

Benturan di tengah samudera antara lempeng sekutu teknologi dan kearifan lokal, tidak dapat dihindari. Yang akan sangat menentukan: kebajikan pengambilan keputusan.

Sophan Adjie

Pengajar Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Katolik Parahyangan, anggota Pusat Studi Pancasila (PSP) Unpar

Murid SMP Pasundan 1 Bandung melaksanakan ujian penilaian akhir tahun secara daring, Senin (7/6/2021). Pandemi memaksa orang mengakrabi dunia digital dalam segala bidang kehidupan mereka. (Foto: Prima Mulia)

18 Juli 2021


BandungBergerak.idMulanya sebagian penduduk Indonesia tidak menyangka jika infeksi yang disebabkan oleh virus Corona begitu dekat. “Kita ini bangsa yang kuat, berbudi luhur, beragama, dekat dengan Tuhan, dan kaya akan rempah” adalah mitos-mitos yang pernah mengafirmasi bahwa Indonesia kebal dari serangan global Covid-19. Kini, kenyataannya lain. Kita sudah hidup berdampingan dengan virus Corona.

Hal menarik untuk diutarakan dalam tulisan ini adalah bagaimana upaya dan dampak adaptasi masyarakat. Terjadi transformasi dari kebiasaan hidup manual menjadi gaya digitalisasi sebagai manifestasi hidup baru berdasarkan penguasaan teknologi. Di dalam ekosistem teknologi, virus tidak akan mampu mewabah seperti dalam ekosistem planet bumi kita. Teknologi adalah suaka masa depan manusia yang memberikan rasa aman dan harapan. Di sanalah, jaminan eksistensi manfaat dan makna mungkin masih bisa diperoleh.

Para orang tua yang sering kali protes kepada anak-anaknya yang ‘mabuk’ teknologi, kini harus menarik kembali protesnya dan memberikan dukungan lahir batin kepada generasi aplikator teknologi itu. Bagi generasi yang hidup di tengah pandemi abad ke-21, penggunaan teknologi menjadi penentu masa depan mereka. Membersulit atau menghambat dorongan penggunaan teknologi sama saja dengan mematikan cahaya harapan mereka untuk tetap menjaga eksistensi, manfaat, dan makna hidupnya.

Situasi ini tidak hanya terjadi pada anak-anak, tetapi pada seluruh insan. Sekolah-sekolah, instansi-instansi, dan berbagai lembaga serta kesatuan telah terintegrasi dengan aplikasi Zoom Meetings, Google Meet, atau Microsoft Team sebagai pengganti ruang perkantoran. Buku-buku ditukar dengan dokumen format PDF, MS.Word, dan Excell. Mentor dan guru besar digantikan oleh Siri. Tata usaha dan admistrasi pun sudah migrasi ke kantor virtual. Laboratorium sekolah saat ini adalah rumah murid yang dihuni oleh orang tua, wali, kerabat keluarga, lingkungan sekitar rumah, dan  situs pencarian daring. Semua ini merupakan, meminjam istilah YB. Mangunwijaya, in concreto, kenyataan yang faktual dan sungguh terjadi.

Anak-anak sekolah SD sampai SMA, juga para mahasiswa, sudah lebih dulu menerima in concreto transfer kebiasaan lama ke kebiasaan baru berbasis teknologi. Mereka ‘terpaksa’ menerima perintah menggunakan praksis teknologi dan mengakuinya sebagai bentuk totalitas penyerahaan diri agar masa depan cerah ada di genggaman.

Namun, bagaimana dengan sektor lain semisal sektor industri kecil menengah, organisasi nonpemerintah, pelaku seni, atau juga buruh serabutan yang menggantungkan hidupnya pada penghasilan harian yang berpedoman pada “jika aku bekerja, maka aku ada”? Sanggupkah mereka meniru para anak sekolah dan mahasiswa yang sudah beralih sepenuhnya pada teknologi?

Perdebatan-perdebatan yang Gaduh

Tujuan pendidikan dan sektor selain pendidikan memang berbeda. Pendidikan berjihad pada keyakinan bahwa keberhasilan pendidikan terletak dalam integritas dan kehormatan ilmu pengetahuan, pengembangannya, dan manfaat bagi sesama manusia. Tentunya akan lain keadaannya di sektor nonpendidikan. Mereka mencari pragmatisasi dari segala yang ada dalam kehidupan. Ujungnya bukan lain yaitu ukuran materiel. Sebuah paradoks terjadi ketika Sabtu, 10 Juli 2021 lalu warga masyarakat Jawa Timur merayakan ‘kemenangan’ kecil karena berhasil menghalau petugas gabungan satpol PP, polisi, dan TNI yang hendak menutup warung makan yang masih nekat buka di masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.

Di Jakarta, kita mendengar kabar tentang personel Paspamres yang hendak berangkat kerja dan beradu mulut dengan petugas penyekatan PPKM Darurat. Akibat insiden ini, sampai-sampai para petinggi Polri dan TNI turun tangan memberikan klarifikasinya masing-masing. Pertanyaannya, apa sebetulnya kebiasaan baru yang diinginkan oleh keadaan in concreto di tengah pandemi di Indonesia?

Politik, agama, dan ekonomi menjadi tema-tema favorit dalam perdebatan-perdebatan yang terkait dengan persoalan pandemi di Indonesia. Perdebatan-perdebatan itu membuat gaduh dan mengaburkan upaya mempertahankan kedaulatan hidup di tengah masa penuh kesuraman ini. Urusan kesehatan bergeser menjadi persoalan berlandaskan kepentingan parsial, temasuk prasangka adanya “konspirasi elite global” atau ungkapan “hukuman Tuhan dan hanya kepada Tuhanlah berserah”. Aturan pemerintah justru dicap musrik dan menyengsarakan rakyat. Padahal, tekanan ekonomi saat ini justru tepat menjadi alat bantu pendorong sebagian rakyat Indonesia untuk menagih janji kesejahteraan yang seharusnya ada di tangan mereka, bukan di tangan regulator dan pemilik modal.

