BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (2): Lahir di Palembang dan Besar di Sekitar Tegallega?
Tanggal, bulan, dan tahun kelahiran Achmad Bassach alias Joehana hingga kini masih belum terlacak.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
13 November 2021
BandungBergerak.id - Tahun, apalagi bulan dan tanggal, kelahiran Achmad Bassach hingga kini masih belum terlacak. Dalam Yuhana, Sastrawan Sunda (1979: 4-5), Tini Kartini dan kawan-kawan memberi beberapa dugaan. Pertama, mereka menyatakan, “Tanggal dan tempat lahir Yuhana tidak diketahui secara pasti, tetapi berdasarkan petunjuk yang ada dapat diketahui bahwa pada tahun-tahun 1923-1925 ia sudah disebut sebagai seorang pengarang muda”.
Kedua, mereka menyebutkan “Yuhana menyelesaikan pendidikannya di Mulo. Orang-orang yang pernah mengenalnya dari dekat menduga bahwa ia dilahirkan di Bandung atau, paling tidak, dibesarkan di sudut timur lapangan Tegallega, di pinggir Jalan Ciateul sekarang. Tidak dikabarkan ia pernah pindah ke luar kota Bandung”.
Ketiga, Tini Kartini dan kawan-kawan membuat perkiraan usia saat Achmad Bassach meninggal dunia. Katanya, “Yuhana meninggal pada usia lebih kurang 35 tahun ketika ikut mementaskan gending karesmen yang digubah berdasarkan karangannya sendiri, Kalepatan Putra Dosana Ibu Rama ‘Kesalahan Anak adalah Dosa Ayah Ibu’, di Tasikmalaya. Jenazahnya dimakamkan di Bandung.”
Dengan demikian, ada beberapa hal yang dapat saya catat dari pernyataan Tini Kartini dan kawan-kawan di atas. Yang terang, tempat lahir Achmad Bassach di Bandung, terutama di sekitar Tegallega. Kemudian bila disebutkan dia meninggal ketika berumur 35 tahun, dapat diperkirakan dia lahir sekitar tahun 1894.
Tempat lahirnya di Bandung mendapat konfirmasinya dari keterangan sezaman, sebagaimana yang dapat dibaca dari tulisan S bertajuk “’Johana’ alias Toean Achmad Bassach Meninggal Doenia” (dalam Keng Po edisi 13 Mei 1929). Di situ dikatakan “Ia ada kalahiran Bandoeng dan djoega ajahnja soeda toelis tiga boekoe: Achmad bin Toha, Boeroeng Tjangehgar dan Doea Djin”.
Selain mengonfirmasi keterangan Tini Kartini dan kawan-kawan, S menambahkan fakta bahwa ternyata ayah Achmad Bassasch juga seorang pengarang. Artinya, barangkali sejak kecil dia sudah terbiasa berkutat dengan buku, dengan kertas dan tulisan. Sehingga menjadi modal besar saat Achmad Bassach memutuskan untuk mengandalkan hidup dari jalan menulis.
Selain itu, saya mendapatkan keterangan yang sangat menarik berkaitan dengan identitas Achmad Bassach yang konon justru lahir di Palembang. Namun, sebelum ke sana, saya akan sedikit banyak meninjau keadaan Tegallega sejak abad ke-19 hingga perempat pertama abad ke-20.
Baca Juga: BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (1): Menemukan Jejak Joehana
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (10): Stasiun Cikudapateuh
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (11): Stasiun Kiaracondong
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (12): Stasiun Gedebage
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (13): Stasiun Cimekar
Tegallega hingga Menjelang Akhir Abad ke-19
Menurut R. Memed Sastrahadiprawira (“Petikan tina Sadjarah Kabupaten Bandung”, Parahiangan, IV, No. 2, 14 Djanuari 1932” dalam A. Sobana Hardjasaputra, Perubahan Sosial Kota Bandung, 1810-1906, 2002: 262), Tegallega adalah tanah milik Bupati R.A. Wiranatakusumah IV alias R.T. Soeria Kerta Adhi Ningrat.
