Pancasila, Phronesis Berbangsa
Rakyat perlu terlibat dalam memaknai dan menghidupi Pancasila yang adalah falsafah, ideologi, dan dasar negara Indonesia.
Andreas Doweng Bolo
Ketua Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Katolik Parahyangan, bisa dihubungi via email [email protected]
3 Juni 2021
BandungBergerak.id - Menjelang bulan Juni tensi pembicaraan dan jumlah unggahan media sosial seputar Pancasila meninggi. Suasana ini tentu sangat berbeda dibandingkan era Suharto (Orde Baru) yang pada tahun 1970 melalui Komando Pemulihan Keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) melarang peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.
Baru delapan tahun kemudian orde Suharto melunak. Pada pertengahan Mei 1978, melalui Menteri Politik dan Keamanan Jendral M. Pangabean, pemerintah memperbolehkan 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila, walau ada catatan khusus sebagaimana dikatakan oleh Ali Murtopo, Menteri Penerangan kala itu: Hari Lahir Pancasila bukanlah hari nasional dan bila itu dirayakan pun bukan berasal dari pemerintah atau negara.
Geliat peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila kembali bergulir sejak tumbangnya rezim orde baru. Pada era Presiden Joko Widodo, melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016, 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Keputusan yang disampaikan Jokowi di Gedung Merdeka Bandung pada 1 Juni 2016 ini tak hanya memantapkan Pancasila sebagai warisan luhur masa lalu (gabe) tetapi sekaligus menjadi tugas (aufgabe) menata bangsa menuju masa depan. Dalam dua dinamika itulah tulisan kecil ini mencoba merefleksikan Pancasila.
Sekilas tentang Phronesis
Apa itu phronesis? Istilah ini tak lepas dari konsep etika, terutama etika dalam kerangka filsafat Aristoteles. Etika sendiri merupakan sebuah refleksi filsafat panjang sejak zaman Yunani abad ke-6 atau ke-5 Sebelum Masehi (SM) sampai abad ke-21 Masehi ini. Sejak Pythagoras (570-495 SM), Sokrates (469-399 SM), Plato (428-347 SM), hingga Aristoteles (384-322 SM) pertanyaan mendasar utama adalah perihal hidup yang baik (euzen).
Hidup yang baik tidak semata dipahami secara moral sempit tetapi perlu dimaknai sebagai hidup yang bermutu, bermakna yang berarti “terberkati” dalam pengertian Indonesia. Suatu hidup yang terasa penuh dan menenteramkan (Magnis, 13 Tokoh Etika, 2001: 29). Keutamaan (arête) merupakan kata kunci seseorang bertindak etis. Dan tindakan etis itu tak bisa dilepaskan dari manusia sebagai zoon politicon. Sebuah pemahaman yang tak sekadar menggambarkan manusia sebagai makhluk sosial semata, tetapi kesosialannya itu sangat spesifik berkaitan dengan partisipasi dalam polis (negara-kota).
Dimensi etis tak sekadar dipelajari sebagaimana pengetahuan (episteme) dan keterampilan (techne). Keutamaan dalam kerangka refleksi filsafat Aristoteles akhirnya adalah sebuah phronesis (kebijaksanaan 2) yang berbeda dengan sophia (kebijaksanaan 1). Tindakan etis dalam phronesis ini lahir dari praktik dan latihan yang berkaitan dengan keberanian, penguasaan diri, kemurahan hati, kebesaran hati, budi luhur, harga diri, sikap lemah lembut, kejujuran, dan persahabatan.
Bila kita melihat warisan perjuangan bangsa ini, betapa nilai-nilai tersebut menjadi dasar dan visi para pejuang pemerdekaan.
Baca Juga: Pancasila dari Rakyat (1): Menggali Nilai Ketuhanan dan Gotong Royong dalam Seni Reak
Pers dan Pancasila: Menggali (Lagi) Pancasila di tengah Krisis
Phronesis dalam Sejarah Kemerdekaan
Bila kita melihat sejarah bangsa Indonesia, termasuk juga sejarah lahirnya Pancasila di awal kemerdekaan, kita menemukan aspek phronesis itu. Hal ini karena Pancasila lahir dari pergumulan para pemimpin negeri ini. Di dalamnya ada keberanian, penguasaan diri, dan kebesaran hati.
