• Kolom
  • SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (14): Stasiun Rancaekek

SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (14): Stasiun Rancaekek

Di masa lalu, Stasiun Rancaekek dimanfaatkan oleh bukan hanya penduduk Afdeeling Cicalengka, tapi juga Sumedang dan Cirebon.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Dua becak terparkir menunggu penumpang di depan Stasiun Rancaekek, Kabupaten Bandung, Sabtu (28/8/2021). Tidak jauh dari sini, sedang berlangsung proyek besar pembangunan depo Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Depo Kereta Cepat Tegalluar. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

8 November 2021


BandungBergerak.id - Dalam dua minggu ini, yakni pada akhir Oktober dan awal November 2021, saya tiga kali ke Bandung dengan menggunakan kereta api lokal Cicalengka-Padalarang. Selama bolak-balik Cicalengka-Bandung itu, saya melihat lagi kemajuan pembangunan infrastruktur kereta api di sekitar Rancaekek.

Betapa pangling! Bagian selatan bangunan lama Stasiun Rancaekek sudah rata dengan tanah. Jalur relnya sudah bertambah. Beberapa kilometer di sebelah baratnya berdiri rangka-rangka kompleks bangunan yang berukuran besar dan tinggi. Itulah depo Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Depo Kereta Cepat Tegalluar, yang termasuk ke Desa Cileunyi Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung.

Dengan fakta tersebut, sudah pasti wilayah Kecamatan Rancaekek, terutama Desa Rancaekek Wetan dan Desa Rancaekek Kulon, menjadi daerah yang sangat penting bagi pengembangan teknologi transportasi di Tanah Air. Dengan adanya proyek KCJB, secara langsung atau tidak, Rancaekek akan terhubung dengan Jakarta melalui kereta cepat.

Fakta tersebut sekaligus mengingatkan saya pada sejarah awal pembangunan jalur kereta api dari Bandung ke Rancaekek di masa lalu. Menjelang akhir abad ke-19, di Rancaekek dibangun salah satu halte, tempat perhentian bagi penduduk sekitar Rancaekek bahkan Sumedang dan Cirebon, yang menggunakan jalur kereta api Cicalengka-Bandung atau Bandung-Cianjur.

Setelah pembangunan kedua jalur itu selesai, banyak orang Eropa berdatangan ke Rancaekek. Demikian pula pemerintah kolonial menaruh minat kepada daerah yang didominasi hamparan luas persawahan itu.

Mengapa orang Eropa dan pemerintah kolonial memberi perhatian kepada Rancaekek? Apa saja yang dikerjakan oleh orang Eropa dan pemerintah kolonial di Rancaekek? Dalam tulisan kali ini saya akan sebisa mungkin menjawabnya berdasarkan keterangan sezaman, yang saya dapatkan dari koran berbahasa Belanda.

Sejak Semula Halte

Dalam koran Bataviaasch Handelsblad (BH) dan Java-bode (JB) edisi 10 hingga 23 Mei 1884, saya mulai menemukan penggunaan kata Halte Rancaekek untuk pertama kalinya. Kedua koran tersebut secara sinambung mewartakan pembukaan jalur Cianjur-Bandung dan Bandung-Cicalengka.

Rupanya jalur Cianjur-Bandung mencapai hingga Stasiun Cicalengka di sebelah timur Kabupaten Bandung. Alhasil, layanan kereta api Cianjur-Bandung itu melalui Halte Cipadalarang, Halte Cimahi, Stasiun Bandung, Halte Gedebage, Halte Rancaekek, dan Stasiun Cicalengka. Apalagi jalur Bandung-Cicalengka, pasti Halte Rancaekek salah satu tempat perhentian kereta api yang melayani kepentingan para penduduk di sekitarnya.

Dengan tersedianya dua jalur itu, selama tahun pertama (1884), jumlah penumpang yang berangkat dari Bandung dengan tujuan Halte Rancaekek sebanyak 1.230 orang (Verslag van den Dienst der Staatsspoorwegen op Java over het jaar 1884, 1885, dalam Sobana A. Hardjasaputra, 2002: 214).

