• Opini
  • Bisakah Kita Hidup tanpa Polisi?

Bisakah Kita Hidup tanpa Polisi?

Di Exarchia, Yunani, masyarakat otonom lahir dari gagasan warganya akan ketidakbergantungan pada negara dan polisi, sama halnya dengan suatu wilayah di Suriah Utara.

Rizky Mardiyansyah

Alumnus Jurnalistik Unisba, editor untuk media Kulturnativ.

Polisi saat mengawal unjuk rasa. (Foto Ilustrasi: Rizky Mardiyansyah Aries )

1 November 2021


BandungBergerak.idSeruan untuk mereformasi kebijakan kepolisian bukanlah hal yang baru. Faktanya, reformasi kepolisian telah menjadi topik yang berulang selama hampir 100 tahun di berbagai negara. Di Amerika Serikat, gejolak protes nasional yang selalu dipicu pembunuhan sipil oleh polisi kerap terjadi hampir satu tahun sekali. Bahkan, pascameledaknya kasus pembunuhan George Floyd, slogan Defund the Police – “Divestasi Dana Kepolisian”, muncul kembali ke permukaan lini masa media sosial.

Gerakan Defund the Police sendiri adalah respons masyarakat Amerika terhadap ketidakselarasan anggaran yang dikeluarkan negara untuk kepolisian, dengan jaminan keamanan masyarakat itu sendiri. Pasalnya, merujuk dari mappingpoliceviolence.org – sebuah situs database yang merekam kekerasan polisi di Amerika, sebanyak 26 persen ras minoritas telah dibunuh oleh polisi sepanjang tahun 2021 ini.

Itu semua belum termasuk dengan buruknya profesionalitas dan etos kerja kepolisian Amerika. Selama tahun 2013-2020, sebanyak 98,3 persen polisi yang menjadi tersangka kasus pembunuhan berencana, tak pernah berakhir dengan tuntutan hukuman, dengan kata lain; kasus-kasus tersebut tidak pernah selesai di pengadilan. Keraguan akan profesionalitas kerja polisi tersebut menegaskan masyarakat Amerika bahwa, alangkah lebih baiknya jika anggaran kepolisian dialokasikan untuk biaya pendidikan, serta jaminan kesehatan gratis untuk masyarakat yang membutuhkan.

Derecka Purnell, seorang pengacara Hak Asasi Manusia, menyatakan dalam The Atlantic bahwa, pembubaran institusi polisi adalah ide [bagus] yang lebih besar, daripada hanya sekedar memotong/mengalokasi anggaran polisi. Hal tersebut akan sekaligus menghilangkan alasan masyarakat yang berpikir bahwa mereka membutuhkan peran polisi di dalam hidup mereka untuk menjamin keamanan. Purnell juga berpendapat bahwa kampanye ‘reformasi kepolisian’ terlalu ambigu.

Ungkapan tersebut dapat diduga telah menimbulkan banyak kontroversi, terutama oleh para ekstremis sayap kanan, karena pada dasarnya pula, kehadiran polisi sejak zaman dahulu kala hanyalah sebagai pelayan kepentingan penguasa dan kapital. Jika ada istilah bahwa sejarah adalah kejadian yang akan terus berulang, maka peran polisi saat ini tak lain dan tak bukan adalah sebuah bentuk absolut dari kolonialisasi modern.

Di Indonesia sendiri, keraguan profesionalitas kerja polisi juga dirasakan masyarakat, terlebih setelah tagar #PercumaLaporPolisi viral, pascadirilisnya serial peliputan Project Multatuli terkait kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Setelah ramai di lini masa, situs Project Multatuli pun mengalami serangan siber. Di waktu yang sama, alih-alih menjadi bahan evaluasi, Polda Sulsel malah melakukan pelabelan hoax secara tidak profesional kepada hasil peliputan Project Multatuli melalui akun instagramnya.

