• Kolom
  • BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (4): Pegawai Jawatan Kereta Api Kolonial

BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (4): Pegawai Jawatan Kereta Api Kolonial

Achmad Bassach masuk menjadi anggota serikat buruh kereta api VSTP sejak bekerja di Stasiun Cibeber pada 1917. Dari situ, semangat perlawanannya terus tumbuh.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Henk Sneevliet pada 1920. Sejak Oktober 1913, atas pengaruh Sneevliet, VSTP mulai merekrut anggota dari kalangan pribumi. (Sumber: nationaalarchief.nl)

26 November 2021


BandungBergerak.idBagaimana riwayat kerja Achmad Bassach selama menjadi pegawai jawatan kereta api Hindia Belanda? Jabatan apa saja yang pernah diraihnya? Kapan dan di mana Achmad Bassach pernah ditempatkan? Kemudian, apa saja aktivitas di luar pekerjaan utamanya sebagai buruh kereta api?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak akan terjawab bila kita bersandar pada data-data yang ada selama ini. Terutama dari keterangan yang dikumpulkan oleh Tini Kartini dan kawan-kawan (1979). Namun, saya beruntung mendapatkan ringkasan karier Achmad Bassach itu dalam obituari yang ditulis S dalam Keng Po tahun 1929.

Secara ringkas, S menulis: “Pada taon 1917 ia telah loeloes dari opleiding school S.S. dan dipindaken di Tjibeber Tjiandjoer. Pada taon 1918 ia mendjadi dienstdoende chef di Padalarang, merangkep djadi medewerker weekblad Sinar Pasoenda di Semarang dan voorzitter VSTP Afdeeling Padalarang. Pada taon 1919 ia mendjadi veste medewerker weekblad Padjadjaran di Bandoeng. Pada taon 1922 ia mendjadi dd chef di Kemajoran, merangkep dengen mendjadi redacteur dari weekblad Djagoer di Mr. Cornelis. Pada boelan Mei 1923 ia dikeloearken dari S.S., dengen mendapet titel merah dan kombali ka Bandoeng.”

Dari tulisan S di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa Achmad Bassach bekerja di jawatan kereta api Hindia Belanda antara 1917 hingga 1923. Selama enam tahun bekerja, dia sempat ditempatkan di Stasiun Cibeber (Cianjur), sebagai kepala Stasiun Padalarang (1918), dan kepala Stasiun Kemayoran (1922).

Di luar pekerjaan utamanya, Achmad Bassach aktif menulis dan menjadi redaktur beberapa berkala, yakni Sinar Pasoendan, Padjadjaran, dan Kijahi Djagoer.  Setelah dipecat, ia tercatat menjadi redaktur Soerapati di Bandung. Selain itu, Achmad Bassach turut terlibat dalam perhimpunan buruh kereta api,Vereeniging voor Spoor - en Tramwegpersoneel (VSTP). Setelah dipecat juga, ia menjadi ketua SI Merah Bandung dan Sarekat Rakyat Bandung.

Untuk aktivitas kepenulisan Achmad Bassach di lapangan jurnalistik, saya akan membuat tulisannya tersendiri. Demikian pula pascapemecatannya sebagai pegawai jawatan kereta api kolonial. Dalam tulisan kali ini, saya akan membuat tinjauan yang berkaitan dengan keterlibatan pribumi sebagai pegawai jawatan kereta api dan berdiri serta berkembangnya VSTP.

Dengan membuat tinjauan ini, saya hendak menempatkan Achmad Bassach pada konteks yang lebih luas, yaitu dalam kerangka pergerakan nasional. Sehingga ia tidak hanya melulu berkaitan dengan sejarah sastra Sunda sebagaimana yang sama-sama kita baca selama ini. Karena, ternyata, ia bertaut dengan semangat zaman yang oleh Takashi Shiraishi disebut sebagai “an age in motion” atau Zaman Bergerak yang melingkupi masa antara 1912-1926.

Pegawai Pribumi

Ihwal keterlibatan pribumi sebagai pegawai jawatan kereta api Hindia Belanda belum ada yang mengulasnya secara khusus. Oleh karena itu, saya akan melakukan penelusuran dari koran-koran lama berbahasa Belanda. Dari koran-koran tersebut, saya akan berusaha melihat apa yang sebenarnya terjadi pada Achmad Bassach.

