Jejak Mahakarya Azyumardi Azra di Bandung
Azyumardi Azra sedikitnya melahirkan 44 buku. Terdapat 5 buku yang diterbitkan di Bandung, termasuk mahakaryanya tentang jaringan ulama Nusantara.
Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
23 September 2022
BandungBergerak.id - Beberapa karya dan pemikiran Prof. Dr. Azyumardi Azra sangat erat kaitannya dengan Kota Bandung. Bumi Parahyangan menjadi kawah candradimuka penerbit buku-buku Islam. Penerbit Al-Maarif menjadi jangkar penerbitan buku Islam di Bandung.
Ady Amar, Direktur Penerbit Risalah Gusti, Surabaya menjelaskan dengan detail bahwa kalau kita lahir di awal 60-an sampai awal 80-an, pastilah akrab mendengar Penerbit Al-Maarif yang beralamat di Jalan Tamblong Bandung [Ady Amar, dalam tulisan: Penerbit Buku Islam dari Masa ke Masa].
Penerbit Al-Maarif satu-satunya penerbit yang menerbitkan buku-buku Islam tidak saja karya klasik, tapi juga modern. Dari mulai kitab Al-Adzkar-nya Imam Nawawi; Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq yang dibuat berjilid; hingga mengenalkan setidaknya dua buku karya Leopold Weiss. Dan masih banyak terbitan-terbitan lainnya yang bermutu. Walhasil, Al-Maarif bisa dikatakan candradimukanya penerbit-penerbit Islam lainnya yang datang kemudian.
Di awal tahun 80-an mulai berjamur muncul penerbit-penerbit Islam lainnya. Dimulai dari Pustaka yang lahir dari para aktivis Masjid Salman Bandung. Penggagasnya adalah Imad Abdurrahim dan Ammar Haryono.
Penerbit lainnya yang muncul antara lain Penerbit Mizan, Iqra’, Risalah/Gema Risalah, Bandung; Pustaka Firdaus, Gema Insani Press, dan Pustaka Alkautsar (Jakarta); Shalahuddin Press, Yogyakarta; Penerbit Pustaka Mantiq, Solo; Risalah Gusti, Surabaya. Peneribit-penerbit ini tumbuh bak jamur di musim hujan.
Sebenarnya, sebelum menjamurnya penerbit di Surabaya ada penerbit modern yang sezaman dengan Al-Maarif yang menerbitkan karya-karya pemikir Islam modern, khususnya kelompok Ikhwanul Muslimin. Pustaka Progresif, namanya (www.pwmu.co Selasa 2 Juni 2020 | 13:04).
Sang Intelegensia
Khazanah pemikiran Azyumardi Azra semasa hidupnya telah mencerahkan dan mencerdaskan bangsa hingga masyarakat internasional. Pendiriannya yang independen sekaligus kepiawaiannya menjaga jarak dengan penguasa telah menempatkannya sebagai figur terhormat.
Dari sang inteligensia bangsa, generasi penerus bisa memetik pelajaran, melanggengkan pemikirannya, saat Azyumardi telah pergi. Azyumardi Azra mewariskan mozaik pemikiran yang mencerahkan. Sikapnya yang kritis, independen, dan rendah hati patut menjadi teladan [Kompas, 19 September 2022].
James J. Fox, Direktur Research School of Pacific and Asian Studies dari The Australian National University, berusaha mendefinisikan dan menemukan inteligensia muslim Indonesia. Argumennya, sangat jelas bahwa “stratum” masyarakat ini telah menyediakan wacana Islam kritis dalam ruang publik yang memberikan ruang bagi seorang muslim untuk mendefinisikan diri mereka sendiri dan memberikan arah kepada bangsa Indonesia [James J. Fox, dalam pengantar buku Inteligensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20].
Tentunya, kajian ini menawarkan sebuah persepsi sebagai sebuah kajian tentang sejarah intelektual, yang bertitik tolak dari abad ke-19, berusaha memotret konteks kolonial yang di dalamnya individu-individu intelektual Muslim mendapatkan pendidikan dan menciptakan ruang aktualisasi bagi diri mereka sendiri di tengah masyarakat kolonial.