Seiring waktu, dengan bertambahnya jumlah layanan kereta api, antara 1889 hingga 1898, Halte Rancaekek menjadi tempat berhenti untuk jurusan Bogor-Garut, Bandung-Cibatu, Bandung-Garut, dan Bandung-Tasikmalaya, Bandung-Maos. Keterangan ini saya simak dari pengumuman dalam Staatsspoorwegen op Java, Westerlijnen. Tijdtafels van den loop der Treinen, untuk 10 Juli 1889, 1 Agustus 1891, dan 16 September 1893, ditambah jadwal dalam Van Dorp's officieele reisgids voor spoor- en tramwegen op Java (1898).

Barangkali dengan kesibukan itu, pihak jawatan kereta api Hindia Belanda kemudian berinisiatif membuka tempat perhentian sementara (stopplaats) di antara Rancaekek dan Cicalengka, yaitu Stopplaats Rancakendal dan Stopplaats Haurpugur pada 20 Februari 1899. Keputusan ini dibuat kepala eksploitasi jalur barat S. Schaafsma dan dimuat dalam AID De Preanger-bode edisi 15 Februari 1899.

Namun, Stopplaats Rancakendal tidak berumur lama, karena S. Schaafsma memutuskan sejak 1 Agustus 1899, Stopplaats Rancakendal yang ada di antara Rancekek dan Haurpugur dihapuskan (AID, 26 Juli 1899). Dengan demikian, stopplaats yang kini barangkali termasuk ke Kampung Rancakendal, Desa Jelegong, Kecamatan Rancaekek, itu hanya bertahan sekitar lima bulan. Nasibnya hampir mirip Stopplaats Kiaracondong yang konon akan dihapus, tetapi urung, karena pindahnya pusat-pusat militer ke sana.

Lalu, siapakah yang menggunakan Stasiun Rancaekek di masa lalu? Selain penduduk sekitar Afdeeling Cicalengka, halte itu digunakan juga oleh orang Sumedang, bahkan Cirebon. Dalam BH edisi 2 Juni 1886, ada penulis yang memberi tips untuk menempuh perjalanan Cirebon-Batavia melalui Stasiun Rancaekek.

Singkatnya, si penulis bilang bila bepergian sendirian dari Cirebon, orang bisa memilih menyewa sado atau bendi ke Sumedang. Ongkosnya 0,3 gulden per pal dan karena jarak Cirebon-Sumedang 57 pal, berarti biayanya 17,1 gulden. Ditambah biaya penyeberangan ke Karangsambung dan Cipang serta tips untuk kusir, sehingga totalnya 20,1 gulden. Waktu tempuhnya sekitar tujuh jam. Dari Sumedang ada sado atau kereta kuda yang melayani penumpang ke Stasiun Rancaekek dengan ongkos 2,5-3 gulden. Kata si penulis, dengan naik kereta api dari Rancaekek lebih singkat 11 pal daripada melalui jalan Sumedang-Bandung. Tiket dari Rancaekek ke Weltevreden 5 gulden lebih untuk kelas tiga. Alhasil, perjalanan dari Cirebon ke Batavia hanya memerlukan ongkos kurang dari 30 gulden.

Penulis lainnya bilang “bahkan perjalanan lebih cepat dengan menggunakan kereta api dari Bandung ke Rancaekek, satu stasiun di dekat Cicalengka, dan melanjutkan perjalanan dari sana dengan menggunakan kereta kuda” (JB, 9 Februari 1887).

Contoh satu lagi dapat dibaca dari tulisan “Het afscheidsfeest van den Patih van Soemedang” karya Pendjalin (De locomotief, DL, 20 Agustus 1892), yang mengisahkan pengangkatan Patih Sumedang Raden Kartawinata menjadi patih Sukabumi. Setelah pesta perpisahan di Sumedang pada 28 Juli 1892, keesokan harinya, patih Sukabumi yang baru sekeluarga berangkat ke Stasiun Rancaekek, yang kemudian akan disambung kereta ke Cianjur. Kepergiannya ke Rancaekek dibarengi bupati Sumedang dan para pejabat pribumi. Mereka hendak mengucapkan perpisahan di Stasiun Rancaekek.