Dari rekaman koran, paling tidak untuk konteks pembangunan stasiun, halte, dan stopplaats kereta api di Bandung Raya antara 1884 hingga 1899, saya mendapatkan kesan kalangan pribumi sudah dilibatkan sejak awal sebagai pegawai. Meskipun berjabatan rendah, tetapi lama kelamaan ada yang ditempatkan sebagai kepala halte dan stasiun.

Contoh-contohnya dapat dilihat pada pegawai di Stasiun Cimahi dan Stasiun Gedebage. Di Stasiun Cimahi, Oedjoeng (Ujang?) diangkat sebagai kerani pribumi kelas satu (BN, 17 Agustus 1889; dan Java-bode, JB, 19 Agustus 1889), kerani stasiun kelas tiga Abdoel (De Locomotief, DL, 16 Desember 1890), dan kerani kelas tiga Kartosoediro (JB, 29 Juni 1894).

Selanjutnya, paling tidak sejak 1889, tercatat ada pribumi yang bekerja di Stasiun Gedebage. Dalam JB (19 Agustus 1889) disebut-sebut Ganda Winata sebagai kerani pribumi kelas satu. Tiga tahun kemudian, dengan jabatan sebagai kerani pribumi kelas tiga, Ganda Winata dilepas dari pekerjaannya (DL, dan Soerabaijasch Handelsblad, SH, edisi 8 November 1892). Pada 1893, yang menjadi kerani pribumi kelas tiga, sekaligus kepala Stasiun Gedebage adalah Wiriaatmadja (DL, 26 Oktober 1893). Dalam AID edisi 8 April 1908, yang tercatat sebagai kepala Stasiun Gedebage adalah Prawirodimedjo, yang lalu bertukar posisi dengan Mas Sastradiwiria dari Stasiun Rengasbandung.

Lalu bagaimana mekanisme penerimaan pegawai dari kalangan pribumi? Dari riwayat singkat Achmad Bassach di atas jelas pribumi yang hendak melamar kerja di jawatan kereta api harus melalui ujian masuk. Dan dari himpunan koran lama, saya mengetahui bahwa ujian-ujian di jawatan kereta api itu dilakukan secara bertahap. Maksudnya, selain ujian masuk, setelah bekerja mereka pun berkali-kali harus melewati ujian bila hendak naik jabatan.

Berikut tiga contoh dari legenda sepak bola Bandung yang bekerja di jawatan kereta api: W.L. Kuik (1878-1958) atau Wim Kuik mengikuti ujian pada 1911. Dalam AID (29 April 1911) diberitakan dia mengikuti ujian jenis B yaitu untuk yang sebelumnya berpangkat komis. Ujian tersebut diselenggarakan oleh jawatan kereta api bagian jalur barat (westerlijnen) di Bandung. Barangkali karena lulus ujian, Wim diangkat menjadi komis (Bataviaasch nieuwsblad selanjutnya BN, 30 Agustus 1911).

F.A. Kessler (1889-1941) yang akrab disapa Teddy Kessler atau Patje Kessler setelah berhenti sebagai pegawai Jawatan Pos, Telegraf, dan Telepon (PTT) pindah ke jawatan kereta api. Ini antara lain terbukti dari keterlibatanya saat mengikuti ujian B yang diperuntukkan untuk komis. Bersama-sama dengan  A.L.E. Ruzette, R. Naradinata, E.F.Th. Enke, dan lain-lain, Teddy dinyatakan lulus ujian (AID, 2 Mei 1914).

Demikian pula dengan Nicolaas Vink (lahir 1890). Dari AID (28 Juni 1904) saya tahu dia ikut ujian masuk pegawai negeri bergolongan rendah (klein-ambtenaarsexamen), pada 27 Juni 1904. Ternyata lembaga yang ditujunya adalah jawatan kereta api. Mula-mula posisinya di kantor kontrol kereta api, sebagai kerani bagian administrasi di Bandung (AID, 23 April 1907). Untuk meningkatkan posisinya, pada keempat April 1913, Vink mengikuti ujian ilmu pengetahuan umum (AID, 22 April 1913).

Bila melihat berita Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, HNDNI (4 Januari 1910), ujian-ujian di jawatan kereta api (De S. S. Examens) itu terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu Examen A (Surnumerair), Examen B (commies, komis), Examen C (halte chef, kepala halte), Examen D (machinist, masinis), Examen E (onderopzichter weg en werken, pengawas jalan dan pekerjaan berpangkat rendah), Examen I (opzichter weg en werken, pengawas jalan dan pekerjaan), dan ujian-ujian dalam bidang bahasa.