Merujuk pada UU Pers No. 40/1999, pasal 18, pernyataan hoax yang dilakukan Polda Sulsel merupakan salah satu upaya pembungkaman atas kebebasan pers. Pasal tersebut juga menjelaskan bahwa adanya sanksi pidana bagi siapa pun yang menghambat kerja jurnalis dalam melakukan dan mengerjakan produk jurnalistiknya. Pada kasus ini, polisi sudah terbilang cacat hukum, serta tidak memahami hal-hal semacam sengketa pers. Padahal, jika polisi merasa ada kejanggalan dengan produk peliputan dari suatu media massa, ada mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi yang dijamin oleh Komisi Yudisial dan Dewan Pers.

Pernyataan kepala institusi yang tidak pernah reformatif kemudian menambah pula respons keraguan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi. Merujuk kepada situs katadata.co.id, pemerintah melakukan sokongan tambahan atas anggaran kepolisian dalam RAPBN 2022 sebesar 14,6 persen, atau setara dengan 111,02 trilliun rupiah. Alokasi anggaran tersebut merupakan yang tertinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dengan sumber daya yang cukup besar, Polri seharusnya lebih bertanggung jawab atas slogan yang diembannya, ketimbang hanya mengeluarkan surat telegram ST/2162/X/HUK2.9/2021, yang isinya hanya formalitas imbauan bagi anggotanya, untuk ‘tidak anti-kritik’. Namun apa pula yang bisa diharapkan.

Police Abolition: Sebuah Upaya Transformasi dari Akar

Lantas, mengapa kita masih berpikir bahwa reformasi dari dalam tubuh kepolisian akan berhasil? Sudah sepatutnya kita mengubah pola tuntutan kepada institut kepolisian. Langkah konkret paling pasti yang bisa kita lakukan hari ini adalah dengan membuat mereka usang, yaitu, dengan memotong rantai kebiasaan-kebiasaan kita dalam menggantungkan hidup kepada polisi; termasuk mengglorifikasi ketika mereka tengah melakukan tugasnya. Dengan kata lain, sudah sepatutnya pula kita tidak melibatkan peran polisi dalam hidup kita.

Namun, ketika orang, terutama para pemilik modal, mempertimbangkan dunia tanpa polisi, maka tentunya mereka membayangkan sebuah kondisi masyarakat yang tak karuan tanpa penegak hukum. Hal tersebut merupakan salah satu dampak indoktrinasi gagasan yang dirasakan oleh mayoritas lapisan masyarakat.

Ide pembubaran polisi memang terdengar sangat utopis. Tapi, ada cara pandang berbeda dalam menanggapi Police Abolition – “Penghapusan Polisi” ini. Satu hal yang sangat jelas: bahwa tujuan sebenarnya bukanlah untuk melegalkan tindak kriminal, tapi membingkai diskusi untuk perubahan radikal yang memungkinkan. Para pemikir dan aktivis dari berbagai negara melihat kampanye tersebut sebagai hal yang serius, yakni untuk mereformasi kembali konsep penegakan hukum di setiap wilayah. Beberapa beranggapan pula bahwa pergerakan tersebut merupakan suatu upaya transformasi dari akar.

Jenn Jackson, seorang ilmuwan politik Universitas Syracuse, menyatakan bahwa, dengan “menghapuskan polisi”, kita dapat membangun dunia di mana setiap individu tidak lagi bergantung pada institusi supremasi kulit putih untuk mengatur masyarakat. Hal tersebut sekaligus menjelaskan bahwa Jenn menawarkan konsep alternatif, yaitu, keterlibatan masyarakat dalam membangun lembaga jejaring kepedulian (care networks), serta menginvestasikan dana kepada komunitas-komunitas kecil masyarakat yang berakar atas ketidaksetaraan struktural sebagai gantinya, ketimbang membayar pajak untuk menggaji polisi.

Hal selaras dikatakan oleh Christy Lopez, profesor hukum Universitas Gerogetown, dalam artikel vox.com. Yakni dengan dilakukannya “penghapusan polisi” maka akan sama halnya dengan upaya mengatur ulang jaminan keselamatan publik, serta menghilangkan ketergantungan berlebihan pada para penegak hukum. Baginya, kampanye tersebut sangatlah penting, mengingat terdapatnya banyak aspek kepolisian yang melanggengkan penyalahgunaan kekuasaan yang disetujui oleh negara, termasuk kekerasan.

