• Budaya
  • Pancasila dari Rakyat (3): Dialog dengan Sukarno dalam Lirik Lagu Koil

Pancasila dari Rakyat (3): Dialog dengan Sukarno dalam Lirik Lagu Koil

Dalam perjalanannya, nasionalisme banyak diselewengkan. Bahkan menjadi barang dagangan semacam komoditas di pasar.

Otong Koil dalam Kolokium Nasional Pancasila dari Rakyat, Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Selasa (15/6/2021). (Zoom PSP Unpar)

Penulis Iman Herdiana15 Juni 2021


BandungBergerak .id Otong Koil membedah lirik lagu Kenyataan dalam Fantasi yang ternyata berisi “dialog imajiner” antara sang vokalis dengan Sukarno, proklamator kemerdekaan RI sekaligus perumus Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia.

Menurut Otong, lagu Kenyataan dalam Fantasi dilatarbelakangi pengandaian dirinya jika bertemu Sukarno yang juga dikenal tokoh nasionalis. Namun dalam perjalanannya, nasionalisme yang diajarkan Bung Karno malah banyak diselewengkan, bahkan menjadi barang dagangan semacam komoditas di pasar.

"Menurut saya di Indonesia tiap hari adalah pemilu, setiap orang selalu mencari lahan, mencari jalan, untuk mendapatkan pengikut," kata Otong, dalam Kolokium Nasional Dokumentasi Pancasila dari Rakyat, yang digelar Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Selasa (15/6/2021).

Nasionalisme pun akhirnya menjadi dagangan, sama halnya dengan jualan agama dan ideologi. Tujuan jualan tersebut tak lain untuk menarik pengikut sebanyak-banyaknya demi kepentingan politik, bukan untuk mewujudkan yang dicita-citakan Sukarno dan para pendiri bangsa lainnya.

Menurut Otong, mereka yang mendagangankan belum tentu melaksanakan nilai-nilai yang ada di barang dagangannya itu. Orang yang rajin mengkampanyekan Pancasila belum tentu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Hal-hal seperti itu menjadi bahan lirik lagu para musikus underground seperti Otong lewat band Koil-nya, maupun band-band metal lainnya, terutama sejak zaman Orde Baru yang dipimpin Suharto—mengingat kelahiran band-band cadas dimulai pada era Orde Batu tahun 90-an—hingga kini.

Kolokium Nasional Dokumentasi Pancasila dari Rakyat tersebut mengulas pandangan Otong Koil terhadap Pancasila itu sendiri. Sebagai angkatan Orde Baru, Otong mengaku Pancasila yang dikenalnya sebagai doktrin yang diterapkan pemerintah otoriter tersebut.

Di zaman Orde Baru, Pancasila dimanfaatkan untuk kepentingan rezim. Dalam praktiknya, Pancasila di masa itu jauh panggang dari api. Otong ingat, kebebasan di masa Orde Baru menjadi barang mahal.

“Zaman Orde Baru bisa dibilang tidak bebas. Banyak sekali yang istilahnya kena ciduk, mahasiswa kena ciduk banyak atas apa yang mereka suarakan,” katanya.

Tetapi meski rezim Orde Baru dikenal militeristik, para seniman masih bisa menyiasatinya dengan membuat karya-karya kritis tanpa kena ciduk. Contohnya, Iwan Fals tetap kritis lewat karyanya, salah satunya lagu kritisnya yang terkenal berjudul Bento.

Di sisi lain, Iwan Fals juga mengalami ketidakbebasan dalam melaksanakan konser. Konser di masa Orde Baru tak semudah zaman sekarang. “Saya sendiri zaman itu masih band kecil-kecilan, karena baru mulai ngeband,” kenang Otong.

