BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (3): Belajar di Bandung, Mengajar di Cianjur
Bila menilik sejarah MULO di atas, saya pikir Achmad Bassach tidak mungkin lulusan MULO seperti yang dinyatakan oleh Tini Kartini, dkk., dan Ensiklopedi Sunda.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
19 November 2021
BandungBergerak.id - Bagaimana Achmad Bassach menempuh pendidikan? Pada data yang ada selama ini terbaca, ia lulusan MULO di Bandung. Data tersebut, nampaknya mula-mula dituliskan dalam buku yang disusun oleh Tini Kartini, dkk., Yuhana, Sastrawan Sunda (1979: 4). Di situ tertulis begini: “Yuhana menyelesaikan pendidikannya di Mulo”.
Data itu kemudian tersalin pada banyak buku yang terbit setelahnya. Di antaranya dalam Ensiklopedi Sunda (2000: 708). Di situ dibilang, Achmad Bassach “Mendapat pendidikan sampai MULO”.
Lalu bagaimana keterangan yang disampaikan S dalam obituari Achmad Bassach yang bertajuk “’Johana’ alias Toean Achmad Bassach Meninggal Doenia” (Keng Po, 13 Mei 1929)? Ternyata fakta yang disodorkannya berbeda dari keterangan Tini Kartini, dkk. serta Ensiklopedi Sunda. Karena menurut S, “Toean Achmad Bassach hanja keloearan sekolah rendah Boemipoetra, doeloe soeda sering ambil les bahasa Blanda dan Inggris”.
Membaca fakta tersebut, tentu saja menarik. Karena keterangannya berbeda dengan data yang diketahui selama ini, bahkan ditambah dengan kenyataan Achmad Bassach sempat mengambil kursus bahasa Belanda dan Inggris di Bandung paling tidak pada awal abad ke-20.
Dalam tulisan ini, saya akan memperkaya keterangan baik yang disampaikan Tini Kartini, dkk. maupun “data baru” dari S pada 1929. Saya juga akan mencoba mencari kemungkinan pertautan antara pendidikan yang ditempuh Achmad Bassach dengan pekerjaan pertamanya. Karena dari S saya mendapatkan “data baru lagi” yang berbeda dengan data selama ini. Konon, Achmad Bassach, “Pada taon 1911 ia loeloes boeat examen onderwijzer volkschool, ditempatkan di Tjiandjoer. Dari sana ia keloear, dan masoek S.S. Pada taon 1917 ia telah loeloes dari opleiding school S.S. dan dipindahken di Tjibeber Tjiandjoer”.
Sementara sebelumnya disebutkan, “Diperoleh keterangan bahwa sebelum terjun ke dunia kepengarangan, Yuhana bekerja di Jawatan Kereta Api” (Tini Kartini, dkk., 1979: 5) dan “kemudian bekerja di lingkungan perusahaan kereta api di Padalarang” (Ensiklopedi Sunda, 2000: 708). Alhasil, bila merujuk keterangan S, sebelum menjadi pegawai jawatan kereta api, Achmad Bassach sempat bekerja menjadi guru sekolah dasar di Cianjur, paling tidak, antara 1911 hingga 1917.
Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (1): Menemukan Jejak Joehana
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (2): Lahir di Palembang dan Besar di Sekitar Tegallega?
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (15): Stasiun Haurpugur
Sekolah untuk Bumiputra
Perkembangan sekolah bagi bumiputra di Bandung pada awal abad ke-20 sebagai konteks masa ketika Achmad Bassach belajar antara lain dapat dibaca dari “Perluasan Pendidikan bagi Penduduk Pribumi Indonesia, 1900-1930” (1996) karya Awaludin Nugraha, dkk., Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (1998) oleh Edi S. Ekajati, dkk., dan Perubahan Sosial Kota Bandung, 1810-1906 (2002) karya A. Sobana Hardjasaputra.
Dari ketiga sumber itu, saya jadi tahu antara akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengadakan perbaikan pendidikan untuk kalangan bumiputra. Setelah pendidikan umum dibuka pertama kali pada 1848, pada 1892 pendidikan dasar untuk kalangan pribumi dipecah menjadi dua, yaitu sekolah kelas satu (eerste klasse school atau Inlandsche School der I ste klasse) untuk masyarakat kelas atas dan sekolah kelas dua (tweede klasse school) untuk kelas bawah. Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial memperluas pendidikan untuk kalangan bumiputra.
Sekolah kelas satu didirikan sejak terbitnya keputusan raja Belanda pada 28 September 1892 dan dimuat dalam Staatsblad 1893 nomor 125, dengan tempat pendidikan di ibu kota karesidenan, kabupaten dan kota-kota. Lama belajarnya mula-mula lima tahun, tetapi setelah bahasa Belanda diajarkan pada 1907 menjadi enam tahun, dan pada 1912 menjadi tujuh tahun. Pada 1914, ada sekolah kelas satu yang diganti namanya menjadi HIS (Hollands Inlandsche School). Lulusannya dapat melanjutkan ke MULO.
