Manifesto Seorang Ulama Pejuang
Persis didirikan di Bandung dengan semangat kembali pada kemurnian Islam. Organisasi ini getol melawan komunis yang banyak diikuti umat Islam.
Indra Prayana
Pegiat buku dan surat kabar
18 Januari 2022
BandungBergerak.id - Rabu 12 September 1923, H. Mohamad Zamzam bersama sahabatnya H. Mohamad Yunus keduanya merupakan pedagang keturunan Palembang yang merantau dan bermukim di Bandung menggagas sebuah organisasi berbasis keagamaan. Pembentukan organisasi ini sendiri kemungkinan setelah melalui berbagai perbincangan dan diskusi di antara keduanya dengan para kolega tentang berbagai permasalahan sosial, budaya maupun agama.
Dalam pandangan mereka salah satu yang menjadi persoalan besar adalah kondisi umat Islam Indonesia yang semakin mundur dan jauh dari penerapan prinsip-prinsip dasar Islam. Ummat islam banyak melakukan perbuatan-perbuatan tidak dilandasi dengan hujah yang benar. Sikap taqlid buta, percaya takhayul, praktik-praktik bid’ah serta khurafat begitu marak di tengah-tengah masyarakat. Maka dari itu perlu ada kelompok dakwah yang meluruskan untuk kembali pada kemurnian Islam yang bersumber pada Al Quran dan sunah, dengan semangat itu juga awalnya organisasi Persatuan Islam atau yang akrab disebut Persis didirikan di Bandung.
Berdirinya Persis tidak serta merta mendapat kepercayaan masyarakat, baru setelah A. Hassan bergabung dengan membawa metode dakwah berbeda secara perlahan banyak tokoh-tokoh yang tertarik dan salah satunya adalah Mohammad Natsir yang kelak berjasa besar dalam mosi integral yang mempersatukan Repubik Indonesia dalam bingkai negara kesatuan.
Dinamika Persis terus berkembang dari tahun-tahun, jumlah keanggotaan juga terus bertambah meski tidak sebanding dengan usia organisasi Persis itu sendiri. Keterlambatan dalam tumbuh kembangnya jumlah jamaah itu memang bukan target dari organisasi, karena secara karakter Persis lebih menitikberatkan kepada kualitas ketimbang kuantitas. Mengajak untuk kembali kepada kemurnian Islam di tengah budaya, adat istiadat, kebiasaan dan kepercayaan yang masih kuat dipegang masyarakat, memang yang diperlukan adalah kekuatan pemikiran bukan dari segi banyaknya jumlah jamaah. Mohamad Roem dalam sebuah pidato sambutan peresmian pesantren Persis, pernah menyebut bahwa Persatuan Islam adalah gerakan yang mengolah otak dan pikiran, salah satu karunia Tuhan yang paling berharga bagi manusia, akal dan pikiran memerlukan lisan, sarana komunikasi yang penting bagi manusia.
Generasi Ketiga Persis
Kiprah dakwah Persis sempat mengalami pasang surut. Ketika pemerintahan fasis Jepang berkuasa, Persis serta sejumlah organisasi Islam lainnya sempat dibekukan dan juga diharuskan untuk bergabung dalam MAIA (Majelis Islam A’la Indonesia) sebuah badan gabungan seluruh ormas Islam yang diaktifkan kembali oleh Jepang sebagai kekuatan cadangan kelompok Islam dalam menunjang kepentingan politik Jepang. Pasca-Indonesia merdeka, pada tanggal 7-8 November 1945 diadakan Kongres Umat Islam Indonesia di Jogjakarta. Dalam kongres tersebut menghasilkan keputusan membentuk Partai Politik Islam Masjumi (Majelis Sjuro Muslimin Indonesia) sebagai “rumah besar” bagi umat Islam Indonesia.
Kelahiran Masjumi ini banyak melibatkan tokoh-tokoh Persis, di antaranya Mohammad Natsir yang menjadi ketua umum Masyumi dan K.H. M.Isa Anshary. Tentang nama terakhir, banyak orang menilainya sebagai ulama yang konsisten dengan prinsip-prinsipnya, menjadi generasi ketiga kepemimpinan Persis yang berpengaruh pasca-A.Hassan dan Mohammad Natsir.
Isa Anshary lahir di Maninjau Sumatera Barat pada 1 Juli 1916, sejak kecil sudah akrab dengan kegiatan politik dan keagamaan. Kiprahnya dimulai sejak masuk dalam Partai Syarikat Islam Indonesia cabang Maninjau, setelah beranjak remaja kemudian hijrah ke Bandung untuk belajar politik secara umum karena tertarik dengan perjuangan tokoh-tokoh nasional. Di kota Bandung juga perannya semakin menonjol serta cakrawala keislamannya semakin meluas, setelah masuk Jam’iyyah Persis dengan nomor pokok 004 berdasarkan her registrasi pada tanggal 7 Desember 1949, ia kemudian tampil sebagai ketua umum pimpinan pusat Persatuan Islam (Dadan Wildan, 1999: 92).
Setelah mengalami masa “pembekuan” di era Jepang, maka pada tanggal 1 April 1948 Jam’iyyah Persis melakukan reorganisasi untuk mengembangkannya ke arah yang lebih terbuka. Isa Anshary dipercaya untuk memimpin organisasi dengan dibantu beberapa rekan sejawat, salah satunya adalah K.H. E. Abdurahman yang kelak menjadi orang nomor satu juga di Persis. Di bawah kepemimpin Isa Anshary, Persis memperluas cakupan dakwahnya dengan turut aktif di gelanggang politik yang saat itu menjadi “medan tempur” dari berbagai macam aliran ideologi. Berbagai corak paham ideologi yang hidup di tengah masyarakat memberi lapangan yang luas untuk berkembang dan saling mempengaruhi. Nasionalisme, Islam, maupun komunisme bersaing di wilayah tersebut.
