Semangat Penerbit Buku Pemikiran Islam di Kota Bandung
Semangat Ahmad Hassan di Bandung dalam mendokumentasikan karyanya begitu tinggi. Sayangnya kini tidak semua cendikiawan muslim memiliki kemampuan menulis memadai.
Muhammad Akmal Firmansyah
Mahasiswa Ilmu Sejarah UIN SGD Bandung dan Jurnalis BandungBergerak.id sejak 12 Juni 2022
9 Mei 2022
BandungBergerak.id - Para cendikiawan Muslim Indonesia di tahun 1990-an memiliki keberuntungan untuk mengabadikan karya-karya mereka, dan keberuntungan itu didukung juga oleh semangat penerbit-penerbit yang ada di Kota Bandung. Jauh sebelum hadirnya para cendikiawan muslim seperti Nurcholis Madjid, Endang Saifuddin Anshary, Kuntowijoyo, Jalaluddin Rakhmat, dan cendikiawan lainnya justru intelektual Islam di masa sebelum Indonesia merdeka banyak menerbitkan buku sendiri. Ini misalnya dilakukan Ahmad Hassan di Bandung.
Nama Ahmad Hassan mungkin sudah banyak didengar orang, bahkan Syafiq Mughni menulis sebuah buku berjudul Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal (1994). Kota Bandung disematkan pada namanya karena di tahun 1923 ia datang ke Bandung lalu menjadi dikenal oleh masyarakat karena saat itu orang-orang Persatuan Islam (Persis) menahan Ahmad Hassan agar tidak pulang ke Surabaya dan dijadikan guru besar di Persis.
Berawal dari sebuah pengajian yang diadakan oleh orang-orang Persis yang dipimpin oleh KH Zamzam, lalu ada jama’ah yang bertanya pada beliau namun sang penanya itu tidak puas. Di saat itu Ahmad Hassan ikut menjawab dan lalu menarik perhatian jamaah yang hadir. Itulah yang menjadikan Ahmad Hassan menjadi tempat bertanya untuk masalah agama. Karena keluasan ilmu dan kealimannya akhirnya orang-orang Persis menahan Ahmad Hassan agar tetap di Bandung.
Di Bandung beliau tinggal di rumah Muhammad Yunus, dan hidup secara mandiri dalam berekonomi. Ia menulis kemudian mencetaknya dan menjualnya sendiri. Seperti yang disebutkan oleh Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan (1980), di tahun 1928 merupakan tahun yang tak pernah dilupakan oleh Ahmad Hassan karena waktu itu ia mulai menulis Tafsir Al-Furqon. Ia lalu mencetakn tafsir tersebut di percetakan Economy. Percetakan ini menjadi awal mula baginya bertemu Sukarno yang saat itu menerbitkan majalah Fikiran Rakjat.
Dan saat itu tafsir Al-Furqon terjual habis di pasaran. Dari hasil penjualan tafsir ini ia mendapatkan biaya hidup sehari-hari. Kemudian ia ikut juga menulis majalah Pembela Islam, menulis “Al-Burhan” mengenai ilmu fikih dan “Pengajaran Sholat” yang cukup tebal. Dan semua itu dilakukan oleh A Hassan sendiri dari mulai menulis, mencetak, menjilid, dan kemudian menjualnya ke pelangganannya.
Ahmad Hassan adalah representatif intelektual Islam mandiri di masa itu.
Baca Juga: Ustaz E Abdullah dan Majalah Iber, Dakwah Persatuan Islam dalam Bahasa Sunda
Laskar Hizbullah Priangan dalam Peristiwa Bandung Lautan Api
Jejak Islamisasi di Tatar Sunda dalam Peribahasa dan Mitos
Budaya Buku dan Semangat Penerbitan Pemikiran Islam di Bandung
Perjuangan dan semangat Ahmad Hassan dalam mendokumentasikan karyanya begitu tinggi di zaman yang penuh keterbatasan. Mestinya hal ini tidak menjadi persoalan bagi kaum intelektual hari ini yang dimudahkan teknologi percetakan. Sayangnya tidak semua ulama, intelektual, dan cendikiawan muslim memiliki kemampuan menulis yang memadai. Atau waktu mereka habis untuk mengisi ceramah, seminar, dan diskusi, sehingga untuk menulis sebuah buku waktunya menjadi sempit.