Di masa bupati Bandung antara 1846-1874 itulah Preanger Wedloop Societeit (PWS) mulai menggunakan Tegallega sebagai lapangan untuk mengadakan balap kuda. Menurut berita Java-Bode (19 Maret 1853), pada awal 1853, pegawai Eropa dan bupati Priangan mengajukan permohonan untuk membentuk klub pacuan kuda kepada Gubernur Jenderal Mr. A. J. Duymaer van Twist. Menurut laporan Residen Priangan C.P.C. Steinmetz dan E.J. Marten di Cianjur, 4 Maret 1853, di balik pengajuan itu ada cita-cita menyelenggarakan pacuan kuda sebagai sarana hiburan dan keuntungan publik.
Atas persetujuan gubernur jenderal, organisasi itu diberi nama PWS. Susunan pengurusnya antara lain sebagai berikut: C.P.C. Steinmets (presiden), B.B. Crone, B.M.F. Philippeau, Bupati Cianjur R.A.A. Koesoema Ningrat, Bupati Bandung R.T. Soeria Kerta Adhi Ningrat (komisaris), H.A.M. Brumsteede (bendahara), dan E. J. Marten (sekretaris).
Meski didirikan di Cianjur, karena waktu itu ibu kota Priangan masih di sana, Bandung dipilih sebagai salah satu tempat pelaksanaan balapan kuda. Barangkali di balik keputusan tersebut ada peran Bupati Bandung R.T. Soeria Kerta Adhi Ningrat yang berkenan bahkan menawarkan lahannya di selatan pendopo Bandung, sekitar 1,5 kilometer dari Alun-alun Bandung.
PWS mulai menyelenggarakan pacuan kuda di lapangan Tegallega pada hari Jumat dan Sabtu, 13-14 Mei 1853. Sejak saat itu hingga 1899, paling tidak pernah dilakukan 32 kali pacuan kuda yang diselenggarakan PWS, dengan tempat pelaksanaan berganti-ganti antara Cianjur dan Bandung.
Menurut A. Sobana Hardjasaputra (2002: 262), pacuan kuda di lapangan Tegallega merupakan objek wisata yang mengundang ribuan pengunjung datang ke kota Bandung. Di sekeliling lapangan terdapat panggung tempat penonton. Pacuan kuda berlangsung tiap tahun pada akhir bulan Juli sampai awal Agustus, selama tiga hari.
Selain itu, menurut penulis yang sama (2002: 131-132), dengan didirikannya Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK) di Jalan Merdeka menyebabkan “Aktivitas tidak lagi terpusat di sekitar alun-alun, tetapi melebar ke bagian utara. Sementara itu, batas kota sebelah utara yang semula baru sampai ke kediaman asisten residen (gedung bekas loji) dan tempat kira-kira Jalan Suniaraja sekarang, bergeser ke lokasi gedung keresidenan (± 1 kilometer dari alun-alun). Batas sebelah selatan juga telah bergeser ke Tegallega (1,5 kilometer dari alun-alun)”.
Apalagi kemudian di sekitar Tegallega berdiri Hoofdenschool alias OSVIA alias Sakola Menak pada 1879. Menurut A.C. Deenik (Gedenkboek MOSVIA, 1879-1929 ), Hoofdenschool atau sekolah untuk (anak-anak) kepala pribumi didirikan di Bandung berdasarkan keputusan pemerintah nomor 21 tanggal 30 Maret 1878.
Pada 29 Desember 1879, sekolah itu secara resmi dibuka residen Priangan. Malamnya diselenggarakan pesta besar di rumah bupati Bandung. Bangunan sementara Sakola Menak terbuat dari bambu, terletak di Kampung Kandangsapi, selatan Kota Bandung, yatu di sudut Ciateul dan jalan ke Banjaran. Nantinya, akan dipindahkan ke sebelah selatan lapangan pacuan kuda Tegallega, yang masih dikelilingi persawahan. Bangunan baru itu mulai digunakan sejak Februari 1883.
Dengan perkembangan demikian, wajar belaka bila kemudian sejak 1898, Vereeniging tot Nut van Bandoeng en Omstreken menyelenggarakan “Langs Bandoeng’s Straten” atau jalan-jalan di Kota Bandung. Untuk wisata di dalam Kota Bandung saat itu menggunakan sado atau delman. Tegallega termasuk salah satu objek wisatanya, terutama untuk rute pertama yang antara lain melewati Societeit Concordia, Alun-Alun, Kejaksaan Girang, Kaca-kaca Wetan, Jalan Cikawao, Jalan Ciateul, Jalan Langensari, Tegallega dan kembali ke Societeit Concordia (A. Sobana Hardjasaputra, 2002: 261).