Masuknya Persis dalam gelanggang politik dengan partai Masyumi sebagai kendaraannya memberi warna tersendiri, terutama dalam menegakan nilai-nilai Islam. Seruan kepada umat Islam untuk ikut berperan dalam wilayah politik banyak disampaikan oleh tokoh-tokoh Persis sebelumnya melalui pesan dakwah lisan ataupun tulisan, Isa Anshary menegaskan bahwa Persis ataupun umat Islam umumnya untuk ikut terlibat dalam kegiatan politik sebagai wujud melaksanakan perintah agama. Semuanya harus terlibat dalam meninggikan kalimatullah, karena Islam tidak hanya mengatur hal-hal yang bersifat furuiyyah tetapi juga berbagai aspek kehidupan, sebagaimana seruan Allah dalam firmannya: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia, karena kamu menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah” (Q.S.3: 110).
Pada zaman demokrasi liberal, Isa Anshary selain ketua umum Persis juga sebagai ketua Masyumi Jawa Barat yang harus berhadap-hadapan dengan kelompok komunis dan para pendukungnya. Menurutnya komunisme tidak hanya berbahaya terhadap tatanan sosial politik tetapi juga bertentangan dengan sunattuloh. Filsafat historis materialisme yang menjadi kerangka dasar komunisme, di mana kondisi sosial menentukan nilai manusia dan manusia akan bernilai ketika memiliki produksi materi sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang menempatkan manusia sebagai subordinasi dalam realitas sosial dan manusia akan mempunyai nilai ketika seirama dengan ketetapan-Nya (Tuhan).
Baca Juga: Ketika Ustaz E Abdurrahman Menjadi Khatib Salat Iduladha di Tegallega
Menggugat Tuhan di Kala Bencana
NGALEUT BANDUNG: “Di-Yasin-kanâ€
Jadi Islam dan komunisme tidak mungkin bersatu, kalaupun bersama hanya pada tataran spirit dalam menghadapi musuh yang satu yakni kapitalisme. Tetapi propaganda ide maupun politik praktis yang dilancarkan kaum komunis sangat menarik banyak pihak terutama dari kalangan masyarakat bawah yang notabene umat Islam juga, dan ini tentunya menjadi kegelisahan para ulama dan pemimpin politik Islam lainnya.
Sebagai bentuk perlawanan terhadap kelompok komunis, pada bulan November 1954 Isa Anshary membentuk Front Anti Komunis (FAK) berkedudukan di Jalan Pungkur 73 Bandung dengan tujuan membendung laju komunisme. FAK ini bukanlah partai politik melainkan gerakan massa dari seluruh komponen dan sel-sel yang antiterhadap komunisme. Petunjuk pelaksanaan terhadap antikomunisme itu tercantum dalam buku “Bahaya Merah di Indonesia” yang ditulis oleh Isa Anshary, Jusuf Wibisono serta Sjarif Usman.
Pada Tahun 1954 Isa Anshary juga menyusun sebuah manifest perjuangan sebagai landasan Persatuan Islam berdakwah di tengah-tengah masyarakat. Dalam buku itu diuraikan berbagai kondisi objektif umat Islam umumnya disertai dengan analisis yang solutif, dengan memposisikan Persis sebagai kelompok penggerak utama dalam lapangan dakwah. Persis ditempatkan sebagai kelompok yang beraliran ‘Revolusioner Radikalisme’ yaitu suatu aliran yang hendak merubah masyarakat ini sampai ke akar-akarnya. Aliran Quran Sunah yang hendak membongkar penyakit kaum muslimin secara radikal dan revolusioner, secara terus terang, tidak pakai tedeng aling-aling, tidak ragu, penuh kepastian (1954. Hal : 48).
Sedangkan untuk merubah keadaan masyarakat itu harus dimulai dengan merubah batin orang perorangnya telebih dahulu, merubah mental dan mindset-nya, dengan rumusan demikian tentu akan rentan dengan benturan ataupun penolakan. Tetapi itulah dakwah yang dicanangkan dan sebagai ketua umum Isa Anshary paham betul dengan sikap konfrontatif dan vis a vis dengan semua kekuatan di luar Islam yang membawa permusuhan terhadap Islam itu sendiri.
Kepengurusan Persis 1948-1960 ini memang memiliki harapan, tantangan dan pertanyaan besar tentang kondisi zaman saat itu, dan jawaban terhadap pertanyaan besar itu berupa sebuah manifesto atau pernyataan sikap secara terbuka dari salah seorang mujahidnya. Jawaban yang menjadi testament/warisan untuk perkembangan dakwah dan politik Islam selanjutnya. Meskipun sekarang dihadapankan pada zaman yang berbeda tetapi semangat dan konsistensi untuk bersikap lugas dan tegas terhadap setiap kezaliman dan penyimpangan harus tetap disuarakan oleh Persatuan Islam selaku ormas keagamaan yang memang dari awal bertujuan untuk itu, dan M. Isa Anshary seorang ulama dan juga seorang pejuang pernah memberi teladan dalam hal ini.