Pembahasannya bergerak ke abad ke-20 dengan kemunculan “inteligensia” dan pelbagai pergulatannya dalam mencari pengakuan dan otoritas politik. Kehadirannya dapat memetakan peralihan antargenerasi yang identifikasi populernya, di setiap periode, memberikan pengertian tentang keterlibatan historis dari horizon intelektual mereka. Dari kaoem moeda, bangsawan pikiran, pemoeda peladjar hingga sarjana dan cendekiawan muslim Indonesia dari generasi ke generasi bergumul dengan persoalan bagaimana menentukan posisi mereka di tengah arena nasional dan merespons isu-isu penting di dunia muslim [Yudi Latif, 2012:xi-xii].
Kini sang intelegensia begawan bangsa yang tetap berjarak dengan kekuasaan telah meninggalkan kita semua, Ahad (18/09/2022) pukul 12.30 waktu Malaysia di RS Selangor. Meninggalkan jejak mahakarya yang dapat kita baca, kaji, melalui buku-buku, jurnal, makalah konferensi nasional, internasional.
Penerbitan Buku Islam
Dalam tulisan literatur keislaman di Indonesia dijelaskan sungguh menarik jika kita pehatikan hasil penelitian tentang literatur keislaman di 16 Kota di Indonesia yang dilaksanakan oleh tim Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga bekerja sama dengan PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2017.
Hasilnya menunjukkan bahwa usaha pemerintah dalam menyajikan buku ajar Pendidikan Agama Islam di sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi dengan isi mengajak pada toleransi dan keterbukaan harus pula berhadapan dengan literatur yang berisikan Islam ideologis, dari yang populer, tarbawi, tahriri, hingga jihadis. Meskipun yang terakhir berjumlah paling sedikit dan pengaruhnya tidak besar bila dibandingkan dengan yang pertama, berhasil menarik jumlah pembaca yang banyak.
Ternyata, generasi milenial ini "memiliki daya seleksi, adaptasi, dan apropriasi" dalam menyikapi aneka jenis literatur itu. Pada umumnya, mereka "mencari literatur yang dapat memahami suasana hati dan identitas budaya mereka, sambil menunjukkan jalan bagaimana menyelesaikan problem-problem keseharian yang mereka temui sekaligus membangun optimisme menghadapi tantangan kekinian dan harapan masa depan."
Dalam catatan C. W. Watson, melaporkan pada paruh kedua 1960-an, menjelang jatuhnya Sukarno hingga tahun pertama Suharto berkuasa, industri penerbitan mengalami krisis yang luar biasa, berbanding lurus dengan krisis ekonomi dan politik yang terjadi saat itu. Pada masa itu, hanya ada tiga penerbit buku-buku Islam yang menonjol; dua di Jakarta: Bulan Bintang dan Panjimas, dan satu di Bandung: Al-Maarif.
Terbitan mereka umumnya menggunakan kertas murah dan desain sampul sederhana. Mereka menerbitkan tulisan para cendekiawan Muslim Indonesia dan terjemahan dari penulis luar. "Saya kira, kalau dicermati lebih jauh, buku-buku yang diterbitkan mereka berkisar antara pemikiran Islam modernis dan tradisionalis, yang di Indonesia diwakili terutama oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama” [catatan C. W. Watson].
Pada 1970-an dan 1980-an, muncul kegairahan baru penerbitan buku di Indonesia. Hal ini antara lain ditandai oleh membaiknya ekonomi nasional dan munculnya penerbit-penerbit baru. Penerbit yang kelak menjadi besar adalah Penerbit Mizan, Bandung, yang didirikan pada 1983. Mungkin sedikit lebih awal lagi adalah penerbit Pustaka di Bandung.
Rupanya, para pengelola penerbitan di Bandung, umumnya anak-anak muda yang kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Mereka adalah aktivis mahasiswa yang tertarik mempelajari agama, dan berkumpul di masjid kampus. Mizan menerbitkan buku-buku terjemahan, terutama dari pemikir-pemikir Iran, Syiah seperti Murtada Mutahhari dan Ali Syariati, antara lain karena terinspirasi revolusi Islam Iran pada 1978. Mizan menerbitkan seri cendekiawan Muslim Indonesia dalam bentuk bunga rampai seperti karya Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Kuntowijoyo, Amien Rais, dan yang masih aktif menerbitkan di Mizan hingga dasawarsa kedua abad ke-21, Jalaluddin Rakhmat.
