• Kolom
  • SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (15): Stasiun Haurpugur

SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (15): Stasiun Haurpugur

Kawasan Haurpugur tempo dulu, dengan mata air Cipanas-nya, merupakan destinasi wisata populer. Stasiun Haurpugur, yang diresmikan 20 Februari 1899, punya peran.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Para calon penumpang menyambut kedagangan kereta api di Stasiun Haurpugur, Kabupaten Kota Bandung, Minggu (14/11/2021) siang. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

15 November 2021


BandungBergerak.id - Saya terkejut saat mendapati Haurpugur mendapatkan tempat yang terbilang istimewa dalam karya-karya Achmad Bassach (ca. 1894-1929) alias Joehana. Saya paling tidak menjumpai dua novel Joehana yang menyebut-nyebut Haurpugur, yaitu Carios Agan Permas (1926) dan Kalepatan Putra Dosana Ibu-Rama (1928, cet ke-2, 1991).

Saya menduga pasti ada apa-apa dengan Haurpugur sehingga membuat Joehana, yang karya-karyanya sangat digemari para pembaca pada tahun 1920-an, tergerak untuk memilihnya menjadi salah satu tempat yang disebut-sebut dalam karyanya. Barangkali di Haurpugur ada yang sesuatu yang membangkitkan kenangan kolektif para pembaca buku Sunda di Bandung saat itu.

Ternyata, setelah melakukan penelusuran pustaka, dugaan itu kian berdasar karena adanya beberapa bukti yang dapat saya temukan. Salah satunya yang eksplisit disebutkan Joehana adalah Cipanas, di Haurpugur. Sesuai namanya, Cipanas adalah mata air panas yang dijadikan tempat wisata di Bandung, paling tidak sejak awal abad ke-20 oleh Vereeniging tot Nut van Bandoeng en Omstreken.

Dalam konteks Carios Agan Permas, beginilah yang dituliskan Joehana: “Ti djalan Tjitjadas mengkol ngetan, teroes ngaliwat djalan Oedjoengberoeng, djalan Gedebage djeung Rantajekek, mengkol ngidoel bras ka Tjipanas Haoerpoegoer, djalanna mani tarigtoeg” (1926: 38). Artinya kira-kira: dari jalan Cicadas belok ke arah timur, terus melewati jalan Ujungberung, jalan Gedebage dan Rancaekek, belok ke arah selatan, tibalah ke Cipanas di Haurpugur, yang jalannya tidak rata.

Sementara dari Kalepatan Putra Dosana Ibu-Rama (1991: 80), saya mendapatkan keterangan sebagai berikut: “Ana lowong tina ngaben, sok angkat ka Cipanas Tarogong, Majalaya, Haurpugur sareng jabi ti eta, ngadon curak-curak sukan-sukan, nyandak kacapi, suling, tukang ngahariring ...” (Saat senggang dari menyabung ayam, [Gan Mahmud] kerap bepergian ke Cipanas Tarogong, Majalaya, Haurpugur dan sebagainya, dengan maksud bersukaria, seraya membawa kecapi, suling, dan penyanyi).

Dari dua kutipan di atas, saya mendapatkan kesan Haurpugur, paling tidak hingga 1928, menjadi destinasi wisata bagi warga Kota Bandung, baik kalangan Eropa maupun pribumi. Namun, sebelum lebih jauh membahas Cipanas di Haurpugur, saya akan menguraikan dulu sejarah penetapan Haurpugur sebagai stopplaats, disambung fakta-fakta penting lainnya yang berkaitan dengan Haurpugur pada masa lalu.

Berita pembukaan Stopplaats Haurpugur pada 20 Februari 1899, berbarengan dengan Stopplaats Gadobangkong, Andir, Cikudapateuh, dan Rancakendal. (Sumber foto: AID De Preanger-bode, 13 Februari 1899)
Berita pembukaan Stopplaats Haurpugur pada 20 Februari 1899, berbarengan dengan Stopplaats Gadobangkong, Andir, Cikudapateuh, dan Rancakendal. (Sumber foto: AID De Preanger-bode, 13 Februari 1899)

Pada 20 Februari 1899

Pada masa lalu, sejak awal abad ke-20 hingga 1931, secara administratif, Haurpugur berada di wilayah Distrik Cicalengka. Saya mendapatkan keterangannya dari Aardrijkskundig woordenboek van Nederlandsch Oost-Indie (1917: 107) susunan Ch.F.H Dumont. Di situ dituliskan, “Haoerpoegoer, pl., distr. Tjitjalengka, afd. Bandoeng, res. Preanger-Regentschappen”. Dengan kata lain, Haurpugur berada di Distrik Cicalengka, Afdeling Bandung, Keresidenan Priangan.

