Laskar Hizbullah Priangan dalam Peristiwa Bandung Lautan Api
Laskar Hisbullah Priangan dibentuk di masa penjajahan Jepang. Pertempurang sengit laskar ini misalnya terjadi di Jalan Lengkong Besar melawan Inggris.
Muhammad Akmal Firmansyah
Mahasiswa Ilmu Sejarah UIN SGD Bandung dan Jurnalis BandungBergerak.id sejak 12 Juni 2022
11 November 2021
BandungBergerak.id - Semangat melawan penjajahan di Indonesia pada tubuh umat Islam terjadi begitu lama, seperti yang dijelaskan oleh Suratmin dalam buku Perjuangan Laskar Hizbullah dalam Pertempuran Surabaya (2010). Disebutkan bahwa perang Aceh, perang Paderi, dan perang Diponegoro, juga perlawanan lainnya yang dilakukan oleh para kiai di Nusantara; kemudian pada era selanjutnya di masa revolusi Indonesia, para kiai menyemangati ruh para santrinya untuk melawan sekutu dalam perlawanan-perlawanannya. Laskar yang beranggotakan santri-santri ini merupakan tunas kelapa yang kelak kita akan mengenalnya sebagai Laskar Hizbullah.
Laskar Hizbullah, menurut Ahmad Mansyur pada Api Sejarah Jilid Kedua (2017), dibentuk masa kependudukan Jepang 19 Desember 1944, sebanyak 50.000 orang, dan kemudian menjadi benteng pembela proklamasi pada 17 Agustus 1955. Ahmad Mansyur melengkapi keterangannya dengan gambar dokumentasi pribadinya.
Pendudukan Jepang dan Terbentuknya Laskar Hizbullah
Pada buku Perjuangan Laskar Hizbullah dalam Pertempuran Surabaya (2010), Suratmin menjelaskan ketika pendudukan Jepang 9 Maret 1942, seluruh Jawa sudah dikuasi oleh Jepang, dan saat itu Belanda angkat tangan terhadap Jepang. Ketika terjadi penyerahan Belanda kepada Jepang, Suratmin menyebut, pihak Belanda diwakili oleh Jenderal Ter Porten dan diterima oleh pihak Jepang diwakili Jenderal Hitoshi. Dalam hal ini pula Jepang masuk ke Hindia Belanda sangat mudah karena dukungan dari orang-orang pribumi yang menginginkan Indonesia merdeka dan Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia ketika memenangkan Perang Pasifik.
Selain itu, ketika terjadi Perang Dunia Kedua, Front Pasifik meletus tanggal 8 Desember 1941. Menurut Musyrifah Sumanto dalam Sejarah Peradaban Islam Indonesia, ketika itu Pearl Harbour, pangkalan militer Amerika Serikat dibom oleh Jepang. Saat itu Hindia-Belanda masih di bawah jajahan Belanda. Ratu Wihelmina kemudian mengumumkan perang dengan Jepang, tepat tanggal 1 Maret 1942. Masih mengutip dari Musyrifah Sumanto, bahwa Bandung yang saat itu jadi pusat pertahanan Hindia-Belanda, dibombandir oleh Jepang dan kemudian menyerah tanpa syarat.
Pendudukan Jepang di Hindia Belanda dibarengi dengan penerapan romusha. Jepang mengirim para pekerja paksa untuk membuat jalur kereta di Burma, seperti yang dijelaskan oleh Richard McMillan, dalam pengantar bukunya yang berjudul The British Occupation Of Indonesia 1945–1946 (2006). Dan, Musyrifah menyebutkan bahwa ketika itu 300.000 romusha yang dikirimkan ke luar negeri, namun yang selamat 70.000 orang.
Tercatat, ada upaya-upaya Jepang untuk men-Nipponkan Indonesia. Antara lain berusaha menghapus Islam dan menggantinya dengan Shinto, memerintahkan berseikeirei, sebagaimana dipaparkan oleh Musyrifah:
Pertama, Jepang berusaha membersihkan budaya Barat. Kedua, mengubah sistem pendidikan. Ketiga, membentuk barisan pemuda. Keempat, memobilisasi pemimpin Islam; dan kelima, mendirikan organisasi baru seperti shumbu (departemen agama bentukan Jepang). Kala itu departemen agama dipimpin Hosein Djajadiningrat, kemudian digantikan oleh KH. Hasyim Asyari. Jepang membubarkan MIAI dan mengganinya dengan Masyumi (Majelis Syuro Indonesia).