Beberapa orang percaya bahwa tidak perlu ada orang yang mengenakan seragam dan lencana untuk dapat melaksanakan tugas polisi. Semua hanya tentang bagaimana menyelaraskan tujuan masyarakat di setiap daerah. Karena pada nyatanya, hanya masyarakat sendirilah yang mengetahui apa yang dibutuhkannya, termasuk dalam hal keamanan.

Kejahatan dan kriminalitas adalah sebuah bentuk konstruksi sosial yang bergantung pada kemiskinan struktural. Hal tersebut lahir seiring dengan eksisnya negara dan segala bentuk institusi otoritasnya. Dengan kata lain, negara sendirilah yang membuat rakyatnya tidak sejahtera. Maka, meningkat dan menurunnya angka kriminalitas di setiap wilayah tidaklah ada hubungannya dengan peran polisi sebagai pelindung dan pengayom.

Polisi saat mengawal unjuk rasa. (Foto Ilustrasi: Rizky Mardiyansyah Aries )
Polisi saat mengawal unjuk rasa. (Foto Ilustrasi: Rizky Mardiyansyah Aries )

Baca Juga: Bandung Hari Ini: Aksi Seniman Pantomim Wanggi Hoed Dihentikan Polisi
PROFIL PBHI JAWA BARAT: Dari Penggusuran Tamansari sampai Korban Salah Tangkap Polisi
AJI: Selama Pandemi Covid-19, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat
Hari Demokrasi Internasional 2021: Maraknya Parade Kekerasan dan Serangan terhadap Pembela HAM

Exarchia: Dari Melepas Kekang Kendali, Hingga Mengusir Polisi

Di sudut Benua Eropa, tepatnya suatu wilayah di Yunani, terdapat satu lingkungan yang terdiri dari lusinan blok berliku. Wilayah tersebut terletak di pusat Athena, tepat antara Institut Politeknik dan Museum Arkeologi Nasional. Jalanan sepanjang blok dihiasi berbagai grafiti di setiap dindingnya. Terdapat pula kafe, toko musik, dan toko buku dengan berbagai hiasan bendera merah-hitam di depan pintu masuknya. Semua terlihat normal. Orang-orang melakukan kontak mata, duduk santai bersama, merokok dan minum di sudut-sudut kursi trotoar.

Seperti itulah lingkungan yang berdiri mandiri sekian tahun lamanya. Tidak ada polisi, tidak ada institusi negara lainnya. Kebebasan dan keramahan hidup di Exarchia, dilestarikan atas keinginan dan kesadaran yang konstan dari setiap masyarakatnya. Kaum anarkis di Exarchia sudah mengusir polisi sejak Desember 2008 dalam pemberontakan yang melanda di kota Athena. Sebab muasalnya adalah pembunuhan seorang warga berusia 15 tahun oleh dua orang polisi lokal. Pada hari-hari setelah pembunuhan anak itu, toko, bank, dan mobil di pusat kota dibakar, gedung-gedung diakuisisi, dan protes terus melanda.

Pada tahun-tahun setelah kejadian itu, kaum anarkis mengorganisir dan mengaktivasi ruang-ruang hidup di Exarchia. Gedung parkir dirubah menjadi taman bermain yang ramah anak, sedangkan kegiatan seni semakin marak merambah di setiap penjuru wilayah. Di bidang olah raga, Exarchia mempunyai klub sepak bola bernaung anti-fasis bernama Exarchia Stars, yang dijalankan secara kolektif dan mandiri.

Dalam hal ini, Exarchia memandang anarkisme sebagai satu-satunya model untuk mengorganisir masyarakat yang beradab. Dengan tidak adanya eksploitasi antara satu warga dengan warga lainnya, masyarakat bisa hidup dengan aman dan tenteram, tanpa peran institusi keamanan yang terlibat di dalamnya. Uniknya, anarkisme di Exarchia terbentuk atas dasar kesadaran kelas. Terdapat pula tiga generasi anarkis yang kerap berjalan bersama, mulai dari orang tua, remaja, hingga anak kecil.