Sementara W.F. Schoel lebih memerincinya dalam Alphabetisch Register van de administratieve (bestuurs-) en adatrechtelijke indeeling van Nederlandsch-Indie, Deel I: Java en Madoera (1931: 136) sebagai berikut: “Haoerpoegoer, (da.), Rantjaekek (o.d.), Tjitjalengka (d.), Bandoeng (r.), Midden Priangan (a.), W. J. (g)” atau Haurpugur adalah desa di Onderdistrik Rancaekek, Distrik Cicalengka, Kabupaten Bandung, Afdeling Midden Priangan, Jawa Barat.

Lalu, soalnya, kapankah Haurpugur dijadikan perhentian sementara kereta api? Usut punya usut, ternyata Stopplaats Haurpugur ditetapkan berbarengan dengan Stopplaats Gadobangkong, Andir, Cikudapateuh, dan Rancakendal, pada 20 Februari 1899. Stopplaats Rancakendal dan Haurpugur disebutkan yang terletak di antara Halte Rancaekek dan Stasiun Cicalengka itu ditetapkan melalui pengumuman kepala eksploitasi jalur barat S. Schaafsma (AID De Preanger-bode, 13 Februari 1899).

Dalam pengumuman Schaafsma disebutkan “Bij Km. 175 en 178. 400 tusschen Rantjah Ekek en Tjitjalengka (respectievelijk stopplaatsen Rantja Kendal en Haoer Poegoer) de treinen 16, 9, 18, 11, 22 en 15” (Di km 175 dan 178, di antara Rancaekek dan Cicalengka (berturut-turut Stopplaats Rancakendal dan Haurpugur), tempat berhentinya kereta nomor 16, 9, 18, 11, 22 dan 15).

Bila dikaitkan dengan wilayah pelayanannya, pasti perhentian kereta api sementara di Haurpugur itu dimaksudkan sebagai alat angkut bagi penduduk di seputar Onderdistrik Rancaekek. Termasuk hasil buminya, terutama padi, karena di kanan dan kiri Stopplaats Haurpugur berupa persawahan yang membentang luas dari Cicalengka di timur ke sekitar Gedebage di sebelah barat.

Kemudian, berapa banyak jumlah penumpang yang menggunakan Stasiun Haurpugur pada masa lalu? Saya antara lain mendapatkan datanya dari Verslag betreffende het spoor- en tramwegwezen in Nederlandsch-Indie untuk 1923 dan 1931. Pada 1923, ada 32.191 penumpang yang pergi dan 43.522 yang datang. Seluruhnya ada 75.713 orang yang menggunakan Stopplaats Haurpugur pada 1923.

Selanjutnya, dalam laporan 1931, yang pergi dari Haurpugur sebanyak 25.961 orang dan yang datang sebanyak 21.566 orang, sehingga total yang menggunakan stopplaats itu sebanyak 47.527 orang atau turun hampir setengahnya dibandingkan data 1923. Apakah hal ini pertanda lesunya ekonomi yang melanda dunia sejak 1929? Saya kira dugaan ke arah sana sangat mungkin, karena menurut berita bahkan hingga 1933 dan 1934 pun dampak resesi dunia masih terasa di Hindia Belanda.

Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (14): Stasiun Rancaekek
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (13): Stasiun Cimekar
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (12): Stasiun Gedebage

Para Penggemar Kuda

Ada satu kampung di ujung timur Stasiun Haurpugur tetapi masuk ke wilayah Cicalengka, meskipun bisa dikatakan jauh jaraknya dengan desa induknya. Itulah Kampung Cipajaran, yang termasuk ke Desa Cikuya, Kecamatan Cicalengka.

Nama Cipajaran mengingatkan saya kepada kata “jaran” dalam bahasa Jawa, yang berarti kuda. Alhasil, dengan mendapatkan awal “pa-“ sehingga menjadi “pajaran” yang bisa jadi berarti tempat memelihara kuda dan “ci” yang menunjukkan tempat atau sungai. Keberadaan nama Cipajaran mengusik rasa kepenasaran, sehingga akhirnya saya melakukan pencarian pustaka dari masa lalu tentang kemungkinan daerah Haurpugur berkaitan dengan peternakan dan pemeliharaan kuda.