Penjelasan mengenai bagaimana Jepang melakukan simpatik kepada Islam, akan kita simak dari apa yang dijelaskan oleh Suratmin. Ketika itu Jepang mengizinkan berdirinya MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), meski dekrit jenderal Imamura sebenarnya melarang aktivis bangsa Indonesia.
Seperti yang dijelaskan oleh Suratmin, peristiwa penangkapan terhadap KH. Hasyim Asyari dan KH. Machfud Shiddiq telah mengoreskan luka pada umat Islam Indonesia. Untuk mengobati luka tersebut, Jepang mendatangkan 32 ulama Madura dan se-Jawa. Gunseika (Pemerintah Militer Jepang) yang diwakili oleh Letnan Jendral Okazaki melakukan beberapa kali pertemuan dengan para tokoh di MIAI. Dari situ muncul izin penerbitan majalah “Suara Islam” yang terbit setiap setengah bulanan dan diberi kantor di Jakarta. Tahun 1943, Jepang membubarkan MIAI kemudian menggantinya dengan Masyumi.
Masih dari penjelasan Suratmin, Masyumi menjadi sarana perjuangan umat Islam. Tatkala Jepang membutuhkan tentara cadangan untuk dikirim ke Pasifik dan Birma, Jepang mendekati tokoh Jawa Hokai, saat itu Abdul Hamid Ono, seorang Jepang yang memeluk Islam, dan memintanya mendekati KH. A. Wachid Hasyim. Kiai Wachid Hasyim diminta agar para santrinya bergabung dengan Heiho. Hanya saja permintaan itu tidak dipenuhi.
Wachid Hasyim, kata Suratmin, meminta agar para santri dilatih terlebih dahulu, sebab bila langsung ikut berperang akan merepotkan tentara yang sudah ahli. Permintaan itu melahirkan kegiatan para santri dalam dunia kemiliteran. Namanya hingga kini terkenang dalam ingatan kita: “Hizbullah”
Awal Januari 1945, Masyumi mengumumkan Dewan Pengurus Hizbullah, susunannya sebagai berikut: H. Zainul Arifin sebagai Ketua; Mr. Mohammad Roem sebagai Wakil Ketua, dan anggotanya terdiri dari: S, Soerowiyono dan Soedjono sebagai Urusan Umum; Anwar Tjokroaminoto, Soerowiyono dan Soedjono sebagai Urusan Perencanaan; R.M.O Djunaidi dan Prowoto Mangunkusasmito sebagai Urusan Keuangan (Suratmin, Perjuangan Laskar Hizbullah dalam Pertempuran Surabaya (2010).
Baca Juga: Bisakah Kita Hidup tanpa Polisi?
NGALEUT BANDUNG: Dipati Ukur, Mengungkap Naskah Babad Bupati Bandung (3)
Berretty, Si Pendiri Kantor Berita Aneta dan Petualangan Cintanya
Pesantren Sukamiskin, Ngalogat dan Debat dalam Budaya Ki Sunda
Jejak Islamisasi di Tatar Sunda dalam Peribahasa dan Mitos
Laskar Hizbullah Priangan
Setelah pembentukan dewan pengurus, Hizbullah langsung berkeliling untuk mendirikan Hizbullah daerah, dan memberikan penjelasan mengenai Hizbullah, serta memeriksa calon untuk mengikuti latihan militer di Bekasi, tepatnya Cibarusa.
Dalam tulisan Galun Eka Gemini dan Kunto Sofianto dengan judul Peranan Lasykar Hizbullah di Priangan tahun 1945-1948, dijelaskan pembentukan Hizbullah di Priangan disambut antusias, apalagi dengan ruh semangat perjuangan para ulama yang sebelumnya telah syahid di medan perang, seperti perlawanan di Sukamanah, Kiai Zaenal Mustafa, dan sebagainya. Kala itu, 10 Januari 1945, diadakan pertemuan dengan para ulama Shu Priangan beserta puluhan calon Hizbullah, dan Dewan Pengurus Hizbullah yang dihadiri langsung oleh Ketua, Zainal Arifin, kemudian Masyumi Pusat, KH Faried Maroef, serta orang-orang Jepang seperti Abdul Hamid Ono, Kenchoo, Shincoo. Pertemuan tersebut dihadiri pula oleh KH Anwar Musaddad dari Garut, dan di adakan di Gedung Dai Toa Kaikan di Bandung.
