BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (5): Satu Syair dalam Sinar Pasoendan, Lima Esai dalam Poesaka
Achmad Bassach satu organisasi dengan Semaoen. Dalam beberapa kesempatan propaganda, Achmad Bassach dan Semaoen bertindak sebagai pembicara.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
3 Desember 2021
BandungBergerak.id - Salah satu hasil riset pustaka saya menunjukkan bahwa selain menulis karangan berupa roman Sunda, ternyata Achmad Bassach juga piawai menulis esai baik dalam bahasa Melayu maupun Sunda. Ia juga sempat menganggit syair Melayu dan guguritan Sunda. Dengan kata lain, bisa dikatakan bagi publik Sunda, informasi tersebut terbilang baru. Karena sebelumnya tidak ada yang mengemukakannya.
Berkala apa saja yang memuat karya-karya tulis Achmad Bassach, selain novel? Setelah membaca obituari dalam Keng Po dan Bahagia, saya tahu Achmad Bassach terlibat sebagai penulis dan redaktur pada beberapa media, yaitu Sinar Pasoendan, Padjadjaran, dan Kijahi Djagoer.
Dalam Keng Po dikatakan, “Pada taon 1918 ia mendjadi dienstdoende chef di Padalarang, merangkep djadi medewerker weekblad Sinar Pasoenda di Semarang dan voorzitter VSTP Afdeeling Padalarang. Pada taon 1919 ia mendjadi veste medewerker weekblad Padjadjaran di Bandoeng. Pada taon 1922 ia mendjadi dd chef di Kemajoran, merangkep dengen mendjadi redacteur dari weekblad Djagoer di Mr. Cornelis.”
Saya dapat mengakses Sinar Pasoendan, Padjadjaran, dan Kijahi Djagoer melalui koleksi mikrofilm Perpustakaan Nasional RI selama Maret 2018 hingga Mei 2019. Kebetulan sejak Januari hingga April 2018 saya terlibat dalam projek penyusunan Ensiklopedia Jawa Barat. Demi keperluan penulisan lema-lema ensiklopedia itu, terutama media-media Sunda, saya memesan pindaian mikrofilm dari Perpustakaan Nasional. Alhasil, honorarium penulisan buku itu sebagian saya sisihkan untuk membiayai pemindaian mikrofilm.
Untuk tulisan kali ini, saya lebih memusatkan perhatian pada tulisan-tulisan Achmad Bassach dalam Sinar Pasoendan. Ini semata-mata dilandasi dugaan bahwa Achmad Bassach mula-mula mengumumkan tulisan-tulisannya dalam Sinar Pasoendan dan Poesaka – pengganti nama Sinar Pasoendan – pada tahun 1919.
Dari koleksi mikrofilm Perpustakaan Nasional, saya jadi tahu Achmad Bassach menulis satu syair dalam Sinar Pasoendan dan lima esai dalam Poesaka. Namun, sebelum lebih jauh membahas keenam tulisan itu, saya akan sedikit banyak membahas tentang penerbitan Sinar Pasoendan. Setelah itu, barulah saya akan beralih membahas tulisan-tulisan karya Achmad Bassach.
Pasundan Bergerak
Sinar Pasoendan paling lama yang bisa saya baca adalah edisi No. 8, Tahoen ke 1, Saptoe, 5 April 1919. Dari edisi ini, terbaca keterangan tambahan bagi Sinar Pasoendan yakni sebagai “Soerat kabar minggoean oentoek goenanja antara ra’jat di Hindia, jang berdasar haloean politiek dan akan mentjari keadilan”. Penerbitnya Pasundan Semarang (“dikeloarkan tiap-tiap hari Saptoe oleh Pasoendan-Semarang”).
Para pengelolanya terdiri atas verantwoordelijk redacteur A. Soeriaamidjaja dan directeur & administrateur B. Wiriadinata. Sementara alamat redaksinya di Gang Solitude 13, Semarang (“Segala pekabaran jang akan dimoeat dalam Sinar Pasoendan hendaklah dialamatkan ke pada redactie Sinar Pasoendan Gang Solitude 13”).
Karena disebut-sebut Pasundan Semarang, saya kira maksudnya Paguyuban Pasundan cabang Semarang. Bila demikian halnya, ini bukti ekspansi organisasi Paguyuban Pasundan ke luar Tatar Sunda. Bila merunut sejarahnya, Paguyuban Pasundan didirikan pada 20 Juli 1913 sebagai hasil pertemuan siswa HBS, KWS, dan STOVIA, guru, dan lain-lain di rumah D.K. Ardiwinata di Jalan Paseban, Jakarta Pusat (Edi S. Ekadjati, Kebangkitan Kembali Orang Sunda: Kasus Paguyuban Pasundan 1913-1918, 2004: 38).