Hal-hal itulah yang barangkali bisa menjadi latar belakang perkembangan tempat kelahiran atau dibesarkannya Achmad Bassach.
Kelahiran Palembang?
Tegallega yang berkembang pesat barangkali kemudian menyedot perhatian orang-orang dari jauh untuk datang, berniaga, dan menetap di sana. Di antaranya orang-orang dari seberang, dari Palembang.
Bila membuka-buka dokumen lawas, kita dapat menemukan sekian banyak orang Palembang di Bandung sejak abad ke-19. Saya antara lain menemukan nama-nama seperti Entje Abdoel Rachman (AID De Preanger-bode, 22 Maret 1897), Entje Akip (AID, 11 Desember 1908), Ki Agoes Mohamad Djenal Abidin (De Locomotief, DL, 23 Maret 1908), Zaenal Midin (De Nieuwe Vorstenlanden, DNV, 14 Januari 1910), Ki Agoes Asep Abdullah (Asep Berlyan) dan Ki Agoes Endang Mohamad Thamym bin Ki Agoes Hadji Abdoelsoekoer (AID, 12 Agustus 1924), dan Ki Agoes Abdoelrachim (Bataviasch Nieuwsblad, 20 Mei 1932).
Bila menilik berita-beritanya, tempat tinggal orang-orang Palembang di Bandung memang bukan hanya di sekitar Tegallega, melainkan tersebar di beberapa tempat, seperti Cibadak, Citepus, Andir, dan Cikudapateuh. Namun, orang-orang kayanya tampak tinggal tidak jauh dari Tegallega. Seperti Ki Agoes Asep Abdullah (Asep Berlyan) dan Ki Agoes Endang Mohamad Thamym bin Ki Agoes Hadji Abdoelsoekoer yang tinggal di sekitar Kebon Kalapa.
Ki Agoes Hadji Abdoelsoekoer adalah orang Palembang yang kaya raya. Menurut HNDNI edisi 9 Agustus 1909 dia tinggal di jalan Tegallega (“de woning van hadji Abdul Soekoer op den Tegallegaweg”). Dalam AID edisi 6 Juli 1917, dia disebut-sebut sebagai “de bekende paarden-eigenaar” (pemilik kuda yang terkenal). Betapa tidak, sejak akhir abad ke-19, Ki Agoes Hadji Abdoelsoekoer sudah digambarkan sebagai orang yang termasyhur di bidang balap kuda.
Konon, istalnya penuh dengan kuda-kuda balap yang menarik dan tidak pernah melewatkan kesempatan setiap ada pertandingan balap kuda, baik yang diselenggarakan di Bandung atau bahkan hingga ke Yogyakarta. Dengan banyaknya koleksi kuda, Ki Agoes Hadji Abdoelsoekoer kerap memenangi perlombaan balap kuda serta mendapatkan ribuan gulden sebagai hadiahnya (DL, 28 September 1898).
Yang membikin tambah menarik, ternyata Ki Agoes Hadji Abdoelsoekoer juga turut bergabung dengan Sarikat Dagang Islamiah (SDI) atau Bond van Islamitische Handelaren di bawah kepemimpinan R.M.T. Hadisoerjo atau Tirto Adisuryo. Menurut DNV (14 Januari 1910), saat itu SDI hendak mengajukan pengakuan sebagai badan hukum kepada pemerintah kolonial, dengan penggantian nama menjadi Bond van inlandsche handelaren atau serikat dagang bangsa pribumi.
Susunan manajemen organisasinya terdiri atas presiden R.M.T. Hadisoerjo, direktur Medan Prijaji di Batavia; wakil presiden Zaenal Midin, orang Palembang dan pengusaha di Bandung; sekretaris R. Goenawan, redaktur Medan Prijaji di Bogor; bendahara Hadji Muhamad Arsad, saudagar di Batavia; komisaris M, Railces, M. Antawidjaja, Hadji Abdul Soekoer, Hadji Eksan, R. Ng. Tjitro Adiwinoto, Hadji Nawawi, Raden Ganda Atmadja dan Tasripin. Pusat perhimpunannya yang ada di Bogor akan dipindahkan ke Bandung, dengan alasan karena Bandung dapat dengan mudah dicapai dari Jawa Tengah dan Jawa Barat (baca: Batavia).
