• Kolom
  • BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (1): Menemukan Jejak Joehana

BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (1): Menemukan Jejak Joehana

Achmad Bassach, yang lebih dikenal orang dengan nama Joehana, merupakan seorang pengarang sastra Sunda. Banyak pemikiran dan sepak terjangnya belum terungkap.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Potret Achmad Bassach dalam Keng Po edisi 13 Mei 1929. Selama ini gambar yang beredar adalah sketsa wajah yang biasanya dimuat dalam buku-buku karya Achmad Bassach. (Sumber foto: dokumentasi Atep Kurnia)

5 November 2021


BandungBergerak.idPara pembaca buku Sunda umumnya mengenalnya sebagai Joehana, sementara namanya yang asli, Achmad Bassach (AB), malah tidak umum dikenal. Joehana-lah nama yang banyak dikenal orang sebagai seorang pengarang Sunda.

Dalam pembabakan sastra Sunda, oleh M.A. Salmun (Kandaga Kasusastran Sunda, 1958: 142-143) Joehana digolongkan ke dalam kelompok pengarang dari Jaman Sepuh (1909-1929), yaitu pengarang yang mulai menulis sejak didirikannya Commissie voor de Volkslectuur (Balai Pustaka) hingga terbitnya majalah Parahiangan pada 1929 oleh Balai Pustaka.

Oleh Ajip Rosidi (Ngalanglang Kasusastran Sunda, 1983: 30), Joehana dimasukkan ke dalam kategori pengarang yang aktif menulis pada Jaman Kamari, yaitu merujuk kepada masa-masa ketika Tatar Sunda dijajah oleh Mataram, Belanda, Inggris, Belanda, dan Jepang, yang mencakup masa antara tahun 1622 hingga 1945.

Meski karya-karyanya tergolong kepada atau dianggap roman picisan atau bacaan liar yang terbit dalam bahasa Sunda, oleh Ajip (Kesusastran Sunda Dewasa Ini, 1966 dan Ngalanglang Kasusastran Sunda, 1983) Joehana diangkat sebagai salah seorang pengarang serius. Ambivalensi Ajip ini, menurut Teddi Muhtadin (Fungsi Sosial Kritik Sastra Sunda Ajip Rosidi, 2007: 25-26), bisa disebabkan karena Ajip sendiri menganggap karya-karya Joehana mengandung unsur kemodernan atau keinsyafan sesuai dengan konsepsi sastranya:

“Dengan konsep modern seperti pada uraian tersebut Ajp Rosidi dapat menemukan kemodernan dalam plastisitas dangding-dangding HHM yang merupakan produk budaya yang dominan (merupakan kekecualian) dan dalam rajah pantun Lutung Kasarung yang merupakan produk budaya residual. Di samping itu, Ajip pun banyak mengekslusi karya-karya sastra Sunda modern yang hanya memenuhi kriteria sebagai karya pop atau picisan. Namun, AR pun menemukan Yuhana, Caraka dan Moh. Sanusi yang menerbitkan karya-karyanya di luar Balai Pustaka.”

Dengan kata lain, perlakuan Ajip berbeda perlakuannya misalnya terhadap karya-karya Moehamad Satibie, Engka Widjaja, Bakrie Soeraatmadja, dan lain-lain. Perlakuan Ajip terhadap Joehana sama halnya dengan perlakuannya terhadap karya-karya Moh. Sanoesi, terutama roman Siti Rayati, yang juga ditempatkan sebagai pengarang karya sastra daria, bukan sebagai pengarang roman picisan.  Dengan kata lain, baik karya-karya Joehana maupun Sanoesi oleh Ajip dianggap mempunyai nilai sastra.

Karya-karya sastra Sunda, berupa novel, yang ditulis Joehana banyak dinilai mengandung nada-nada protes terhadap keadaan di zamannya. Dengan kata lain, bila dikaitkan dengan wacana pascakolonial, karya-karya Joehana dianggap menggambarkan pemberontakan terhadap situasi kolonialisme. Karya-karyanya yang bernuansa seperti demikian bisa dilihat dari Tjarios Agan Permas, Moegiri, Tjarios Eulis Atjih, dan sebagainya. Oleh karena itu, pada masa yang lebih kemudian, seperti sekarang ini, banyak kalangan yang mengkaji karya-karya sastra Joehana dari sisi-sisi wacana pascakolonialisme.