Setelah mencari-cari, saya mendapatkan beberapa buktinya. Memang sejak akhir abad ke-19, ada berita keikutsertaan lurah Haurpugur dalam perlombaan balap kuda di Sumedang pada 12 Mei 1891. Dalam Java-bode edisi 8 Mei 1891 disebutkan jenis-jenis pertandingannya, yakni untuk hari pertama, 11 Mei 1891, Maiden Ponystakes, Maiden Ponyprijs, Regol Beker, Maiden Plate, Bestuurs-beker, Controleurs-beker, Harddravery; dan hari kedua, 12 Mei 1891, Gezusters-beker, Pony-prijs, Parakansalak-beker, Trimoeka-beker, Pony-stakes, Soemedang-stakes, dan Loerah-beker.

Salah satu kuda milik para kepala desa yang turut bertanding di Sumedang itu adalah Bandol, milik lurah Haurpugur. Bandol akan bersaing dengan Jangleung (milik lurah Cangkuang), Geulis (Bojongloa), Onta (Bojong), Walet (Manglayang), Tameng (Nanggerang), Kabiri (Ganeas), Entog (Cibungur), dan Saioer (Dustan).

Saya juga membaca informasi tentang pameran kuda di Sumedang pada 19 Juli 1898. Menurut kabar AID (25 Juli 1898), pameran kuda itu dihadiri tidak saja oleh orang-orang Eropa dan para pejabat pribumi, melainkan juga oleh kalangan swasta dan perempuan. Dalam acara itu ada 212 kuda yang dipamerkan. Semuanya dibagi-bagi berdasarkan kategori jenis kudanya, yaitu 6 dekhengsten, 111 fokmerries, 30 rijpaarden, 12 trekpaarden, 24 kampongveulens, dan 29 veulens afkomstig van gouvernements dekhengsten. Di antara veulens afkomstig yang mendapatkan posisi kesepuluh dengan hadiah uang sebesar 2 gulden adalah M. Oesman dari Haurpugur.

Empat tahun selanjutnya, AID edisi 28 Oktober 1902 mengabarkan lagi pameran kuda di Sumedang, dengan tajuk “De Centrale Paardententoonstelling”. Pada kategori “Fokmerries afkomstig uit de gouvts- p, fokkerij” yang meraih hadiahnya antara lain juara pertama Mintadiredja dari Tarogong, Limbangan, dengan hadiah uang 100 gulden, juara kedua Marta Sasmita dari Jambudipa, Bandung, dengan hadiah uang 80 gulden, dan juara ketiga Ba. Altimah, dari Pasirhuni, Sumedang dengan hadiah uang 65 gulden. Perwakilan dari Haurpugur, yaitu H. Oemar jadi juara terakhir, yakni posisi ke-15, dengan ganjaran uang sebesar 12,5 gulden.

Dari ketiga berita di atas, saya kira sangat beralasan bahwa dulu Cipajaran menjadi salah satu pusat peternakan dan pemeliharaan kuda bagi orang-orang kaya di sekitar Haurpugur. Seperti tokoh M. Oesman, lurah Haurpugur, dan H. Oemar dalam berita-berita di atas. Barangkali mereka termasuk orang-orang yang menggemari kuda yang memang menjadi tren di kalangan orang berada di Priangan pada abad ke-19 hingga abad ke-20.

Kereta api dari Cicalengka menunggu giliran masuk ke Stasiun Haurpuguh, sementara beberapa warga menyeberang di perlintasannya, Minggu (14/11/2021) siang. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Kereta api dari Cicalengka menunggu giliran masuk ke Stasiun Haurpuguh, sementara beberapa warga menyeberang di perlintasannya, Minggu (14/11/2021) siang. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Mata Air Cipanas

Kini tiba saatnya saya membahas keberadaan mata air panas di sekitar Haurpugur. Sumber pustaka terlama yang menyatakannya adalah AID edisi 16 Juni 1908. Dalam berita bertajuk “Voor Vreemdelingenverkeer” (untuk para pengunjung asing) diwartakan bahwa perhatian “Het Nut” atau Vereeniging tot Nut van Bandoeng en Omstreken tertuju pula pada pemandian berupa dua mata air panas di sekitar satu pal arah utara Stopplaaats Haurpugur, lokasinya berada di antara Rancaekek dan Cicalengka.

