Pancasila dari Rakyat (4): Ketika Petani Masih Dipandang Sebelah Mata
Jika mengacu pada Pancasila, negara seharusnya mengayomi dan melindungi semua rakyat, tak terkecuali petani.
Penulis Iman Herdiana22 Juni 2021
BandungBergerak.id - Suatu hari di tahun 1920-an, Sukarno menghentikan sepedanya di Cibintinu, sebuah dusun pertanian di pinggiran Bandung selatan yang kini masuk wilayah Desa Arjasari, Kabupaten Bandung. Di sana, Sukarno terlibat dialog dengan pemuda petani bernama Marhaen.
Dialog Sukarno dengan Marhaen dimuat dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat yang isinya banyak dikutip media massa. Sejak dialog tersebut, Sukarno merumuskan ideologi marhaenisme yang merupakan sosialisme versi Indonesia.
Dari ajaran marhaenisme, Sukarno merumuskan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara. Kisah dialog Sukarno dan Marhaen itu menunjukkan bahwa Pancasila lahir dari rakyat, sebagaimana diungkapkan Sukarno dalam beberapa kesempatan.
Misalnya, saat pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada (UGM) 10 September 1951, ia menyatakan bukanlah seorang pencipta Pancasila. “Oleh karena saya dalam hal Pancasila itu, sekadar menjadi “perumus” daripada perasaan-perasaan yang telah lama terkandung-bisu dalam kalbu rakyat Indonesia, sekadar menjadi “pengutara” daripada keinginan-keinginan dan isi jiwa bangsa Indonesia turun termurun,” katanya.
Pidato Sukarno tersebut dikutip dari materi Kolokium Dokumen Pancasila dari Rakyat dengan narasumber Andreas Doweng Bolo, ketua Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Selasa (22/6/2021).
Andreas menyatakan, banyak domuken sejarah yang menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila sudah tumbuh di masyarakat Indonesia. Penilaian ini tidak hanya muncul dari pengakuan Sukarno sendiri.
Bung Hatta pada pidatonya di Bukittinggi, November 1932, mengatakan, “Marx menunjukkan dengan jalan ilmu, bahwa sosialisme akan datang dengan sendirinya karena perubahan masyarakat yang dipengaruhi oleh pertentangan kelas... Bagi kita orang Islam yang taat kepada perintah Allah, sosialisme itu harus timbul atas keamuan kita sebagai suruhan agama.”
Dari pidato Bung Hatta tersebut, Andreas menilai bahwa spirit sosialisme atau kerakyatan sudah ada di masyarakat nusantara dalam bentuk praktik, yaitu gotong royong dan kekeluargaan. Makanya Bung Hatta merumuskan sistem ekonomi yang tepat dijalankan Indonesia ialah koperasi.
Bahkan orang luar Indonesia pun menilai bangsa ini sudah memiliki kebijaksanaan alami. Penilaian ini, kata Andreas, datang dari Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jenderal 1811-1816) dalam buku History of Java yang menyebut penduduk jawa, “Bukan tidak memiliki kecerdasan kebijaksanaan alamiah. Pemikiran dan perasaan mereka tajam dan peka, penilaian mereka tentang karakter biasanya tepat.”
“Jadi nilai-nilai Pancasila ini memang sungguh hidup (di masyarakat Indonesia sejak masa lalu),” kata Andreas.
Andreas menjelaskan, Pancasila dirumuskan untuk menghadapi kapitalisme yang datang ke nusantara seiring terjadinya Revolusi Industri di Eropa dan diikuti gelombang kolonialisme. Sudah diketahui umum bahwa penjajahan kapitalisme bertujuan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Baik Sukarno maupun Bung Hatta sudah melihat ancaman kapitalisme ke negeri ini. Bung Hatta kemudian merumuskan konsep ekonomi berasaskan gotong royong dan kekeluargaan.
Bentuk-bentuk kapitalisme di nusantara berupa hadirnya perkebunan-perkebunan. Di Arjasari, Bandung selatan, tempat lahirnya marhaenisme, berdiri perkebunan kina sejak abad ke-19. Pascakemerdekaan, kapitalisme ditandai dengan semakin masifnya urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota. Maka Sukarno menelurkan program transmigrasi.
Pasca-pemerintahaan Sukarno, keran kapitalisme dibuka lebar. Suharto sebagai pemimpin Orde Baru memulai kerja sama dengan IMF dan pemodal-pemodal asing. Pada tahun 1979, Andreas mencatat banyak pabrik berdiri, termasuk di wilayah Bandung selatan. Pabrik-pabrik tersebut menyingkirkan pertanian yang merupakan sistem kehidupan masyarkat agraris.
Kapitalisme terus mendesak pertanian yang sebenarnya pencaharian utama masyarakat Indonesia. Hingga kini, para petani terus berada di pinggiran. Padahal jika merunut sejarah, Pancasila lahir dari rakyat, termasuk dari petani Marhaen.
Baca Juga: Pers dan Pancasila: Menggali (Lagi) Pancasila di tengah Krisis
Pancasila dari Rakyat (3): Dialog dengan Sukarno dalam Lirik Lagu Koil
Para Petani Marhaen Memprihatinkan
Tokoh masyarakat Desa Arjasari, Dadang Usyana, yang juga menjadi narasumber kolokium, mengatakan pemerintah mestinya bisa mencegah urbanisasi sekalgus memakmurkan desa-desa dan pertaniannya. Jika mengacu pada Pancasila, negara seharusnya mengayomi dan melindungi semua rakyat, tak terkecuali petani.
“Kenyataannya lain. Pemerintah sampai saat ini masih memandang sebelah mata terhadap kaum petani,” kata Dadang. Saat ini, para petani generasi penerus Marhaen hidup dalam kondisi memprihatinkan. Mereka sering kesusahan mencari bibit, kalau pun ada, jumlah bibitnya terbatas dan harganya mahal. Mereka juga menghadapi harga pupuk dan obat-obatan yang mahal.
Dadang yang berasal dari Cibintinu, tempat Sukarno bertemu dengan Marhaen, mengatakan hasil yang didapat petani dari pertanian selalu tak sesuai dengan yang diharapkan. “Petani sering terjerumus kerugian dari waktu ke waktu. Semua bahan mahal, ketika produk mereka launcing, dibeli dengan harga murah,” katanya.
Tahun ini petani jagung Arjasari rugi besar karena harga jagung di saat musim panen mencapai harga terendah, yakni Rp 500 per kilogram. Begitu juga dengan petani tomat yang harga tomatnya anjlok menjadi Rp 750 per kilogram, cabai TW hanya diharga Rp 5.000 per kilogram.
Dadang berharap pemerintah pusat maupun daerah melakukan pemetaan. Dari pemetaan tersebut, harus dibuat jadwal tanam sehingga masing-masing petani tidak menanam satu komoditas yang sama.
“Tanpa pemetaan, kerugian petani dari waktu ke waktu akan terus berlanjut. Dengan pemetaan, pendayagunaan kepala dinas daerah, satu wilayah dapat dipetakan berapa lahan peranian, komoditi apa yang ditanam, dan pemetaan itu harus beda antar kabupaten/provinsi supaya ketersediaan pangan bisa terjaga. Jadi petani tidak menanam satu varietas yang sama yang akan melahirkan harga murah saat panen,” ungkap Dadang.