Pada Maret 2020, Pandemi Covid-19 menyerang. Setiap negara di belahan dunia manapun memperlihatkan kebobrokan sistemnya. Masyarakat mulai hilang arah, melepaskan kebergantungannya kepada negara, dan menerapkan sistim gotong royong. Sungguh cobaan kilat bagi siapa saja yang masih berpegang teguh pada gagasan “negara”. Tetapi tidak dengan Exarchia. Mereka tidak menunggu bencana pandemi global datang untuk melakukan upaya-upaya otonom tersebut.

Potret Masyarakat Otonom di Balik Panasnya Gejolak Suriah

Jika masyarakat otonom lahir di Exarchia karena gagasan warganya yang kuat akan ketidakbergantungannya pada negara dan polisi, maka sama halnya dengan suatu wilayah di Suriah Utara. Di tengah invasi besar-besaran oleh Turki terhadap sebagian besar wilayah di Kurdish, sebuah organisasi bernama Yekîneyên Parastina Jin (YPJ) – yang berartikan Satuan Pertahanan Perempuan, memiliki peran yang penting dalam pembebasan suatu wilayah bernama Rojava.

Delapan tahun telah berlalu sejak awal revolusi di Rojava. Masyarakat berhasil menolak semua upaya pelibatan negara dan otoritasnya, termasuk polisi dan tentara. Meskipun saat ini tengah berada di bawah tekanan perang melawan ISIS, dan teror harian fasis Turki, Rojava tetap bersikukuh dalam mengorganisir diri untuk menghentikan invasi-invasi modernitas kapitalisme.

Dalam menjalankan kesehariannya, langkah pertama yang dilakukan oleh masyarakat setempat adalah dengan membangun sistem yang dikelola oleh masyarakat itu sendiri, baik secara dana maupun logistik. Hal tersebut dilakukan untuk menyadarkan masing-masing masyarakat – baik dari lingkup terkecil hingga yang besar sekalipun, untuk tidak menggantungkan diri kepada negara dan elemen-elemen di dalamnya.

Seiring berjalannya waktu, sistem alternatif ini kemudian berkembang sehingga semakin banyak warga yang berpartisipasi melakukan kerja-kerja kolektif dan praktis. Rojava juga tengah membangun tatanan masyarakat demokratis-ekologis, mengembangkan taktik swasembada dan menjalankan koperasi. Ini dimaksudkan agar semua sumber daya, seperti air, energi, tanah, menjadi milik bersama; guna menghindari sesuatu yang tak diinginkan terjadi, seperti klaim sepihak dari negara yang pada praktiknya selalu melibatkan polisi dan tentara untuk menggusur tanah/wilayah milik warga.

Berbeda dengan mode produksi kapitalis, sistim swasembada dan koperasi dapat memproduksi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, karena tidak perlu ada yang tunduk pada logika pertumbuhan konstan dan maksimalisasi keuntungan, seperti yang dilakukan oleh negara dan para pemodalnya.

Keberanian Rojava untuk membuka jalan baru, jalan keluar dari bencana besar yang ditimbulkan oleh modernitas kapitalis (termasuk di dalamnya; negara dan polisi), telah berhasil menunjukkan sebuah potret masyarakat otonomi-demokratis secara ekologi yang aman dan tenteram dengan tingkat kriminalitas yang rendah.

Masyarakat Nenek Moyang Indonesia: Sejahtera tanpa Negara dan Polisi

Jika kita masih membayangkan bahwa apa yang dimaksud dengan hidup tanpa polisi mengarah pada kekacauan, kerusuhan, dan meningkatnya tingkat kriminalitas di suatu wilayah, maka itu salah besar. Di Indonesia, kiprah hidup masyarakat tanpa polisi bukanlah hal yang baru atau asing. Adalah suku Dayak di Kalimantan Barat, yang sudah lumerah melakukan praktik-praktik stateless society – kehidupan tanpa peran negara. Disebut demikian bukan karena mereka terlalu awam untuk melebur bersama negara dan instrumennya, melainkan karena mereka memang menjauhinya, atas dasar menghindari monopoli kekuasaan seperti yang kerap terjadi hari ini.