Setelah didirikan, Paguyuban Pasundan melebarkan sayapnya di wilayah Jakarta dan berbagai kota di Tatar Sunda. Terbukti, bila akhir September 1913 anggotanya baru berjumlah 60 orang tapi setelah Desember 1913 bertambah menjadi 300 orang. Pada 1915 sudah ada lima cabang Paguyuban Pasundan di Jakarta, Bogor, Cianjur, Bandung, dan Tasikmalaya. Pada 1916, anggotanya sudah berjumlah 790 orang dan pada 1919 memiliki 14 cabang, beberapa ranting, dan anggotanya berjumlah 1.450 orang (Ekadjati, 2004: 66-67).
Selain sebagai hasil propaganda, meningkatnya jumlah anggota Paguyuban Pasundan dimungkinkan karena adanya penerbitan organ atau berkala berbahasa Sunda Papaes Nonoman sejak Februari 1914. Berkala tersebut diisi oleh pengurus, anggota organisasi, orang Sunda lainnya, serta orang non-Sunda (Ekadjati, 2004: 67).
Dari sejarah singkat di atas, saya kira Pasundan Semarang merupakan salah satu dari 14 cabang Paguyuban Pasundan yang berhasil dibentuk orang Sunda di luar wilayahnya pada 1913-1919. Menariknya, cabang Semarang memperlihatkan pandangan politik yang jelas dari tujuan awal pendirian Paguyuban Pasundan, yaitu pentingnya orang Sunda bersatu melalui wadah perkumpulan.
Pandangan pengurus cabang Semarang terbaca dari keterangan Sinar Pasoendan, yakni “jang berdasar haloean politiek dan akan mentjari keadilan”. Mengapa bisa punya pandangan demikian? Saya pikir, ini erat kaitannya dengan posisi Semarang sebagai pusat pergerakan. Menurut Takashi Shiraishi (Zaman Bergerak: radikalisme rakyat di Jawa. 1912-1926, 1997), Sarekat Islam (SI) sudah ada cabangnya di Semarang sejak akhir 1912. Ditambah fakta, sejak 1908, Semarang menjadi markas VSTP (Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel) sebagai serikat buruh kereta bagi pegawai yang bekerja untuk NIS dan SS.
Di bawah pengaruh ideologi kiri Henk Sneevliet, Semaoen yang merupakan aktivis ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) menjadi pemimpin SI Semarang dan VSTP pada 1917. Ia berhasil memimpin sejumlah pemogokan pada 1918 dan memperluas Sl Semarang sehingga menjadi cabang paling kuat dan paling radikal di Hindia. Dengan demikian, Semaoen membawa kita ke zaman mogok di Hindia dan SI Semarang menjadi salah satu pusat pergerakan (Shiraishi, 1997: 119, 140).
Dalam konteks inilah berdirinya Paguyuban Pasundan cabang Semarang. Barangkali kondisinya mirip seperti yang terjadi dengan Paguyuban Pasundan cabang Surabaya di bawah kepemimpinan Bakrie Soeraatmadja. Saya kira, semangat zaman yang menyala-nyala di Semarang turut pula mempengaruhi para pengurus Paguyuban Pasundan cabang Semarang, yang kemudian tercermin dari berkala yang diterbitkannya, Sinar Pasoendan.
Bila dihitung dari edisi yang berhasil saya baca, Sinar Pasoendan diperkirakan terbit pertama kali pada awal Februari 1919. Tetapi sejak 26 April 1919, namanya berubah menjadi Poesaka. Perubahan namanya diumumkan dalam Poesaka No. 11, Tahoen ke 1, Saptoe, 26 April 1919. Di situ antara lain terbaca demikian: “Lain dari itoe harap pembatja mendjadi taoe, bahwa nama Sinar Pasoendan, sekarang kita ganti nama Poesaka, menoeroet adanja soewara jang paling banjak di antaranja pembatja”.
Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (2): Lahir di Palembang dan Besar di Sekitar Tegallega?
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (3): Belajar di Bandung, Mengajar di Cianjur
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (4): Pegawai Jawatan Kereta Api Kolonial
Melepas Pena
Sekarang kita beralih ke tulisan-tulisan Achmad Bassach. Seperti yang sudah saya tulis di muka, ia menulis satu syair dalam Sinar Pasoendan dan lima esai dalam Poesaka.