Lalu, apa kaitannya antara orang-orang Palembang di Bandung dan Achmad Bassach? Salah satunya adalah kemungkinan bahwa Achmad Bassach adalah memang lahir di Palembang dan tumbuh besar di Bandung. Informasinya saya peroleh dari guru besar dari UPI Prof. Iskandarwassid, melalui pesan singkat dan telepon pada 15 Desember 2018. Pak Iswas sendiri – demikian sapaan akrabnya – sempat meneliti Joehana alias Achmad Bassach. Ia antara lain pernah menulis “Sawatara Catetan ngeunaan Struktur Novel Yuhana” dalam majalah Mangle No. 709 (1979).
Ketika menelepon, Pak Iswas mengatakan dulu ketika dia dan tim meneliti identitas Achmad Bassach sempat mendatangi beberapa stasiun di Bandung, karena mendapatkan informasi bahwa Achmad Bassach pernah bekerja sebagai pegawai jawatan kereta api Hindia Belanda. Ketika datang ke Stasiun Cikudapateuh, dia mendapatkan data tiga orang yang bernama Achmad Bassach.
Setelah menimbang-nimbang waktu kelahirannya dengan karier kepengarangan Achmad Bassach, Pak Iswas berkesimpulan bahwa Achmad Bassach yang kemudian menjadi pengarang Sunda terlahir di Palembang. Dalam pesan singkatnya kepada saya pada 15 Desember 2018, Pak Iswas menyatakan demikian: “Temuan sementara dina dokumen PJKA aya 3 jenengan AB. Nilik umur nu mungkin mah nu lahir di Plb. Aya dongengna.”
Ungkapan “aya dongengna” (ada kisahnya) itu terkait dengan perginya anak pungut pasangan Achmad Bassach-Atikah, yaitu seorang anak perempuan yang diberi nama Johana atau Joehana yang kemudian digunakan oleh Achmad Bassach sebagai nama pena, ke Palembang.
Ihwal kemungkinan Achmad Bassach yang orang Palembang pun mendapatkan dukungan kuat dari fakta bahwa dia menjelang akhir hayatnya menerjemahkan ke dalam bahasa Sunda beberapa karya para pemuka organisasi Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Di antaranya Achmad Bassach menerjemahkan Al-Fur'qan juz III (1929), Al-Djawahir: Seboeah Kitab jang Berisi Beberapa Ajat Qoer-an dan Hadits Nabi jang Penting yang ditulis oleh pemuka-pemuka Persatuan Islam Bandung (1929), dan Al-Boerhan: Kitab Fiqh karya Ahmad Hassan (1929).
Menurut Howard M. Federspiel (The Persatuan Islam: Islamic Union, 1966: 17-18), Persis didirikan di Bandung pada 12 September 1923. Para pendirinya adalah para saudagar muslim yang telah lama pindah dari Palembang ke Bandung, tempat mereka akhirnya menganggap diri mereka sebagai orang Sunda. Dua orang pendirinya adalah Haji Zamzam dan Haji Muhamad Yunus.
Dengan demikian, bila menilik latar belakang ini, saya kira kedekatan antara Achmad Bassach dan orang-orang Palembang di Bandung sangat wajar terjadi. Tokoh-tokoh Persis keturunan Palembang yang tinggal di Bandung dan sudah menganggap diri mereka sebagai orang Sunda bertemu dengan pengarang Sunda Achmad Bassach yang barangkali juga memang kelahiran Palembang.
Bahkan dari sisi nama pun, Achmad Bassach lebih dekat dengan nama-nama orang Palembang ketimbang nama-nama orang Sunda. Apalagi mengingat ayahnya pun menulis buku yang agaknya berupa hikayat atau biografi mengenai tokoh yang disebut “Achmad bin Toha”. Meskipun saya belum berhasil mendapatkan nama ayahnya, saya kira dari sisi nama judul yang digunakan pun lebih dekat kepada tradisi Melayu daripada ke tradisi Sunda.
Alhasil, bagaimana harus membaca tempat kelahiran Achmad Bassach? Dengan beberapa dukungan data di atas, saya dapat menyimpulkan, kemungkinan Achmad Bassach memang lahir di Palembang, lalu sejak kecil dibawa mengembara oleh orang tuanya ke Bandung, terutama ke sekitar Tegallega, tempat berkumpulnya beberapa keluarga asal Palembang yang kemudian jadi terkenal di Bandung.