Ambilah contoh perihal keberanian. Ketika sidang BPUPKI (Dokuritu Zyunbi Tyoosakai) berlangsung, kekuatan bersenjata Jepang masih menguasai negeri ini. Namun, lihatlah bagaimana para pendiri bangsa kita dengan berani menghadapi bala tentara Jepang itu. Keberanian bukan karena mereka mempunyai senjata tetapi karena mereka memiliki phronesis.
Di hari lahirnya Pancasila, kita juga menemukan kebesaran hati para pendiri untuk mencari titik temu yang mempersatukan berbagai golongan. Salah satu yang hakiki yaitu perubahan rumusan sila pertama hasil Piagam Jakarta “Ketuhanan dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam sejarah Pancasila itu kita menemukan bahwa nilai-nilai luhur tersebut lebih dekat dilihat sebagai phronesis. Para pemimpin negeri ini mengakui bahwa nilai-nilai ini lahir dari pengalaman kolonialisasi yang menimpa bangsa ini, tetapi sekaligus menjadi falsafah yang membawa Indonesia ke masa depan.
Pancasila lahir menjelang kemerdekaan, tetapi ia telah tumbuh dalam sanubari rakyat Indonesia. Hal ini juga dikatakan Sukarno ketika dikukuhkan sebagai guru besar honoris causa pada 19 September 1951 di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
“Pancasila yang Tuanku Promotor sebutkan sebagai jasa saya itu sebagai ciptaan saya itu, bukanlah jasa saya. Oleh karena saya dalam hal Pancasila itu, sekadar menjadi “perumus” daripada perasaan-perasaan yang telah lama terkandung bisu dalam kalbu rakyat Indonesia,-sekadar menjadi “pengutara” daripada keinginan-keinginan dan isi-jiwa bangsa Indonesia turun temurun”.
Sukarno dalam pidato monumental 1 Juni 1945 juga mengatakan bahwa pemikiran ini sudah bergema di sanubarinya jauh sebelum itu.
“Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun ’33 saya telah menulis satu risalah, Risalah yang bernama “mencapai Indonesia Merdeka”. Maka di dalam risalah tahun ’33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan emas.”
Bahkan bila lebih jauh lagi kita berkaca pada tulisan Bung Karno dalam Suluh Indonesia Muda yang terbit pada tahun 1926 “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, seruan persatuan berbagai golongan di Indonesia telah digemakan.
Keberanian semacam itu tak hanya bergema di tanah air. Nun jauh di negeri Belanda (1920-1930-an) para pemuda pelajar juga menunjukkannya. Dengan lantang mereka menyerukan persatuan menuju kemerdekaan. Pada tanggal 8 Februari 1925 di Rotterdam dalam rapat Indonesische Vereeniging, Bung Hatta dan para pemuda pelajar yang menempuh pendidikan di Belanda memberi nama “Indonesia” dan tak lagi memakai “Hindia Belanda”. Semangat yang sama juga kemudian bergema di Tanah Air dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Di hadapan Mahkamah Belanda pada 1928, Bung Hatta menyampaikan pembelaan (pleidoi) “Indonesia Merdeka” (Indonesie Vrij). Di pengadilan kolonial (Landraad) di Bandung, Bung Karno menyampaikan pleidoi “Indonesia Menggugat”. Tentu masih banyak kegigihan perjuangan pemerdekaan yang lain.
Dalam narasi ini, Pancasila sebagai perjuangan kebijaksanaan etis tidak lahir dari menara gading pemikiran. Ia lahir dari keinginan, keberanian, serta keterbukaan para pendiri bangsa ini. Kebijaksanaanya lebih mendekati aspek phronesis dan tak sekadar sophia yang lahir dari refleksi filosofis semata. Dalam kata-kata Sukarno dalam pidato pengukuhannya sebagai doctor honoris causa di UGM itu: “kewajibanku, bahkan kewajibannya tiap-tiap pemimpin politik, bukanlah menghayutkan diri dalamperenungan-perenungan teoritis tetapi ialah mengaktivir kepada perbuatan”.
Karena Pancasila lahir dari sanubari rakyat Indonesia, peringatan yang ditulis Hatta di koran Daulat Ra’jat perihal penguasaan diri yang hakiki bagi semua warga termasuk para pemimpin, menjadi sangat penting. Pemimpin jangan didewa-dewakan karena bagi Hatta yang perlu adalah pahlawan yang tak punya nama. Dan itulah rakyat.
Rakyat perlu terlibat dalam memaknai dan menghidupi Pancasila yang adalah falsafah, ideologi, dan dasar negara Indonesia. Hanya dengan itulah, masa depan kita semakin cerah menuju Indonesia yang sejahtera lahir dan batin.