Pertemuan dihadiri para calon anggota Hizbullah yang berasal dari sekolah-sekolah Islam yang ada di Priangan seperti sekolah Persatuan Islam (Persis), Nahdatul Ulama (NU), dan Muhammadiyyah, serta para pemuda yang berani berperang dan santri-santri yang terdapat di pesantren-pesantren Priangan lainnya. Keresiden Hizbullah terbentuk dengan tokoh pimpinannya KH. Anwar Musaddad, Kamran, dan Utarya.
Latihan Militer Hizbullah di Cibarusa
Hizbullah berhasil dibentuk di 25 keresidenan di seluruh Jawa, Madura, termasuk keresidenan Priangan. Para pemuda yang rata-rata berusia 18-25 tahun, mendapat pelatihan dari Jepang, para kiai didatangkan untuk memberikan siraman ruhani. Pada setiap ceramahnya, para kiai menanamkan semangat dan nasionalisme juga kesadaran sejarah. Para kiai yang mengisi ceramah tersebut antara lainnya: KH. Abdul Halim, Kiai Mawardi, Kiai Zakarsi, Kiai Syahid, Kiai Mustofa Kamil, Kiai Abdullah, Kiai Thohir Dasuki, Kiai Mursid, dan Kiai Roji'un.
Pelatihan di Cibarusa dipimpin oleh perwira Jepang, Yamagawa. Setiap keresidenan dilatih oleh seorang pelatih dari shondancho PETA. Setelah mengikuti pelatihan di Cibarusa, para lulusan Cibarusa kemudian melatih di residennya masing-masing.
Pelatihan Hizbullah Priangan
Lulusan Cibarusa kemudian mengadakan pelatihan di masing-masing residen seperti di pesantren-pesantren yang berada di Priangan. Misalnya, latihan di Pesantren Cigondewah di bawah pimpinan Ajengan Aceng. Dan di luar Bandung seperti di Garut, KH Anwar Musaddad dan KH Yusuf Taujiri dari Pesantren Darusallam pernah melatih 200 santrinya.
Seperti yang dituliskan oleh Galun Eka Gemini dan Kunto Sofianto, pelatihan terdiri dua materi, yaitu ruhani dan jasmani. Untuk ruhani, dipelajari juga ilmu "kanuragan" melalui olah pernapasan, dan di ilmu kemiliteran diajarkan teknik dasar kemiliteran, mulai dari baris berbaris hingga penggunaan senjata berat.
Galun Eka dan Sofianto melakukan wawancara kepada Machdar yang menyatakan, sebelum terjun dalam medan pertempuran, laskar Hizbullah diharuskan berzikir untuk menguatkan mental mereka, kemudian mendapat ceramah tentang jihad dari para kiai.
Bandung Lautan Api
Buku Kronik Revolusi Indonesia Bagian II (1946), yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil, menjelaskan pada 24 Maret 1946 terjadi Bandung Lautan Api yang dikobarkan oleh tentara dan rakyat. Mereka membakar markas, bangunan penting, dan rumahnya sendiri.
Galun Eka dan Sofianto memaparkan Laskar Hizbullah turut berperan dalam peristiwa Bandung Lautan Api.
"Kejadian ini bermula ketika pasukan Inggris yang ditempatkan di Bandung di bawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn mengeluarkan tuntutan untuk mengambil para tawanan Jepang yang pada saat itu ditahan oleh badan-badan perjuangan bersama TNI-Divisi Siliwangi. Selain itu mereka juga menuntut agar mereka menyerahkan Kota Bandung, 29 November 1945," katanya.
Apa yang diinginkan oleh Inggris ditolak oleh para pejuang dan Laskar Hizbullah di bawah pimpinan Utarya dan Kamran bersama para santri dari pesantren yang berada di sekitaran Bandung. Sejumlah pertempuran terjadi. Salah satunya di Jalan Lengkong Besar di mana dua pejuang dari Laskar Hizbullah dengan keberanian melawan Belanda-Sekutu hingga kemudian menaiki tank baja tentara sekutu berbekal golok, pedang, dan bambu runcing.
Ahmad Mansyur dalam Api Sejarah Jilid Kedua (2017), menurutkan salah satu pertempuran di bawah pengaruh Ajengan Cibaduyut. Saat itu, Laskar Hizbullah berhasil menyerbu dan mengambil persenjataan dari NICA dan Tentara sekutu Inggris.