Mizan juga menerbitkan sedikit dari karya-karya Muslim neo-revivalis seperti Abul A'la al-Maududi dan Hasan al-Banna. Pustaka, ikut menerbitkan karya-karya terjemahan, terutama karya pemikir neomodernis, Fazlur Rahman, dan tokoh perenialis, Fritjhof Schoun dan Seyyed Hossein Nasr.
Berbeda dengan Gema Insani Press, didirikan pada 1986 yang lebih berorientasi pada Islam ideologis. Mereka terbitkan umumnya dari tokoh-tokoh al-Ikhwan al-Muslimun seperti Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, dan Muhammad al-Ghazali [Mujiburrahman, 2022:199-202].
5 Buku Azyumardi Azra
Dalam konteks membaca jejak pemikiran Azyumardi Azra, dari 44 bukunya terdapat 5 buku yang diterbitkan di Bandung.
- Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Mizan, terbit tahun 1994, dengan tebal 339 halaman.
Hasil bacaan Nazaruddin, lulusan UIN Yogyakarta menyampaikan karya ini merupakan suatu kontribusi besar pada literatur, tidak hanya bagi Asia Tenggara, tetapi lebih umum lagi untuk pemahaman tentang dunia muslim pada abad ke-17 dan ke-18, seperti yang dikemukakan oleh William R. Roff, profesor sejarah di Columbia University. Riset disertasi ini pada gilirannya menemukan momentum yang sangat tepat untuk melihat dinamika perkembangan Islam di Nusantara dari masa ke masa.
Prof Azra menawarkan suatu pendekatan historis-filosofis dalam memotret Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Transmisi keilmuan terjadi secara masif bermula dari individu-individu militan dalam pengembaraan ilmu pengetahuan. Tak hanya itu, tujuan naik haji juga memainkan peran menentukan dalam perjalanannya. Walhasil, dari hubungan itu pada akhirnya membentuk suatu jaringan yang mengakar erat dalam pembaruan Islam Indonesia [Balé Institute, XVIII – Mei 2020:1-5]
Ini menjadi karya monumental Azyumardi Azra yang banyak dirujuk para peneliti, penulis, dan peminat studi dalam menelusuri akar pembaruan Islam Indonesia. Umat Islam dan bangsa Indonesia kehilangan seorang cendekiawan yang berbobot dan berkontribusi mendorong interdialog antar-peradaban dan antariman dalam dunia yang multikultural [Republika, Ahad , 18 Sep 2022, 22:36 WIB].
- Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tantangan, terbit tahun 1999, Remaja Rosdakarya, dengan tebal xii, 208 halaman.
Menurut Azyumardi Azra, demokrasi bukan musuh atau teman kental kekuasaan negara. Pasalnya, dengan demokrasi justru menghendaki pemerintah untuk memerintah masyarakat sipil secara tidak berlebihan. Kendati, tatanan yang lebih demokratis tidak bisa dibangun melalui kekuasaan negara.
Maraknya aksi, kerusuhan-kerusuhan sosial pada hakikatnya mencerminkan perilaku aktor-aktornya yang tidak demokratis, tidak peduli hukum (lawlessness), tidak beradab (uncivilized), hingga disebut kaum barbar.
Paling tidak untuk mewujudkan masyarakat madani terdapat kriteria; adanya wilayah publik yang luas (free public sphere) dan bebas sebagai sarana bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat, demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pluralisme (pluralism) dan keadilan sosial (social justice) [halaman 9-11].
- Renaisans Islam di Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, terbit tahun 1999, Remaja Rosdakarya, dengan tebal xxii, 180 halaman:
Selama ini kita mengenal penyebaran dan perkembangan historis Islam di Asia Tenggara berlangsung secara damai. Prof Azra menegaskan justru penyebaran Islam di Asia Tenggara berbeda dengan ekspansi Islam di banyak wilayah Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika yang oleh sumber-sumber Islam di Timur Tengah disebut Fath (Futuh), yakni pembebasan yang dalam praktiknya sering melibatkan kekuatan militer.