Potret Stasiun Rancaekek oleh C.M. Luijks pada 14 Oktober 1916. Berupa hamparan persawahan luas, kawasan Rancaekek menjadi lokasi favorit orang-orang Eropa untuk berburu burung di akhir pekan. (Sumber foto: Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen (TM-60052193))
Potret Stasiun Rancaekek oleh C.M. Luijks pada 14 Oktober 1916. Berupa hamparan persawahan luas, kawasan Rancaekek menjadi lokasi favorit orang-orang Eropa untuk berburu burung di akhir pekan. (Sumber foto: Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen (TM-60052193))

Arena Perburuan Burung

Persawahan membentang seluas mata memandang di sekitar Rancaekek tentu saja menjadi habitat burung. Pembukaan jalur Cianjur-Bandung dan Bandung-Cicalengka dijadikan sebagai peluang bagi orang-orang Eropa yang tinggal di Kota Bandung untuk berburu burung di akhir pekan, hitung-hitung hiburan sekalian liburan.

Namun, sebelum membahas ihwal berburu burung, ternyata ada juga orang Eropa bernama Fabius yang menyediakan daging rusa (hertenvleesch) hasil buruan atau hasil menembak (geschoten herten) di Stasiun Rancaekek. Ini terjadi sekitar setahun setelah jalur Bandung-Cicalengka diresmikan. Dalam JB edisi 22 Agustus 1885, Fabius menawarkan daging rusa buruan tersebut seharga sepuluh gulden, dengan ongkos kirim gratis.

Nah, untuk urusan berburu burung di sekitar Rancaekek ternyata sudah diberitakan sejak dua tahun setelah pembukaan jalur Bandung-Cicalengka.  De Nieuwe Vorstenlanden (6 Januari 1886) dikatakan ada kereta khusus yang disediakan bagi para pemburu yang akan pergi ke Rancaekek. Keretanya berangkat pada pukul 06.00 dan kembali pada pukul 15.00, dengan hasil buruan ratusan hahayaman (Gallinago gallinago). Di antaranya Van Son berhasil menembak 108 ekor, Van Heeckeren 80, dan Thiem sebanyak 76 hahayaman.

Setahun kemudian, Bataviaasch Nieuwsblad (BN) dan DL edisi 17 Desember 1887 mengabarkan hasil lomba menembak hahayaman di Rancaekek. Menurut berita tersebut, ketua penyelenggaranya adalah E.J. Kerkhoven. Pesertanya ada sepuluh orang. Di antaranya wedana Kota Bandung, Baron Heeckeren, dan Kerkhoven. Seluruhnya ada 397 ekor hahayaman yang berhasil ditembak.

Demikian pula tahun 1888. BN edisi 24 Februari 1888 memberitakan tentang hasil lomba berburu burung di Rancaekek pada 21 Februari 1888. Saat itu yang turut berburu sebanyak delapan orang. Di antaranya H. Van Son, H.H. Kerkhoven, dan Du Perron.

Perlombaan menembak burung di Rancaekek dan sekitarnya bertahan lama. Ini antara lain disiarkan kabarnya dalam AID edisi 10 Desember 1912. Dalam koran itu disebutkan, setiap hari Minggu, lusinan para pemburu terlihat menyusuri persawahan di sekitar Gedebage, Rancaekek, Haurpugur, Majalaya, Sapan, Cangkring, dan Bojongsoang. Dengan berkendara mobil, kereta api, sepeda, dan berjalan kaki, mereka hendak berburu burung belekok, pelung, hahayaman, dan lain-lain.

Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (13): Stasiun Cimekar
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (12): Stasiun Gedebage
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (11): Stasiun Kiaracondong

Lapangan Terbang

Lahan sangat luas di Rancaekek juga dilirik pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk melakukan upaya rintisan pembuatan lapangan terbang, sebelum pindah lagi ke Sukamiskin (1918-1923) dan akhirnya permanen di Andir sejak 1922.