Menariknya, salah satu bahasa yang wajib dikuasai dan syarat lulus ujian di jawatan kereta api adalah bahasa Sunda (Soendaasch). Dalam konteks HNDNI di atas, yang dinyatakan lulus ujian bahasa Sunda adalah J.A. Brouwer dan J. Huijsmans. Bagi saya, fakta ini menegaskan di masa kolonial, bahasa daerah sangat penting dikuasai oleh orang-orang asing atau Belanda kala harus bekerja di bidang yang akan sangat banyak berhubungan dengan pribumi.

Sebagai persiapan menempuh ujian masuk dan lain-lainnya di jawatan kereta api, di Bandung sudah ada lembaga penyelenggara kursus pelajaran dan bahasa antara 1902-1909. Sebagaimana yang sudah saya tuliskan sebelumnya, di antara yang menyelenggarakan kursus-kursus tersebut antara lain Loge St. Jan dan P.W. Van Schendel & E.J. Schrofer. Salah satu yang dilakukan C.J. van Haastert melalui Loge St. Jan adalah menyelenggarakan “Cursus voor uitgebreid Lager- en Technisch onderwijs” (kursus komprehensif untuk pendidikan dasar dan kejuruan) dan kursus untuk persiapan ujian “Opzichter en Machinist bij de S.S. en het Klein-ambtenaarsexamen” (pengawas dan masinis di jawatan kereta api dan pejabat rendah).

Walhasil, saya kira, demikianlah mekanisme yang diambil oleh Achmad Bassach ketika memutuskan untuk berhenti sebagai guru sekolah dasar di Cianjur dan masuk ke jawatan kereta api. Ia diterima sebagai pegawai jawatan kereta api, yang barangkali dengan jabatan kerani, di Stasiun Cibeber, yang termasuk juga ke daerah Cianjur. Selanjutnya, ia menempuh Examen C, saat hendak menjadi kepala halte atau stasiun.

Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (1): Menemukan Jejak Joehana
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (2): Lahir di Palembang dan Besar di Sekitar Tegallega?
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (3): Belajar di Bandung, Mengajar di Cianjur

Stasiun Padalarang yang sedang dibangun selama pembuatan jalur Padalarang-Karawang. Pada 1918, Achmad Bassach diangkat menjadi kepala Stasiun Padalarang. (Sumber: TM-60052210, collectie.wereldculturen.nl)
Stasiun Padalarang yang sedang dibangun selama pembuatan jalur Padalarang-Karawang. Pada 1918, Achmad Bassach diangkat menjadi kepala Stasiun Padalarang. (Sumber: TM-60052210, collectie.wereldculturen.nl)

Perhimpunan Buruh Kereta Api

Sebagai bekas guru yang lalu menjadi buruh kereta api, saya pikir, Achmad Bassach menyerap dan terlibat di dalam semangat zaman yang berkembang pada awal abad ke-20 di kalangan orang pribumi. Itulah yang disebut sebagai gerakan rakyat oleh Takashi Shiraishi (An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926, 1990: xi dan Zaman Bergerak: Radikalisme Jawa, 1912-1926, 1997: xi).

Shiraishi bilang, “Gerakan rakyat yang tampil dalam bentuk-bentuk seperti surat kabar dan jurnal, rapat dan pertemuan, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian, teater, dan pemberontakan, merupakan fenomena yang paling mencolok bagi orang Belanda untuk melihat kebangkitan ‘bumiputra’ pada awal abad XX” (1990: xi dan 1997: xi).

Dari berbagai bentuk gerakan di atas, Achmad Bassach terjun dalam penulisan dan pengelolaan surat kabar, memimpin dan mengikuti rapat, menjadi anggota serikat buruh dan turut pemogokan. Semangat-semangat gerakan tersebut kemudian bahkan masih membayang dalam karya-karya novelnya yang berbahasa Sunda, meski dia sendiri tidak aktif lagi dalam serikat buruh dan organisasi lainnya.

Oleh karena itu, seperti yang ditulis oleh S dalam obituari Achmad Bassach, pembahasan mengenai Achmad Bassach pasti tidak akan terlepas dari eksistensi serikat buruh kereta api, VSTP. Untuk itulah, saya akan menggunakan tulisan John Ingleson (“Bound Hand and Foot: Railway Workers and the 1923 Strike in Java”, dalam Indonesia vol. 31, April 1972, hal. 53-62), Shiraishi dan Ruth T. McVey (The Rise of Indonesian Communism, 2006) untuk memperluas cakupan tulisan ini.