Meskipun futuh di kawasan-kawasan disebutkan terakhir ini tidak selamanya berupa pemaksaan penduduk setempat untuk memeluk Islam. Sebaliknya, penyebaran Islam di Asia Tenggara tidak pernah disebut sebagai futuh yang disertai kekuatan militer [halaman xvi].
Uniknya, buku ini berhasil memenangkan penghargaan nasional sebagai buku terbaik untuk kategori ilmu-ilmu sosial dan humaniora pada tahun 1999.
- Islam Substantif: Agar Umat tidak Jadi Buih, terbit tahun 2000, Mizan, dengan tebal 464 halaman:
Baginya, pengalaman keislaman yang lebih intens justru didapatkan setelah mempelajari tradisi ulama dan kecenderungan intelektual mereka. "Apabila Islam ingin berperan lebih luas, maka harus mengedepankan pesan-pesan moral, bukan menonjolkan simbol" [halaman 138].
- Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, terbit tahun 2002, Mizan, dengan tebal 300 halaman;
Dalam catatan Iding Rosyidin di media sosial (akun instagramnya 841 posts, 1,431 followers, 1,174 following) "Kenangan Bersama Almarhum Prof Azra."
Jika dibanding teman-teman lain, Iding Rosyidin mengaku tidak terlalu banyak memiliki pengalaman personal secara langsung dengan almarhum Prof Azyumardi Azra.
Dari pengalaman yang sedikit itu, Iding Rosyidin mendapatkan pembelajaran yang sangat berharga. Ketika ia diminta menerjemahkan makalah-makalah Prof Azra yang dipresentasikan di berbagai konferensi internasional di banyak negara, terutama Amerika Serikat dan Inggris, dari bahasa Inggris ke Indonesia. Saat itu ia masih dosen honorer dan sedang studi Magister Ilmu Politik di UI.
Hasil terjemahan itu dijadikan buku dengan judul, Islam Nusantara Jaringan Global dan Lokal. Diterbitkan oleh Mizan pada 2002. Judul "Islam Nusantara" di situ sebelum ada wacana yang cukup ramai di negeri ini tentang Islam Nusantara.
Iding Rosyidin mengaku ada banyak pelajaran yang didapatkan dari almarhum saat menerjemahkan makalahnya; Pertama, penguasaan ilmu beliau, terutama sejarah Islam yang memang menjadi bidangnya, dan sumber-sumber rujukannya sangat hebat. Ini diketahui ketika Prof Azra mengoreksi terjemahan Iding. Beliau bukan hanya mengedit teks saja, melainkan menambahkan beberapa informasi baru lengkap dengan sumber tulisannya. Padahal saat mengoreksi biasanya beliau sedang berada di luar negeri untuk sebuah acara yang notabene tidak sedang menghadapi tumpukan buku.
Kedua, menurut catatan Iding Rosyidin, Prof Azra bisa menggunakan waktu di sela-sela kesibukannya sebagai Rektor UIN yang luar biasa padat. Hampir setiap hari ada saja tamu yang datang, dan banyak sekali yang berasal dari luar negeri. Bukan hanya kalangan akademik, tetapi juga kalangan politikus seperti perdana menteri, bahkan Presiden Ahmadinejad dari Iran. Hal ini saya tahu karena ketika itu saya diperbantukan di rektorat.
Setiap kali mengoreksi terjemahan Iding Rosyidin, Prof Azra melakukannya di saat bepergian ke luar negeri. Maka, kalau beliau mau ke AS, misalnya, sebelumnya akan telpon Iding, "Ding, tolong cetak satu dua bab yang sudah kamu terjemahkan dan bawa ke sini (rektorat)". Dan, ketika pulang, makalah tersebut sudah banyak catatannya. Ternyata ia melakukannya di sela-sela pekerjaannya, misalnya saat pagi sebelum sarapan di hotel atau bahkan di pesawat. Luar biasa!
Ketiga, ketelitian beliau yang patut dipuji. Ini terlihat di catatan koreksian atas terjemahan saya itu. Kurang satu huruf saja, misalnya, "kepunyanya" langsung diketahuinya. Huruf “n” kurang satu, maka beliau akan mengoreksinya dengan menambahkan satu huruf “n” lagi. Lebih-lebih kalau terjadi kesalahan redaksional penulisan, maka pastilah dengan segera beliau koreksi.