Rencana pembangunan lapangan terbang di Rancaekek sudah mengemuka pada akhir Maret 1917. AID edisi 30 Maret 1917 melaporkan pemerintah kolonial telah membeli lahan seluas 40 bahu di sekitar Rancaekek untuk lapangan terbang (vliegveld). Masalahnya, air hujan terus-menerus mengguyur lahannya, sehingga sulit digunakan. Namun, pembuatan desain sudah mulai dilalukan sehingga orang seperti Kapten d'Engelbert van Bevervoorde dapat menerbangkan pesawat untuk pertama kalinya di sana (AID, 19 Mei 1917).

Akhirnya, penerbangan pertama di lapangan terbang Rancaekek dapat dilakukan pada 6 Juni 1917. Wartawan AID (6 Juni 1917) menyatakan adanya sensasi pagi itu. Sekitar pukul 08.30, kapal udara naik ke angkasa Bandung. Orang-orang pribumi berseru-seru “kapal udara!” dan di mana-mana orang menengadah ke atas dan menunjuk-nunjuk benda berkilat yang membelah angkasa demikian cepatnya.

Orang yang mengendarai kapal udara itu adalah Kapten d'Engelbert van Bevervoorde. Dia menerbangkan pesawat dari lapangan udara Rancaekek pada pukul 08.00. Mula-mula berputar-putar di angkasa Bandung pada ketinggian 4.000 kaki, lalu naik ke 5.000 kaki dan 7.000 kaki. Setelah itu, di Rancaekek, Kapten d'Engelbert mendaratkan pesawatnya dengan selamat. Sementara Mayor Visscher, komandan divisi percobaan, ada di lapangan bersama orang-orang yang penasaran.

Namun, dalam berita itu dikatakan meskipun selama 8 hari lapangan kering dan dapat digunakan, untuk keperluan permanen, lapangan terbang Rancaekek sebenarnya tidak cocok. Jadi hanya pas saat musim kemarau. Selain itu, disebutkan di sana ada dua kapal udara yang baru didatangkan dari Amerika. Dua lainnya di Cimahi dan akan digunakan ketika lapangan terbang Sukamiskin, sekitar 6 pal di timur Bandung, dapat digunakan. Di sisi lain, Kapten Engelbert berharap mulai Senin mendatang dapat terbang secara teratur, setiap pagi, sebelum pukul 08.30, dan pukul 16.30.

Memang betul, seminggu selanjutnya, pada 11 Juni 1917, Kapten Engelbert lepas landas di Rancaekek pada pukul 07.30. Dia terbang di atas Bandung, lalu ke Cimahi, kemudian berputar-putar. Dia kembali ke angkasa Bandung dan pukul 08.30 turun di lapangan Rancaekek (AID, 11 Juni 1917). Beberapa hari kemudian, pada 18 Juni 1917, Hilgers mencoba terbang dari landasan Rancaekek. Sementara pada 19 Juni 1917, Kapten Engelbert akan terbang dari Rancaekek ke Kalijati bolak-balik (DL, 18 Juni 1917).

Akhirnya datang kabar yang memungkas riwayat lapangan terbang Rancaekek. Dalam AID (5 Oktober 1917) dilaporkan lapangan terbang Rancaekek hanya akan digunakan hingga 14 Oktober 1917, dan lahannya akan dikembalikan kepada para pemilik sebelumnya. Pelatihan bagi pilot dan pengamat tidak akan lagi dilakukan di Rancaekek, sampai digunakannya lapangan terbang Sukamiskin di Ujungberung.

Potret bangunan stasiun penerima di Rancaekek. Berperan dalam perkembangan teknologi gelombang radio di Hindia Belanda, bangunan ini terbakar pada Sabtu, 12 Mei 1928. (Sumber foto: KITLV 107556)
Potret bangunan stasiun penerima di Rancaekek. Berperan dalam perkembangan teknologi gelombang radio di Hindia Belanda, bangunan ini terbakar pada Sabtu, 12 Mei 1928. (Sumber foto: KITLV 107556)

Stasiun Radio

Ada pertanyaan menarik dari De Indische Courant (DIC) edisi 23 November 1923. Katanya, “Diterima di Hindia: di pesisir atau di pegunungan? Pertanyaan mengenai di mana di Jawa dapat “diterima” dengan baik, apakah di pegunungan atau di pesisir, belum terjawab secara definitif”. Maksud “diterima” dalam konteks pertanyaan tersebut adalah gelombang radio dari luar negeri yang dapat ditangkap di Hindia Belanda.