Selengkapnya ia memuatkan “Sair Goela” dalam Sinar Pasoendan edisi 5 April 1919. Sementara esai-esainya dalam Poesaka adalah “Kromo SS dengan Pembesarnja” (26 April 1919), “Tiada Sangka” (3 Mei 1919), “Regeering Kaum Kapitalist dan Kaum Proletariaat” (31 Mei 1919), “Dubbel Boek” (7 Juni 1919), dan “Satoe Boeat Semoea dan Semoea Boeat Satoe” (14 Juni 1919).
Bila ditilik riwayatnya, saat memuatkan keenam tulisan di atas, Achmad Bassach sedang bekerja sebagai kepala Stasiun Padalarang. Saat itu pun dia sedang menjabat sebagai ketua VSTP Afdeeling Padalarang. Dengan demikian, Achmad Bassach benar-benar satu organisasi dengan Semaoen, karena kemudian saya tahu Achmad Bassach dalam beberapa kesempatan ketika propaganda bertindak sebagai pembicara bersama-sama dengan Semaoen.
Sedangkan titik temu Achmad Bassach dengan pengelola Sinar Pasoendan, bisa jadi karena sama-sama aktif dalam satu organisasi, yaitu VSTP. Dengan dugaan, para pengelola Sinar Pasoendan juga merupakan orang Sunda yang bekerja untuk perusahaan kereta api di Semarang. Namun, terbuka juga kemungkinan, Achmad Bassach dan pengelola Sinar Pasoendan dipertemukan dalam organisasi Paguyuban Pasundan. Dengan konsekuensi, Achmad Bassach juga merupakan anggota organisasi tersebut.
Betapapun. Sekarang marilah kita lihat lebih dekat tulisan-tulisan Achmad Bassach dalam Sinar Pasoendan dan Poesaka. Dalam “Sair Goela”, ia menggambarkan sekaligus memprotes mengenai “besar betoel pengaroeh goela” terhadap kehidupan rakyat kebanyakan, terutama kaum buruh. Itu sebabnya di antara sepuluh bait syairnya itu, ia mengajak kaum pergerakan untuk “ichtiar melepas pena” dan di bait terakhir mengajak, “O! Soudara kaum boeroeh sedjati//kamoe kantjingkan ini sair di hati/ja’ni goena membela ra’jat jang hampir mati//angkatilah deradjat moe djangan menanti-nanti”.
Syair Achmad Bassach mengingatkan saya pada syair-syair Mas Marco, pegawai perusahaan kereta api swasta NIS dan aktivis SI Semarang. Ia antara lain menulis syair “Sama Rata Sama Rasa” dan “Tabeat Apakah?” yang kemudian dimuat dalam Sair Rempah-rempah (1918). Kita tahu, akibat menulis syair tersebut, Mas Marco sempat dipenjara oleh pemerintah kolonial (Shiraishi, 1997).
Dari situ, saya menduga karya-karya Mas Marco menjadi “role model” bagi “Sair Goela” yang ditulis oleh Achmad Bassach. Apalagi mengingat di masa-masa selanjutnya, antara Marco dan Achmad Bassach terjalin kemitraan melalui media dan ideologi, bahkan menjadi propagandis dalam kegiatan yang sama. Itulah yang menyebabkan syair, bahkan esai-esai seluruhnya, yang ditulis Achmad Bassach berisi kritik terhadap kejadian dan tindakan kaum kapitalis, pemerintah kolonial, para pejabat, yang menyebabkan kesengsaraan kepada masyarakat pribumi.
Memutarkan Pena
Tulisan pertama Achmad Bassach dalam Poesaka ditulis dengan menggunakan inisial AB, “Kromo SS dengan Pembesarnja” (26 April 1919). Tulisan ini berkaitan dengan pekerjaannya sebagai buruh kereta api sekaligus organisasi buruh yang diikutinya, VSTP. Di dalamnya, Achmad Bassach menggambarkan terjepitnya keadaan buruh kereta api.
Dalam paragraf ketiga digambarkannya demikian: “Djikalau kita pandang, maka kromolah jang selaloe membating diri dengan tiada memikirkan tentang keringat dan bersoesah pajah. Maka lain dari pada bersoesah pajah kromo SS haroes senantiasa berhati-hati, goena membela dirinja agar soepaja didjaohkan dari segala hoekoeman jang menimpah padanja”.
Achmad Bassach juga menunjukkan ketidakadilan yang diterima buruh kereta api. Katanya, “Dijakalau sekiranja soeatoe pegawai kromo jang telah hampir mendapat pensioen, maka dengan sigra dipindahkan di hawa jang panas, agar soepaja si kromo itoe mendapat adjalnja dan SS ta’ oesah memberi pensioen. Bininja mendapat apa? Ja mendapat pensioen tiga poeloeh hari didalam satoe boelan”.