VSTP merupakan salah satu serikat buruh tertua di Hindia Belanda. Perhimpunan ini didirikan di Semarang pada 14 November 1908 oleh 63 orang pegawai kereta api swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), Semarang-Joana Maatschappij Stoomtram (SJS), dan Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS). Gagasan pendirian VSTP mengikuti Staatsspoor Bond (serikat buruh kereta api negara) yang didirikan pada 1905.

Seperti Staatsspoor Bond, VSTP mulanya didominasi pegawai bangsa Eropa. Oleh karena itu, sejak 1910-an, kalangan pribumi pun mendirikan organisasi sejenis. Namun, karena pengaruh Henk Sneevliet (1883-1942), sejak Oktober 1913, VSTP mulai merekrut anggota dari kalangan pribumi. Bahkan pada rapat umum Februari 1914, VSTP sepakat untuk memberikan tiga dari tujuh posisi pengurus pusat VSTP kepada pribumi. Inilah yang akhirnya menyebabkan perhimpunan itu dikuasai pribumi.

Buktinya, pada akhir 1913, anggota VSTP berjumlah 1.242 orang yang terdiri atas 673 orang Eropa dan 569 orang pribumi. Namun, menjelang Januari 1915, jumlahnya membengkak menjadi 2.292 orang, dengan jumlah anggota pribumi sebanyak 1.439 orang. Ini juga disebabkan oleh perluasan jangkauan organisasinya, yang tidak hanya di Semarang, melainkan ke daerah-daerah lainnya sejak 1914. Ditambah dengan tidak hanya pegawai kereta swasta, tetapi melibatkan para pegawai kereta api negara. Itu sebabnya menjelang 1918, setengah anggota VSTP adalah pegawai kereta api negara.       

Menurut Ingleson, akibat memberikan posisi eksekutif kepada pribumi, menyebabkan terjadinya eksodus pegawai Eropa dari VSTP, terutama pada 1917. Karena nampak corak perlawanan organisasi itu terhadap kebijakan perusahaan kereta api tempat mereka bekerja. Itu sebabnya pada 1920, dari 6.494 anggota VSTP, orang Eropanya tinggal 236 orang saja.        

Dengan mulai mendominasinya pribumi, pada 1915, VSTP menerbitkan berkala Si Tetap, dengan pemimpin redaksi Muhamad Jusuf, kerani SJS dan salah seorang pendiri Sarekat Islam (SI) Cabang Semarang. Dia dan Semaoen, anggota SI Cabang Surabaya dan VSTP Cabang Surabaya, diangkat menjadi anggota dewan eksekutif VSTP di cabangnya masing-masing pada 1915. Pada 1 Juli 1916, Semaoen mengundurkan diri sebagai pegawai kereta api di Surabaya, menjadi propagandis VSTP secara penuh, dan menjadi editor Si Tetap.

Dengan propaganda Semaoen, jumlah cabang VSTP meningkat. Pada 1920, sudah ada 93 cabang VSTP di seantero Jawa. Cabang paling besar ada di antara Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Madiun. Kerena pada daerah-daerah tersebut perusahaan kereta apinya banyak. Sementara daerah barat Jawa yang banyak dikuasai perusahaan negara, cabang VSTP relatif kecil, berpusat di Batavia dan Bandung. Cabang-cabang lainnya yang lebih kecil ada di Pesisir Barat Sumatra dan perkebunan Deli.

Dalam kerangka inilah, bisa jadi, Achmad Bassach sudah masuk menjadi anggota VSTP sejak bekerja di Stasiun Cibeber pada 1917. Sudah pasti dengan modal kecakapannya berorganisasi, akhirnya pada 1918, saat dipindahkan sebagai kepala Stasiun Padalarang, Achmad Bassach terpilih menjadi ketua cabang VSTP di situ. Semangat perlawanan VSTP terus dibawanya serta saat dia diangkat menjadi kepala Stasiun Kemayoran pada 1922. Semangat ini akan terlihat nanti saat saya membahas esai-esai yang ditulis Achmad Bassach dalam Sinar Pasoendan, Padjadjaran, dan Kijahi Djagoer.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//