Untuk maksud itulah, C.J. de Groot (1883-1927) terus melakukan percobaan. Ia menyatakan percobaan bisa jadi akan berlangsung selama setahun, karena bergantung keadaan. Ia telah melakukan percobaan di Koningsplein, Weltevreden, Cangkring (Bandung), dan di Indramayu. Termasuk di Rancaekek. Di sini pemerintah mengadakan percobaan dengan mendirikan instalasi dari perusahaan Telefunken, yang diletakkan di pabrik gula.

Ternyata percobaan di Rancaekek terus berlangsung selama berbulan-bulan. Menurut DIC (3 Januari 1924), percobaan lanjutan untuk penerimaan gelombang radio terus dilakukan selama beberapa bulan di Rancaekek. Akhirnya, sejak Januari 1925 laboratorium radio di Bandung berhasil mengadakan uji coba dengan menggunakan gelombang pendek.

Selama percobaan itu disebutkan pada 11 Maret 1925, stasiun penerima (luisterposten) di Rancaekek dan Padalarang, yang dipasang untuk gelombang pendek, secara teratur menerima pesan dari Roma dan Naven, ditambah dari Bolinas di dekat San Fransisco, dari stasiun-stasiun Prancis dan stasiun amatir Belanda (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, HNDNI, 13 Maret 1925).

Awal April 1925, percobaan penerimaan gelombang pendek terus dilakukan di Rancaekek, Padalarang, dan laboratorium dan beroleh hasil baik.  Naven, Roma, Long Island, San Fransisco, Honolulu, dan Buenos Aires terdengar sangat dengan jelas selama berjam-jam. Musik dari Pittsburgh beberapa kali terdengar. Sinyal dari Djibuti juga terdengar beberapa kali, sementara stasiun sinyal percobaan di Amerika, Kanada, Eropa, Australia, dan Selandia Baru juga dapat diterima dengan baik (HNDNI, 4 April 1925).

Pada Juni 1925, Nicolaas Koomans dapat mengadakan komunikasi dari laboratorium PTT di Den Haag dengan stasiun penerima Malabar, yaitu Stasiun Rancaekek. Oleh sebab itu, sejak Agustus 1925, layanan rutin radio telegrafi untuk Hindia Belanda dimulai.

Pada Maret 1927, Stasiun Radio Rancekek menerima suara ceramah dan musik dari pemancar di laboratorium fisika Philips di Eindhoven, Belanda. Hanya saja, awal Maret 1927 muncul wacana pemindahan stasiun radio Rancaekek dan Padalarang, gara-gara saling ganggunya gelombang radio dan telepon (Deli Courant, 5 Maret 1927).

Keberhasilan berbagai percobaan di atas diringkaskan oleh C.W. Wormser (DIC, 31 Maret 1928) antara lain demikian: “Pada 14 Mei 1927 suara yang mulia Menteri Tanah Jajahan terdengar di sini, dan pada 31 Mei dan 1 Juni peristiwa penting terjadi: Yang Mulia Ratu dan Yang Mulia Putri Juliana berbicara dengan Hindia Timur dan Hindia Barat. Pada 31 Mei 1927, saat Hindia Belanda diajak berbincang, suaranya dapat disiarkan kembali ke Bandung dan dapat terdengar dalam jaringan telepon. Pada 1 Juni 1927, kesuksesan itu lengkap sudah. Transfer suara ke Weltevreden berhasil. 80 headset dipasang bagi para anggota Dewan Rakyat. Termasuk laporan steno dan rekaman dari gulungan lilin. Di istana, pidato disampaikan di instalasi oleh gubernur jenderal dengan hasil yang sangat baik, meskipun persiapannya sebentar.