Sekolah kelas dua atau sekolah bumiputra kelas dua merupakan salah satu sekolah dasar untuk pribumi kelas bawah, selain sekolah desa (Volskchool), sekolah lanjutan (Vervolgschool) dan sekolah peralihan (Schakelschool). Sekolah kelas dua didirikan di distrik-distrik atau kewedanaan, sehingga dikenal sebagai sekolah distrik. Masa belajarnya tiga tahun dengan pengantar bahasa daerah.
Sekolah desa didirikan pada 1907, dengan biaya pendidikannya dibebankan kepada desa dan baru tahun 1920, diberikan subsidi oleh pemerintah kolonial. Lama belajarnya tiga tahun dan pengantarnya bahasa daerah. Sekolah sambungan didirikan pada 1914 untuk lanjutan lulusan sekolah desa. Lama belajarnya selama dua tahun. Sekolah peralihan mulai ada di Bandung pada 1921. Baik lulusan sekolah kelas dua atau sekolah desa dapat melanjutkan ke sekolah ini dengan masa belajar lima tahun dan berpengantar bahasa Belanda.
Bila dikaitkan dengan keterangan S yang menyebutkan Achmad Bassach “keloearan sekolah rendah Boemipoetra” dapat disimpulkan bahwa dia menempuh pendidikan sekolah kelas dua dengan masa belajar selama tiga tahun. Di mana gerangan dia sekolah? Saya dapat membuat ancar-ancar, yaitu di sekitar distrik yang melingkupi wilayah Tegallega dan sekitarnya.
Pendidikan lanjutan untuk pribumi mulai diadakan pada 1914, yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan AMS (Algemeene Middelbare School). Semula MULO adalah kursus lanjutan untuk lulusan ELS dan mulai dibuka di Bandung pada 1903, kemudian pada 1914 MULO menjadi mandiri, dengan masa belajar empat tahun. Muridnya lulusan dari ELS, HCS, HIS, MULO dan sekolah peralihan. Di Bandung didirikan AMS Westersch Klassiek Afdeling (AMS A-II) pada 1920. Lama belajarnya tiga tahun dan dipersiapkan bagi yang hendak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Bila menilik sejarah MULO di atas, saya pikir Achmad Bassach tidak mungkin lulusan MULO seperti yang dinyatakan oleh Tini Kartini, dkk., dan Ensiklopedi Sunda. Pertama, karena Achmad Bassach bukan dari kalangan Eropa, Indo dan bangsawan tinggi, sehingga tidak mungkin dapat masuk ke ELS dan melanjutkan ke kursus MULO. Seandainya pun turut kursus MULO, usia Achmad Bassach pada 1903, saat kursus tersebut dibuka, masih terbilang sangat muda. Kedua, bila memang masuk MULO berarti dia sudah terlalu tua untuk menjadi muridnya. Karena pada 1914, bila ancar-ancar kelahiran Achmad Bassach pada 1894, berarti sudah berumur 20 tahun dan tidak masuk akal masuk MULO.
Jenis sekolah lainnya yang relevan dengan pembahasan pendidikan Achmad Bassach adalah pendidikan kejuruan, terutama sekolah guru. Jenis-jenis sekolah guru bagi kalangan pribumi ada CVO (Cursus Volks Onderwijzer), NS (Normaalschool) yang mulai didirikan pada 1914, KS (Kweekschool) yang sudah ada di Bandung pada 1866, HKS (Hogere Kweekschool) sejak 1914 dan ditutup pada 1932, dan HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool) yang didirikan pada 1927 sebagai pembaruan dari HKS.
Dari jenis-jenis sekolah guru di atas yang saya kira cocok bagi Achmad Basach kala menempuh pendidikan guru adalah CVO. Karena sekolah ini merupakan kursus yang murid-muridnya berasal dari sekolah kelas dua dan sekolah lanjutan. Lama belajarnya selama dua tahun, dengan bahasa pengantar bahasa daerah. Lulusannya dapat mengajar di sekolah desa.
Uraian tersebut cocok dengan keterangan yang disampaikan oleh S bahwa setelah selesai menempuh sekolah rendah bumiputra, Achmad Bassach “Pada taon 1911 ia loeloes boeat examen onderwijzer volkschool”. Ini mengandung arti Achmad Bassach sudah lulus CVO pada 1911, sekaligus berarti dia belajar di sekolah tersebut pada masa 1909-1911 dan bila dihitung mundur Achmad Bassach belajar di sekolah kelas dua kira-kira antara 1906-1909.
Kursus Bahasa Belanda dan Inggris
Fakta menarik lainnya dari keterangan S adalah Achmad Bassach sempat mengikuti kursus bahasa Belanda dan Inggris. Saya jadi penasaran untuk mengetahui perkembangan kursus-kursus bahasa asing di Bandung sekitar awal abad ke-20.