Kepada yang dikatakan hendak membela kaum buruh, Achmad Bassach mengajak, “Lihatkanlah daja oepaja toean, goena memperbaiki kromo2 SS. Djangan melainkan woorden sadja, akan tetapi haroes met daden”.
Dalam “Tiada Sangka” (3 Mei 1919), Achmad Bassach menulis obituari R. Alibasah Soeriaamidjaja, redaktur Sinar Pasoendan, yang meninggal dalam usia 26 tahun, pada 14 April 1919. Namun, yang menarik bagi saya adalah pencantuman kalimat berbahasa Arab dalam tulisan itu. Paragraf selengkapnya sebagai berikut: “Adoeh haij! Patahlah hati kami, bahwa djoengdjoengan kita telah meninggal doenia. Kami mengoetjapkan Innalillahi wainnaillaihi rodjioen. Allah hoemma barikli vilmaoti wafimma ba’dal maot”.
Atas pencantuman doa kematian itu, saya jadi menduga tentang kuatnya latar belakang pendidikan Islam bagi Achmad Bassach. Brangkali semasa kecil dia mendapatkan pendidikan Islam di madrasah-madrasah di sekitar tempat tinggalnya di Bandung atau ayahnya sendirilah yang mengajarkannya demikian. Mengingat ayahnya seorang penulis, yang antara lain menulis buku yang berkaitan dengan nama kearab-araban. Barangkali pencantuman doa itu juga dapat menjadi isyarat bagi kedekatan Achmad Bassach dengan kalangan ulama Persatuan Islam (Persis) di Bandung, menjelang kematiannya, pada 1929.
Tulisan “Regeering Kaum Kapitalist dan Kaum Proletariaat” (31 Mei 1919), juga memperkuat keislaman Achmad Bassach. Di akhir tulisannya, ia menulis “Apakah ini raad tiada nanti mendjadi tjing tjong raad? Wallahoe alam.” Pencantuman kata “wallahoe alam” secara implisit memperlihatkan pandangan penulisnya yang mendasarkan diri kepada sesuatu yang maha kuasa dan maha mengetahui, yang disebut Allah. Ini saya pikir sangat memperlihatkan sikap keislaman Achmad Bassach.
Dalam “Dubbel Boek” (7 Juni 1919), Achmad Bassach menawarkan konsep belajar sepanjang hayat yang juga digarisbawahi dalam Islam. Dalam paragraf kedua tulisannya, ia menyatakan “Maskipoen kita telah meliwati waktoe goena mentjaharinja, hendaklah kita dengan hati sabar dan loeroes, akan mentjahari pangatahoean jang belom dapati. Menschen is niet te oud om te leeren. – Tentag segala pengatahoean, jang kita telah dapati, itoelah tiada mendjadikan keberatan bagai kita, maski menjeberang laoetan sekalipoen”.
Meskipun sebenarnya inti dari tulisan yang disampaikannya adalah mengenai pentingnya akuntansi bagi tata niaga. Konon kata Achmad Bassach, “Itoelah sewatoe kewadjiban jang haroes diketahoei oleh soudagar2 (berladang), seoleh-oleh damarnja (penerangan) bagi achli berladang”.
Tulisan terakir Achmad Bassach dalam Poesaka yang berhasil saya baca adalah “Satoe Boeat Semoea dan Semoea Boeat Satoe” (14 Juni 1919). Di sini, dia menanggapi kongres besar Perkoempoelan Pegawai Pegadaian Boemipoetra (PPPB) di Bandung pada 10-11 dan 13 Mei 1919, yang dikaitkannya dengan turut campurnya Semaoen dari VSTP, sekaligus menyerang Perkoempoelan Goeroe-goeroe Hindia Belanda (PGHB) yang tidak mau seia sekata dalam pergerakan.
Padahal yang menjadi cita-cita Achmad Bassach adalah “memoetarkan pena; maka alangkah sentausanja pergerakan itoe, djikalau dibantoe oleh sekelian perkoempoelan boemipoetra jang berhoeboeng dengan mendjadi werknemer. Maka angan-angan inipoen telah terbajang, dari itoelah mendjadikan moentjoelnja vakcentrale. Maka vakcentrale ini jang akan berdjaja oepaja, agar soepaja sekelianja perkoempoelan di Hindia kita, bisa berdjabatan tangan ...”
Itu sebabnya, esai tersebut diberi tajuk “Satoe Boeat Semoea dan Semoea Boeat Satoe” yang tentu saja sebangun dengan judul syair Mas Marco, “Sama Rata Sama Rasa”.