Bandung adalah awal pintu masuk penerjemahan karya intelektual-cendikiawan luar negeri seperti Fazlur Rahman, Sayyid Quthb, Muhammad Qutb, Syed Naquib Al-Attas, Wan Mohd Daud, Muhammad Iqbal, Waqar Hussein, Ismail al-Faruqi. Karya-karya mereka disambut antusians dan keterkejutan oleh intelektual-cendikiawan seperti Syafi’i Maarif .
Di mana menurut Syafi’i Maarif, kita baru berniat untuk menerjemahkan karya Rahman ke dalam bahasa Indonesia dan telah mengantongi izin secara lisan dari Rahman, akan tetapi tiba-tiba Maarif diberi kiriman terjemahan karya Rahman yang terbit oleh Penerbit Pustaka di Bandung dan diminta untuk menulis kata pengantar. Maarif mendukung dan mengaspresiasi penerjemahan tersebut.
Setelah terbitnya karya-karya intelektual-cendikiawan muslim luar negeri, kerinduan umat Islam di Indonesia pada karya putra bangsa disambut gayung oleh penerbit Pustaka di Bandung yang lalu menerbitkan buku Kuliah Tauhid yang merupakan kumpulan ceramah-ceramah yang diedit di penjara Nirbaya, karya Endang Saifuddin Anshary. Endang juga melakukan editing terhadap kumpulan ceramah Prof. Dody Tisna Amidjaya.
Semangat budaya menerbitkan buku Islam di Bandung ditulis dalam sorotan utama majalah Risalah edisi No.3/XXIX, Juni 1991, di mana saat itu penerbit Mizan dengan keuletan yang luar biasa menerbitkan kumpulan ceramah, khutbah, dan makalah dari berbagai catatan Jalaluddin Rakhmat yang kemudian diterbitkan dengan judul “Islam Alternatif”.
Maraknya penerbitan buku-buku pemikiran Islam di Bandung tidak lepas dari keuletan penerbit yang terus menerus menagih janji pada penulisnya. Hal menakjubkan ini misalnya dilakukan oleh penerbit Mizan saat menerbitkan buku “Satu Islam Sebuah Dilema”. Saat itu penyuntingnya, Haidar Bagir, menulis di kata pengantarnya bahwa pihaknya selalu menagih tulisan pada para penulis dengan mengajukan term of reference mengenai ukhuwwah Islamiyah dan persoalan lainnya. Namun ketika waktu deadline tiba hanya tulisan Ahmad Syafi’i Maarif dan Jalaluddin Rakhmat yang baru diterima, kemudian dengan semangatnya dilakukan cara kedua yaitu wawancara pada para penulis mulai dari Nucholish Majdid, Ali Audah, Quraish Shihab, Dawam Rahardjo, Amien Rais, dan Lukman Harun. Wawancara dilakukan oleh Budi Prayitno, Abdi Mahastyo, dan Syafiq Bashri. Hasilnya lalu ditranskrip serta disuting ulang sehingga jadilah sebuah antalogi karya mengenai topik pemikiran Islam.
Pada saat menerbitkan buku Kuntowijoyo “Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi” saat itu penerbit Mizan terus mendorong editornya, yakni A.E Priyono, sempat mogok karena kompunternya terkena virus. Namun pihak penerbit selalu terus mendorongnya, walaupun terhambat beberapa tahun, buku itu akhirnya terbit juga.
Bandung menjadi kota penerbitan buku pemikiran Islam dengan semangatnya sehingga bila mengutip Mark R Woodward yang dikutip juga oleh Yudi Latif di dalam buku Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (2012), Islam di Indonesia menjadi sebuah realitas yang tak bisa diabaikan oleh para akademikus.
Era Ahmad Hassan dan penerbit buku pemikiran Islam di Bandung menjadi sebuah kekuataan Islam selama dua dekade terkahir, menjadi gelombang kebangkitan Islam di Indonesia yang tak bisa disebut sebagai kekuataan marjinal yang berada di tepi peradaban Indonesia.