Inilah sedikit catatan kenangan Iding Rosyidin bersama beliau. Meski tidak banyak, tapi baginya sangat bermakna. Semoga amal almarhum diterima Allah Swt dan semua dosanya diampuni, dan ditempatkan di surga-Nya, serta seluruh keluarganya diberikan kesabaran dan keikhlasan, amin ya rabbal alamin.
Baca Juga: Pesan Azyumardi Azra: Demokrasi Mengalami Kemunduran
Ahmad Syafii Maarif dan Bandung
Srihadi, Pelukis Pembaharu Seni Rupa Indonesia telah Berpulang
Merawat Tradisi
Ingat, aktivitas menulis buku, makalah, artikel selalu dibarengi dengan kegiatan membaca agar bergizi, berkualitas. Prinsip inilah yang kerap dilakukan oleh Prof Azra.
Dalam buku Cerita Azra: Biografi Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra dilaporkan Andina Dwifatma saat menempuh kuliah di Amerika, Prof Azra “menumpahkan banyak waktunya untuk belajar sungguh-sungguh. Bahkan, kerap menghabiskan waktu di berbagai perpustakaan Columbia” [halaman 43].
Pasalnya, keberadaan perpustakaan Columbia itu memiliki sekitar enam juta judul buku. Sebagai kutu buku, tentunya Prof Azra kenyang melahap berbagai bahan bacaan di perpus kampusnya. Kesrakahannya dalam membaca buku tidak terhenti di situ saja.
Di luar kampus, Prof Azra gemar sekali mencari-cari buku penting dan klasik. Bahkan, setelah pulang dari Amerika Serikat berhasil mengirim dua truk yang penuh dengan berisi buku-buku [Okezone, Kamis 15 Maret 2012 10:23 WIB].
Saking cintanya pada dunia penerbitan buku saat perayaan ulang tahunnya yang ke-65, Rabu 04 Maret 2020, dilakukan Tasyakuran dan Peluncuran 8 Buku: Membebaskan Pendidikan Islam; Menjaga Indonesia dari Kebangsaan hingga Masa Depan Politik Islam; Fenomena Beragama dari Dunia Arab hingga Asia Pasifik; Moderasi Islam di Indonesia dari Ajaran, Ibadah, hingga Perilaku; Gerakan Pembebasan Islam; Politik Global Tanpa Islam dari Timur Tengah hingga Eropa; Relevansi Islam Wasathiyah dari Melindungi Kampus hingga Mengaktualisasi Kesalehan; Indonesia Bertahan dari Mendirikan Negara hingga Merayakan Demokrasi.
Atas aktivitas keilmuan dan produktivitasnya, Prof Azra dianugerahi penghargaan: Penulis Paling Produktif dari Penerbit Mizan (2002), Commander of the Most Excellent Order of the British Empire (CBE) dari Kerajaan Britania Raya (2010), Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture (SML) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2017), dan Order of Rising Sun: Gold and Silver Star dari Kaisar Jepang (2017).
Rektor UIN Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Lubis menyampaikan selamat dan apresiasi atas penerbitan kedelapan buku yang ditulis cendekiawan kelahiran Lubuk Alung, Sumatera Barat, 04 Maret 1955. “Profesor Azyumardi Azra adalah cendekiawan yang luar biasa. Kita tentu sangat bangga dengan kehadiran dan kiprah beliau di lingkungan kampus maupun bangsa ini. Semoga sivitas UIN Jakarta lainnya bisa meneladani atas kerja keras pengabdiannya dalam wilayah keilmuan, keislaman, dan keummatan,” katanya [www.uinjkt.ac.id].
Memang menulis tidak muncul dalam kesendirian, melainkan selalu terkait dengan budaya membaca, diskusi, merenung, berbagi, dan melakukan aktivitas penelitian.
Sejatinya kebiasaan menulis tak perlu diembel-embeli dengan perasaan takut tak dibaca atau diterbitkan. Karena aktivitas menulis merupakan pertanda orang-orang beradab. Sudah saatnya generasi muda sebagai pewaris bangsa mengikuti jejak Prof Azra dalam melakukan tradisi menulis, membaca, diskusi, dan meneliti. Semoga.