Belum lagi bila melihat keunikan lainnya. Karena menjelang kematiannya, AB sempat menyundakan karya-karya tulis yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh Persatuan Islam (Persis) di Bandung, antara lain Al-Djawahir (1929) dan Al-Furqan (1929). Apakah ini menandakan bahwa menjelang akhir hayatnya AB lebih condong kepada ideologi Islam ketimbang tetap berteguh memeluk ideologi kiri seperti pada awal tahun 1920-an?

Sangat Jarang Terungkap

Sayang sekali, nama asli Joehana sangat jarang terungkap dan dibicarakan orang. Nama Achmad Bassach hanya selintas-selintas ditulis, kebanyakannya dalam konteks nama lain bagi Joehana. Namun, bagaimana riwayat hidupnya yang relatif lebih luas keterangannya, bisa dibilang sangat sedikit.

Satu-satunya buku yang membahas riwayat hidup AB agak banyak adalah Yuhana (1979) yang disusun oleh Tini Kartini dan kawan-kawan. Di dalam karya tersebut ada beberapa kesalahan fatal menyangkut perikehidupan Achmad Bassach. Misalnya mengenai tahun kematian sang pengarang yang disebutkan 1930. Kesalahan itu kemudian diulang-ulang pada tulisan-tulisan yang mengutip buku tersebut. Misalnya dalam tulisan Ajip Rosidi, Ensiklopedi Sunda, dan sebagainya. Apalagi tentang tanggal kematiannya, tidak ada sama sekali yang memberi informasi.

Kesangsian pada titimangsa penerbitan karya-karya Achmad Bassach pun, saya kira menjadi masalah yang harus diputuskan secara definitif. Mengingat Tini Kartini dan kawan-kawan masih menyisakan tanda tanya pada titimangsa penerbitan beberapa karya Achmad Bassach. Misalnya, roman Eulis Atjih, dan lain-lain. Padahal apabila membuka-buka media-media cetak, baik yang berbahasa Sunda atau Indonesia, khususnya yang terbit di Bandung antara 1925-1929, akan ditemukan titimangsa pastinya.  Ditambah dengan ekranisasi dari karya-karya sastranya ke dalam layar lebar, sepertinya sangat menarik untuk dilakukan pengkajian.

Kemudian dari sisi sepak terjangnya di dunia pergerakan pada 1920-an, keterlibatan Achmad Bassach sepertinya belum juga ada yang melakukan kajian. Tini Kartini hanya selintas-selintas membahasnya. Misalnya di situ disebutkan bahwa sang pengarang pernah aktif dalam Vereeniging voor Spoor - en Tramwegpersoneel (VSTP) dan ikut pemogokan kereta api sehingga dipecat dari pekerjaannya di perusahaan kereta api Hindia Belanda. Tetapi kapan mulai aktif di VSTP, bagaimana aktivitas setelah dipecat, apakah langsung terjun menjadi penulis Sunda setelah dipecat, dan kapan mulai menulis karya sastra Sunda? Pertanyaan-pertanyaan yang merinci sepak terjangnya di dunia pergerakan memang harus digali.

Demikian pula sisi-sisi kehidupan Achmad Bassach yang lainnya, banyak yang masih absen. Ihwal aktivitasnya sebagai penulis esai, baik dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, yang dimuat pada koran-koran yang terbit antara 1919 hingga 1923, sebagaimana yang terbaca dalam koran Sinar Pasoendan, Padjadjaran, dan Kijahi Djagoer, belum pernah ada yang membahasnya.  Padahal, saya pikir, esai-esai, bahkan ada syair berbahasa Indonesia yang ditulisnya, penting sekali untuk dibaca karena dari situ tentu akan terungkap hal-hal apa saja yang terpikirkan oleh Achmad Bassach dan bagaimana cara dia menyikapinya. Dengan kata lain, esai-esai dalam koran tersebut.

Hal-hal yang berkaitan dengan riwayat hidup, sepak terjang di dunia pergerakan, pemikirannya dalam bentuk opini dalam koran, karya-karya sastranya, yang belum atau baru sedikit terungkap yang mendorong saya melakukan penelusuran. Dengan demikian, saya bermaksud mengisi ceruk-ceruk yang kosong pada kajian atas sosok Achmad Bassach.