Dengan jalan berkondisi baik dan teduh, pengunjung dapat menyambangi tempat tersebut dengan berjalan kaki sekitar setengah jam. Bupati Bandung telah membangun dua pemandian, sehingga di bawah kucuran air dari pancuran, pengunjung dapat mengusir rasa penat dan penyakit dengan semburan air bersuhu 40 derajat Celcius.

Keadaan sekitarnya indah, berupa pemandangan pegunungan, terutama bila naik ke puncak bukit, yang ada di pinggiran resort itu. Di sana ada pula kolam, seperti Situ Bagendit kecil, yang dapat digunakan untuk bersampan. Pada akhir pekan, bupati Bandung dan para tuan serta puan dari Bandung dan Batavia kerap mengunjungi objek wisata tersebut. Di Stopplaats Haurpugur tersedia dokar yang dapat membawa para pengunjung ke pemandian.

Dalam buku H.A. Van Hien (Verduidelijkt door Petangan’s of Tellingen, bij De Javanen en Soendaneezen in Gebruik, 1913) sekilas lintas disebutkan adanya mata air panas (bronnen) di Haurpugur. Di situ Van Hien menyebutkan bahwa mata air panas juga ditemukan di dekat Desa Kuripan, Cibadak, Cisambeng, Padalarang, Lembang, Cipanas, Haurpugur, Tarogong, dan Pageurageug.

S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland dalam Gids van Bandoeng en Midden-Priangan (1927: 45) menjadikan Cipanas di Haurpugur sebagai salah satu destinasi wisata di Bandung. Kedua penulis, seakan mengulangi keterangan AID (1908), mengatakan di jalan menuju Cicalengka, pada pal ke-25, selepas Rancaekek, para pengunjung akan menemukan sebuah resor pinggiran yang disebut Cipanas, di dekat jalan utama.

Di sana telah dibangun pemandian. Airnya yang bersuhu 40 derajat Celcius mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan, barangkali karena kandungan radium, yang juga ditemukan pada mata air-mata air panas di Priangan. Reitsma dan Hoogland juga menyebutkan mata air itu menarik dari sisi geologi dan daya penyembuhan airnya. Plus, di tempat ini ada keindahan alam, meskipun tidak banyak. Dari Stopplaats Haurpugur, Cipanas dapat dijangkau sebentar.

Apakah mata air Cipanas di sekitar Haurpugur masih ada? Saya mendapatkan jawabannya dari seorang kawan di kantor, Toni Nugraha (45 tahun). Dari wawancara lisan via telepon dan pesan singkat pada 9 November 2021, ia yang lahir dan besar di Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, menyatakan ketika masih belajar di sekolah dasar pada era 1980-an masih menemukan, bahkan bermain-main bersama kawan-kawannya, di sekitar mata air Cipanas. Senada dengan keterangan dalam AID (1908), menurut pengalaman Toni, di sekitar mata air itu dulu ada tiga bukit.

Bukit-bukit tersebut oleh warga sekitar mata air panas disebut sebagai Gunung Cipanas. Kawasan perbukitannya terletak di Jalan Cipanas-Haurpugur, dan secara administratif ada pada perbatasan antara Desa Nanjung Mekar dan Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek. Sementara kolam air panasnya berada persis di depan Rumah Susun (Rusun) Rancaekek, Kampung Cipanas, Desa Cangkuang. Jarak dari Stasiun Haurpugur ke kolam air panas itu sekitar 1,8 kilometer dengan waktu tempuh berkendara mobil selama 6 menit. Terbilang jarak dan waktu yang dekat dan sebentar, sama seperti yang dinyatakan dalam AID (1908) dan oleh Reitsma dan Hoogland (1927).

Sayangnya, karena arus pembangunan, mata air panas itu menurut Toni turut tergerus. Betapa pun demikian, fakta-fakta sejarah di atas, saya kira, dapat memberi alasan saat Joehana menggunakan Cipanas di Haurpugur dalam dua karyanya. Pada masa aktifnya Joehana menulis novel Sunda, antara 1925-1929, Cipanas di Haurpugur barangkali masih populer sebagai destinasi wisata baik bagi warga Kota Bandung maupun pengunjung luar daerah. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//