Ahmad Syafii Maarif dan Bandung

Semasa hidupnya, Ahmad Syafii Maarif banyak menyandang sebutan kehormatan. Tetapi ia lebih suka dipanggil nama saja. Bukunya banyak diterbitkan di Bandung.

Ahmad Syafii Maarif tutup usia pada Jumat (27/5/2022) pukul 10.15 di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta. Sejumlah buku Ahmad Syafii Maarif diterbitkan di Bandung. (Sumber: Muhammadiyah.or.id)

Penulis Iman Herdiana29 Mei 2022


BandungBergerak.idTokoh nasional Ahmad Syafii Maarif – orang-orang memanggilnya Buya Syafii Maarif – tutup usia pada Jumat (27/5/2022) pukul 10.15 di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta. Wafatnya tokoh Muhammadiyah ini kehilangan besar bagi Indonesia.

Semasa hidupnya, tokoh yang dikenal kritis ini banyak menghasilkan pemikiran dalam bentuk teks atau buku. Beberapa buku yang ditulisnya maupun yang mengulas pemikirannya tidak sedikit yang diterbitkan di Bandung, khususnya oleh penerbit Mizan.

Mengutip laman muhammadiyah.or.id, Minggu (29/5/2022), Buya Syafii wafat pada usia 86 tahun. Syafii Maarif lahir pada 31 Mei 1935 di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau. Ayahnya adalah kepala suku dan saudagar bernama Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu. Sementara ibunya, Fathiyah wafat ketika Syafii baru berusia 18 bulan.

Saat masih kecil, Syafii Maarif bersekolah di Sekolah Rakyat (SR). Sedangkan untuk belajar agama, dia mengambil dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah sepulang sekolah di SR. Syafii tamat dari SR pada 1947 tanpa ijazah karena saat itu masih terjadi perang revolusi kemerdekaan.

Setelah menamatkan pelajaran di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Balai Tangah, Lintau, Syafii yang saat itu berusia 19 tahun pada 1953 merantau ke Yogyakarta. Dia melanjutkan pendidikan ke Madrasah Muallimin Yogyakarta sampai tahun 1956. Di Muallimin, dia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar.

Menginjak usia 21 tahun, Syafii berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru di sebuah kampung bernama Pohgading sampai tahun 1957.

Syafii lalu melanjutkan pendidikan di Universitas Cokroaminoto, Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP UNY, Universitas Ohio Amerika Serikat hingga Universitas Chicago, Amerika Serikat.

Syafii Maarif menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama tujuh tahun dari 1998-2005. Syafii Maarif juga pernah menjabat sebagai Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP).

Selepas menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, dia aktif dalam komunitas Maarif Institute dan menjadi tokoh bangsa yang sering menyampaikan kritik secara objektif dan lugas baik melalui tulisan-tulisannya di berbagai media.

Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii Maarif mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina. Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi’i Maarif, yang berjudul ‘Si Anak Kampung’ yang telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film Festival (AIFF).

Sebelum wafat, Buya Syafii masuk ke rumah sakit itu sejak Sabtu (14/5/2022) karena mengeluh sesak napas akibat jantung. Bahkan, pada awal Maret lalu, Buya Syafii juga sempat menjalani perawatan medis di RS PKU Gamping. Saat itu, Buya hampir dua pekan menjalani perawatan sampai kondisinya membaik dan diperkenankan untuk pulang.

Baca Juga: WTP BPK Bukan Berarti Seluruh Pengelolaan Keuangan Pemkot Bandung Baik
Laga Para Penghayat Muda
Film Horor Indonesia Dilihat dari Budaya dan Ekonomi Kreatif

Ahmad Syafii Maarif dan Bandung

Ahmad Syafii Maarif banyak menyandang sebutan atau gelar, mulai dari buya, cendikiawan muslim, intelektual muslim, ulama, tokoh nasional, tokoh pluralis. Namun ada satu tulisan bahwa ia lebih suka dipanggil dengan nama saja.

Keterangan tersebut disampaikan Ahma Rafika Noviani dalam tesisnya berjudul “Pluralisme Agama Dalam Perspektif Ahmad Syafii Maarif (Periode Rerformasi)” di Universitas Islam Negeri Raden Fatah.

Noviani menjelaskan bahwa Ahmad Syafii Maarif sering di panggil dengan istilah “buya” oleh orang yang dekat dengannya. Istilah buya diucapkan kepada Syafii Maarif karena ia pantas menyandang panggilan buya yang memang sudah menjadi ulama yang benar-benar alim, dan juga dikenal sebagai pendidik, sekaligus ilmuwan atau cendikiawan yang mempunyai reputasi intelektual yang sangat tinggi.

“Namun Ahmad Syafii Maarif sendiri mengatakan ‘tidak usahlah disebut dengan Buya, cukup dengan nama saja, sebutan Buya masih dipermasalahkan’,” demikian dikutip dari tesis Ahma Rafika Noviani.

Dari Noviani juga diketahui bahwa pemikiran Ahmad Syafii Maarif tidak sedikit yang diterbitkan di Bandung. Beberapa buku Ahmad Syafii Maarif maupun pemikirannya, termasuk autobiografinya, di antaranya:

Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (sebuah refleksi) (Bandung: Pustaka, 1985);

Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Bandung, Penerbit Mizan dan Maarif Institute, 2009;

Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 1993);

Titik Kisar di Perjalananku; Autobiografi Ahmad Syafii Maarif (Bandung, Penerbit Mizan, 2009).

Ahmad Syafii Maarif tidak asing dengan tradisi penerbitan buku-buku Islam di Bandung. Muhammad Akmal Firmansyah, dalam artikelnya, “Semangat Penerbit Buku Pemikiran Islam di Kota Bandung” di BandungBergerak.id, mengungkap bahwa Bandung adalah awal pintu masuk penerjemahan karya intelektual-cendikiawan luar negeri seperti Fazlur Rahman, Sayyid Quthb, Muhammad Qutb, dan lain-lain. Karya-karya mereka disambut antusias dan keterkejutan oleh intelektual-cendikiawan seperti Syafii Maarif.

“Di mana menurut Syafii Maarif, kita baru berniat untuk menerjemahkan karya Rahman ke dalam bahasa Indonesia dan telah mengantongi izin secara lisan dari Rahman, akan tetapi tiba-tiba Maarif diberi kiriman terjemahan karya Rahman yang terbit oleh Penerbit Pustaka di Bandung dan diminta untuk menulis kata pengantar.  Maarif mendukung dan mengaspresiasi penerjemahan tersebut,” tulis Muhammad Akmal Firmansyah.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//