Di antara kebisingan-kebisingan itu, di tengah samudra yang berpotensi tsunami yang besar kemungkinan meratakan bangunan-bangunan budaya di atas tanah Pancasila, ada pergerakan lempeng. Prediksi ini sudah pernah disampaikan oleh YB. Mangunwijaya pada 1983 lalu dalam buku Dampak Teknologi dan Kebudayaannya, Volume 1 yang ditampilkan secara lebih sederhana dalam Kumpulan Esei-Esei Kebudayaan Indonesia Abad ke-21, tentang pembentukan kebiasaan baru hasil transformasi dari dari analog ke digital, dari manual ke penguasaan adaptasi teknologi.

Salah satu maestro pemikiran kritis Indonesia di abad ke-20 ini mewanti-wanti secara halus-tajam maksud di balik transformasi teknologi di berbagai sektor kehidupan manusia Indonesia modern. Pada saat teknologi berhasil menjadi jalan keluar permasalahan mendasar manusia agar menjadi sejahtera dan kehidupannya terjamin di masa mendatang, di situlah absolutisme hadir.

Mangunwijaya mengutip argumentasi ahli sejarah komunikasi sosial dari Kanada, Marshall McLuhan dalam buku, The Global Theatre bahwa justru karena kita melihat betapa teknologi mendekati kesempurnaan, kita harus waspada sebab there it and old saying in the bussines world: If it works it must be absolute. Ada kerisauan bahwa keberhasilan teknologi membuktikan diri untuk mengatasi permasalahan manusia, akan sekaligus men-tranfser sekutu teknologi yaitu seluruh totalitas kebudayaan serta ideologi pihak yang melahirkan teknologi itu.

Baca Juga: Pancasila, Phronesis Berbangsa
Pancasila sebagai Aktualisasi, bukan Alat Pengatur
Pancasila dari Rakyat (4): Ketika Petani Masih Dipandang Sebelah Mata

Kebajikan Pengambilan Keputusan

Benturan di tengah samudera antara lempeng sekutu teknologi dan kearifan lokal, tidak dapat dihindari. Kedua lempeng ini akan bertubrukan dan menciptakan tsunami yang meratakan bangunan-bangunan kearifan lokal di atas tanah Pancasila. Perubahan motif hidup manusia Indonesia yang komunal, bergeser ke individual, dan beralih lebih jauh menjadi manusia yang berkarya dalam struktur teknologi yang telah menjadi satu kesatuan dalam ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan).

Di tengah promosi swasta dan pemerintah mengajak masyarakat beramai-ramai beralih ke pemanfaatan teknologi secara penuh demi menuntaskan kerumitan pandemi Covid-19, kita sebagai bangsa yang dibesarkan ribuan tahun dalam keluarga besar Pancasila berada di bawah bayang-bayang ancaman hancur-lebur oleh tsunami sekutu teknologi. Simtomnya mulai dirasakan di daerah urban yang lebih dulu akrab dengan kemuktahiran teknologi. Bukan perkara ringan mengajarkan tata karma atau sopan santun kepada masyarakat yang merasa dizalimi oleh keadaan.

Intoleransi dan sikap sewenang-wenang menjadi fenomena lumrah. Toleransi dan solidaritas menjadi barang langka, bahkan selevel dengan mukjizat yang harus diwartakan, diviralkan. Teknologi memang tidak punya rasa kemanusiaan. Ia fokus pada tujuan terstruktur sesuai keinginan pembuatannya. Algoritmanya hampir mirip dengan tujuan terstruktur dari habitus intoleransi dan kesewenang-wenangan yang terjadi di Indonesia sepanjang pandemi, terutama selama PPKM Darurat 3-20 Juli 2021.

Friedrich Dessauer, seorang ahli biofisika dan radiologi menyarankan, sebagaimana dirujuk oleh YB Mangunwijaya, jangan hanya kebajikan-kebajikan pelaksaan belaka yang perlu dikembangkan dalam teknologi, tetapi juga kebajikan-kebajikan pengambilan keputusan (die Tugenden der Entscheidung). Pemanfaatan teknologi dan peraturan pemerintah yang mendasarkan pada nilai-nilai Pancasila adalah upaya die Tugenden der Entscheidung yang akan menyelamatkan para penduduk di tanah Pancasila ke tempat yang lebih aman. Struktur-struktur teknologis yang mempengaruhi paradigma masyarakat yang Pancasilais perlu didesain ulang, disesuaikan dengan latar belakang Indonesia.

Apa yang akan kita dengar di masa depan dari anak-anak, cucu-cucu kita, menjawab pertanyaan, menyitir pertanyaan Sutan Sjahrir dalam buku Renungan Indonesia: “Dalam hal kebudayaan dasar manakah yang ingin paling tepat dipakai oleh seluruh rakyat Indonesia dalam pertandingan hidup mati melawan pandemi Covid-19?”.

Semoga tren sebagian masyarakat Indonesia yang gemar merayakan diri sebagai korban atas masalah yang terjadi melalui aksi-aksi spontan dan terencana, tidak menjadi penghambat lahirnya diskursus inovatif dan prefentif, demi menjawab bahaya tsunami dari samudera pandemi Covid-19.  

Editor: Redaksi

COMMENTS

//