Baca Juga: Pancasila dari Rakyat (1): Menggali Nilai Ketuhanan dan Gotong Royong dalam Seni Reak
Pancasila dari Rakyat (2): Ajaran Sukarno di Permakaman Belanda

Kritik Sosial

Koil berdiri tahun 1993, bersamaan dengan menjamurnya musik underground di Bandung. Para pelaku band ini rata-rata berusia 18 sampai 25 tahun. Otong menuturkan, tema-tema lagu yang digarap band-band metal tersebut terbilang ekstrem. Penampilan mereka di atas panggung tak kalah ekstremnya.

Masa itu, panggung-panggung musik metal di Bandung tak terawasi aparat. Sehingga para musikus bisa menyalurkan ekspresinya secara bebas. Longgarnya pengawasan ini karena skala massa dan panggung terbilang sporadis dan terpecah-pecah dalam komunitas-komunitas kecil. Berbeda dengan panggung Iwan Fals yang membutuhkan area luas karena melibatkan massa besar.

Otong membayangkan, kalau konser musik cadas di masa itu dilakukan hari ini, kemugkinan bakal kena ciduk juga dengan adanya Undang-undang ITE. Artinya, kebebasan berekspresi di masa ketika Orde Baru sudah jauh tertinggal pun masih menjadi isu relevan di masa kini.

Larangan tampil di atas panggung di masa kini pun bukan berarti tidak ada. Otong dan rekan-rekan band lainnya sering mengalami pemberhentian show oleh ormas tertentu. Mereka meminta pentas berhenti bukan karena tidak setuju dengan konten musik yang dibawakan, melainkan karena minta jatah.

“Mungkin penyelenggaran sudah menyiapkan (uang keamanan), tapi yang disalurkan entah bagaimana, lalu mereka (ormas) datang mempertanyakan. Itu (uang keamanan) standar show bisnis di Indonesia seperti itu. Semuanya urusan cuan,” tuturnya.

Dari sisi tema, Otong mengatakan tema dalam lirik band-band underground di masa Orde Baru sebenarnya masih banyak digarap di masa kini, seperti ketidakadilan, kemanusiaan, penindasan, korupsi, dan hal-hal yang bertentangan dengan sila-sila yang ada pada Pancasila. 

“Bukan untuk makar atau memberontak, tapi standar kritik sosial,” katanya. “Rata-rata semua menyuarakan kegelisahan golongan orang-orang tertindas.”

Bahkan di era kekinian isu-isu tersebut terjadi semakin telanjang berkat kemajuan teknologi digital. Masalah ketuhanan, kemanusiaan, ketidakadilan dan lain-lain dipertontonkan secara kasat mata. Agama dibentur-benturkan, korupsi merajalela, kemiskinan terus tumbuh, dan lain-lain.

Rakyat semakin mudah melihat kinerja pemerintah atau DPR, rakyat bisa melihat mereka tertidur pulas saat bertugas. Tema-tema tersebut akan menjadi bagian dari lirik musikus underground seperti Otong.

Dengan kata lain, kritik sosial yang mereka usung merupakan cerminan kejadian nyata di lingkungan mereka. Selama di lingkungan tersebut masih terjadi korupsi, suap-menyuap, ketidakadilan, dan lain-lain, maka para musikus underground akan terus mengolahnya melalui musik.

“Di saat pemerintah sudah mengayomi orang miskin, nanti si band-band ini akan berubah lirik lagunya. Bukan anti-pemerintah lagi. Misalnya, di luar negeri, band punk membahas tentang setan, anti-agama, dan tema-tema lain yang tidak berkaitan dengan kritik sosial lagi. Masih banyak tema yang bisa yang digarap seniman musik keras,” katanya.

Kolokium Nasional Dokumentasi Pancasila dari Rakyat merupakan rangkaian peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni yang digelar PSP Unpar secara daring. Otong hadir sebagai pembicara ketiga kolokium ini. Ketua PSP Unpar Andreas Doweng Bolo mengatakan, kolokium ini diharapkan membawa arti penting bagi peserta. Pekan depan, kolokium masih akan hadir dengan narasumber keempat.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//