Masyarakat adat seperti Dayak sederhananya adalah masyarakat yang tidak dikuasai, diperintah, atau dikendalikan oleh negara dan aparatnya. Itu merupakan suatu capaian utama politik anarkisme yang ideal. Namun, hal tersebut bukan berarti tanpa aturan. Tentu saja beberapa orang Dayak mencoba menyamakan strata tertinggi sebagai “raja” dan strata yang di bawahnya sebagai “rakyat”, karena itulah adat dan budaya yang mereka kenal sehingga dapat mereka gunakan untuk mendefinisikan potret kehidupan mereka kepada orang di luar.

Hierarki dalam masyarakat adat, dalam hal ini Dayak, tidak dapat disamakan dengan hierarki negara. Bima Satria Putra, seorang antropolog dan penulis buku Dayak Mardaheka, menyatakan bahwa, dalam masyarakat tanpa negara; ada beberapa jenis otoritas yang tidak dapat dihilangkan begitu saja. Praktik anarkisme tidak berarti menghilangkan otoritas dokter bedah terdidik untuk memimpin operasi bedah, atau menghilangkan peran petani handal untuk memimpin panen di suatu kebun. Begitulah cara suku Dayak bekerja.

Sementara itu, status “kuasa” yang terdapat di suku Dayak tersebut merujuk pada kemampuan seseorang atau sekelompok untuk mewujudkan keinginannya dalam tindakan yang dilakukan secara bersama, lagi-lagi tanpa peran aparat di dalamnya. Kuasa di sini tidaklah sama dengan pemaksaan. Maka, sampai di sini, tidak ada masalah ketidakadilan yang terlalu serius perihal status kuasa di Dayak – berbeda dengan apa yang terjadi di lingkungan kita, perihal stratifikasi polisi dan sipil.

Maka, sebagai alternatifnya, masyarakat umum yang tergabung dalam kelompok pengaduan masyarakat di Dayak diperbolehkan aktif secara politik menjadi orang kepercayaan mayoritas di sana demi menjadi pengawas terhadap kemungkinan tindakan kesewenang-wenangan.

Dalam karya sastra berjudul Maanyan Berkisah oleh Niklous Pronika, seorang Dayak, terdapat suatu percakapan tentang bagaimana masyarakat Dayak bisa hidup aman dan tenteram dengan tingkat kriminalitas yang rendah, tanpa peran polisi di dalamnya. Percakapan ini mengekspresikan kesadaran ‘hidup tanpa polisi’ seperti yang dimaksud, yaitu; tidak ada kekhawatiran dalam kedamaian yang dirasakan oleh suku Dayak. Sebab, mereka tidak memiliki musuh ataupun keinginan untuk memusuhi yang lain. Mereka tidak suka kekerasan dan kejahatan. Ada hukum adat yang menjaga di sana, maka tidak perlu ada yang ditakuti, karena keamanan adalah milik bersama.

Kedamaian bagi suku Dayak adalah sebuah kejayaan yang romantis, tentang masyarakat yang sejahtera hidup di wilayah yang berdaulat. Kedamaian telah hadir, bahkan jauh-jauh hari sebelum institusi polisi di seluruh dunia dibentuk. Kampanye pembubaran polisi yang dilakukan di berbagai negara bukanlah hal utopis. Ya, bahkan banyak akademisi yang menyatakan bahwa institusi polisi haruslah bubar. Karena reformasi tidaklah akan berhasil.

Lantas, pertanyaan-pertanyaan seputar; ‘bisakah kita hidup tanpa polisi’, sudah terjawab telak, baik dari yang terdekat – oleh sejarah nenek moyang kita di Indonesia, maupun yang jauh di Eropa dan Suriah sekalipun.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//