Tjarios Eulis Atjih (1925-1926) merupakan roman Sunda pertama karya Achmad Bassach. Roman ini sempat difilmkan pada tahun 1927. (Sumber foto: dokumentasi Atep Kurnia)
Tjarios Eulis Atjih (1925-1926) merupakan roman Sunda pertama karya Achmad Bassach. Roman ini sempat difilmkan pada tahun 1927. (Sumber foto: dokumentasi Atep Kurnia)

Mendapatkan Titik Terang

Sebagaimana yang dikemukakan pada awal tulisan, seri tulisan saya ini berusaha untuk menelusuri sebanyak mungkin data yang terkait dengan riwayat hidup, sepak terjang di dalam pergerakan, pemikiran di dalam koran-koran baik yang berbahasa Indonesia maupun Sunda, bersangkutan dengan karya sastranya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan sosok Achmad Bassach.

Soal riwayat hidup sebenarnya bisa dikatakan paling akhir saya “temukan” dari rangkaian penyelidikan saya. Sudah bertahun-tahun saya mencari barangkali ada buku khusus yang membahas mengenai riwayat hidup Achmad Bassach atau Joehana. Setelah membuka-buka koran Sipatahoenan edisi tahun 1929 dan 1930, ternyata sebenarnya pernah ada buku semacam tersebut. Judulnya Boekoe Sadjarah Joehana, yang ditulis oleh Toenggara. Buku ini pernah diiklankan beberapa kali dalam Sipatahoenan. Hanya saja dikatakan buku itu berisi mengenai semacam kumpulan testimoni dari orang-orang yang pernah berkenalan dengan AB.

Sayang, hingga saat ini saya belum pernah menemukan bukti fisiknya. Dan kenyataan tersebut hampir membuat saya patah arang. Tapi ternyata saya tidak kapok. Saya terus menggali, mencari-cari lagi dan menyelidiki lagi, hingga akhirnya terbaca satu potongan berita yang dimuat di dalam Overzicht van de Inlandsche en Maleisch-Chineesche Pers (IPO) no 21 (1929: 219), pada 17 Desember 2018. Di dalam kategori koran-koran yang terbit di Jawa (Nieuwsbladen op Java), redaksi IPO meringkas berita-berita yang dibuat dalam koran berbahasa Indonesia terbitan Semarang, Bahagia, antara 10 hingga 16 Mei 1929.

Di situ disebutkan: “Dit nummer bevat een artikel, houdende eenige mededeelingen uit de “Keng Po omtrent den levensloop van wijlen Achmad Bassach, Soendaneeschen romanschrijver te Bandoeng, in de volksbeweging (Edisi ini berisi mengenai artikel pengumuman dari Keng Po tentang riwayat hidup mendiang Achmad Bassach, penulis roman Sunda di Bandung, dalam pergerakan rakyat).

Mendapatkan titik terang ini membuat semangat saya bangkit kembali. Saya berpikir keras untuk mencari kemungkinan mendapatkan fotokopi atau pindaian koran Keng Po sekaligus Bahagia yang memuat obituari AB. Setelah mencari dalam daftar koleksi mikrofilm media-media lama di Perpustakaan Nasional (OPAC), saya mendapati koleksi tersebut.

Akhirnya setelah memesannya dari petugas Perpustakaan Nasional, pada 26 Desember 2018, saya mendapatkan edisi yang dicari-cari itu. Untuk koran Bahagia dan Keng Po jadinya saya memesan dari edisi 13 hingga 16 Mei 1929. Ternyata obituari AB dimuat dalam Keng Po edisi 13 Mei 1929, dengan judul “’Johana’ alias Toean Achmad Bassach Meninggal Doenia” dan pada Bahagia dimuat pada edisi 15 Mei 1929 dengan judul “Achmad Bassach +”.

Setelah dibaca memang tulisan yang dimuat di Keng Po bisa menjadi kunci dari pintu yang tertutup selama bertahun-tahun lamanya. Dengan demikian, bisa dibilang, sebagian besar riwayat hidup AB yang akan saya cicil disandarkan pada obituari tersebut. Ditambah dengan informasi tentang kematiannya yang secara singkat saya temukan dalam Sipatahoenan dan Parahiangan demi meluruskan fakta bahwa AB tidak meninggal tahun 1930, melainkan tahun 1929. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//