Untuk memuaskan rasa ingin tahu, saya membuka-buka koran lawas, terutama dari AID de Preanger-bode antara 1902 hingga 1909. Ternyata, dari hasil penelusuran koran tersebut saya mendapatkan keterangan-keterangan menarik yang membuktikan paling tidak sejak awal abad ke-20, di Bandung sudah ada kursus-kursus bahasa asing untuk persiapan menempuh pendidikan lebih lanjut atau persiapan untuk menempuh ujian masuk ke dunia kerja.
Dalam AID edisi 12 Agustus 1902, Loge St. Jan menyelenggarakan “Cursus der Loge” yang mengetengahkan pelajaran Nederlandsche Taal (bahasa Belanda), Algebra (Aljabar), Fransch (bahasa Prancis), Natuurkunde (ilmu alam), Meetkunde (geometri), Duitsch (bahasa Jerman), Boekhouden (pembukuan, akuntansi), dan Rekenen (berhitung, matematika).
Setahun berikutnya, Loge St. Jan menyelenggarakan “Cursus voor uitgebreid Lager- en Technisch onderwijs” atau kursus komprehensif untuk pendidikan dasar dan kejuruan. Menurut jadwal hasil rapat para pengurus kursus pada 5 Juli 1903, pelajaran-pelajaran yang diberikannya adalah sebagai berikut: Nederlandsche taal, Rechtlijnig teekenen (menggambar langsung), Duitsch, Landmeten en waterpassen (survei dan leveling), Algebra, Engelsch (bahasa Inggris), Bouwkunde (teknik), Stoomwerktuigkunde (teknik uap), Rekenen (aritmetika), Fransch, Meetkunde, Natuur- en Werktuigkunde (rekayasa fisika dan mekanik), Materialen-kennis (pengetahuan material), dan Spoorweg- en Waterbouwkunde (teknik rel kereta api dan hidrolik).
Untuk kursus yang akan dimulai 4 Juli 1904, Loge St. Jan memberikan kursus yang berkaitan dengan Fransch, Engelsch, Duitsch, Boekhouden, Handelsrecht (hukum dagang), Wis- en Natuurkunde dan kursus pendidikan bagi yang hendak menempuh ujian “Opzichter en Machinist bij de S.S. en het Klein-ambtenaarsexamen” (pengawas dan masinis di jawatan kereta api dan pejabat rendah). Dalam berita yang disiarkan AID edisi 28 Mei dan 4 Juni 1904 ini, saya jadi tahu bahwa kepala penyelenggara kursusnya adalah C.J. van Haastert (kepala OSVIA) dan sekretarisnya W. Kok.
Selain C.J. van Haastert melalui Loge St. Jan, P.W. Van Schendel dan E.J. Schrofer menyelenggarakan “Cursus voor moderne talen” (kursus bahasa modern). Menurut AID (6 Januari 1906), mereka hendak membuka kursus bahasa Prancis, Jerman dan Inggris bagi siswa pemula dan lanjut (“voor eerstbeginnenden en voor meergevorderden”). Bayarannya sepuluh gulden per bulan, dengan waktu kursus dua jam setiap minggunya.
Pihak penyelenggara yang beralamat di Merdika Lio-weg No. 2, yang barangkali masih bagian dari upaya Loge St. Jan sepeninggal C.J. van Haastert, juga menyelenggarakan kursus bahasa Inggris dalam tujuh bulan dan pembukuan selama sepuluh bulan (“Engelsch in zeven maanden. Boekhouden in tien maanden”). Bila secara privat, bayarannya sebesar sepuluh gulden per bulan, sementara bila mengikuti kursus sebesar lima gulden per bulan (AID, 22 Mei 1909).
Dengan informasi di atas, saya pikir apa yang disampaikan S dalam obituarinya jadi sangat logis. Setelah tamat sekolah kelas dua dan CVO, bisa jadi Achmad Bassach mengambil kursus bahasa Belanda dan Inggris, dengan keperluan bukan hanya untuk penguasaan bahasanya belaka, melainkan menjadi syarat-syarat yang dituntut oleh pekerjaan yang dilamarnya.
Ini terbukti, misalnya, dengan iklan yang dipasang P. Reichholt, P.W. van Schendel, dan D.v.d. Berg dalam AID edisi 27 Maret 1907. Mereka mengadakan kursus pendidikan bagi yang hendak menempuh ujuan di jawatan kereta api (“cursus ter opleiding voor de verschillende examens bij de S.S.”) sejak 1 Mei 1907. Pelajaran yang diberikannya adalah Nederlandsch, rekenen, aardrijkskunde (ilmu bumi), Fransch, Duitsch, Engelsch dan wiskunde.
Demikianlah, kemungkinan-kemungkinan yang terpikir oleh saya berkaitan dengan pertautan antara pendidikan yang ditempuh Achmad Bassach dengan pekerjaan pertamanya sebagai guru di Cianjur.