Fakta penting lainnya juga adalah suara dari Stasiun Malabar, setelah sepuluh hari percobaan, terdengar dan dapat dipahami oleh Belanda. Beberapa hari sebelumnya, pemancar telefoni dari laboratorium radio di Belanda juga terdengar. Selama bulan-bulan mendatang, percobaan telefoni akan diselenggarakan dengan Belanda. Anti-fading system di Rancaekek menyebabkan perbaikan pada penerimaan dari Philips.”

Demikianlah, stasiun radio di Rancaekek memainkan perannya dalam perkembangan teknologi gelombang radio (het radio-ontvangst-station) di Hindia Belanda. Namun, malang, bangunan stasiun penerima itu terbakar pada Sabtu, 12 Mei 1928. Seluruh bangunannya hangus, padahal di dalamnya ada perkakas-perkakas berfrekuensi tinggi. Akibatnya layanan telepon jarak jauh antara Weltevreden-Bandung mengalami penundaan atau delay (DL, 14 Mei 1928).

Potret  karya C.M. Luijks pada 23 Agustus 1916 memperlihatkan proses pembangunan viaduk di jalur simpangan Rancaekek-Tanjungsari. (Sumber foto: Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen (TM-60052201))
Potret karya C.M. Luijks pada 23 Agustus 1916 memperlihatkan proses pembangunan viaduk di jalur simpangan Rancaekek-Tanjungsari. (Sumber foto: Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen (TM-60052201))

Simpangan ke Tanjungsari

Seperti yang terungkap di atas, Stasiun Rancaekek dimanfaatkan sebagai tempat keberangkatan bagi orang-orang yang berasal Sumedang atau lebih jauhnya dari Cirebon, karena dianggap lebih singkat dan lebih hemat.

Dalam perkembangannya, kalangan militer lebih melihatnya dari kepentingan pertahanan. Itu sebabnya Departemen Peperangan melayangkan surat bernomor 48/S pada 27 Juli 1910 kepada gubernur jenderal. Maksudnya menyarankan agar membangun jalur kereta api yang menghubungkan Rancaekek dengan Sumedang (dalam Agus Mulyana, Sejarah Kereta Api di Priangan, 2017: 181).

Menurut pertimbangan militer, musuh yang akan menyerang Bandung yang notabene telah menjadi pusat-pusat militer Hindia Belanda akan masuk dari pelabuhan Cirebon. Oleh karena itu, sangat penting membuat pertahanan di arah timur Bandung dan Kota Sumedang dianggap punya posisi strategis karena daerah pegunungan, dilalui Jalan Raya Pos, punya hubungan langsung dengan Cirebon. Dengan dibangunnya jalur kereta ke Sumedang diharapkan dapat mempercepat gerak pasukan militer sekaligus perawatan serdadu yang luka dalam perang (Mulyana, 2017: 181-183).

Dalam praktiknya, menurut AID (12 Februari 1921) pembangunan jalur tersebut berlandaskan kepada aturan pemerintah kolonial pada 4 Januari 1916, dengan panjang mencapai 5,25 kilometer. Perancangannya mulai dilakukan pada Maret 1916 dan 1 Oktober 1916 sudah dinyatakan siap. Dengan terbitnya aturan dari direktur Gouvernements-bedrijven nomor 13057 tanggal 23 Oktober 1916, izin untuk mengangkut barang-barang diberikan. Panglima tentara kolonial kemudian mengusulkan agar jalur tersebut diperpanjang hingga Citali. Persiapan pembangunannya dimulai pada 1917, sementara biaya pertamanya berasal anggaran tambahan tahun 1917 dan pembangunannya sendiri diatur melalui aturan tanggal 23 Februari 1918 (Indisch Staatsblad 181).

Ternyata permintaan panglima KNIL tidak dikabulkan pihak jawatan kereta api. Sehingga pembangunannya hanya sampai ke Tanjungsari, yang terletak di atas daerah aliran sungai. Pembangunan seksi pertama ke Jatinangor, konon, tidak mendapatkan kesulitan. Namun, dengan harga besi yang melambung tinggi selama Perang Dunia I, pengunaan logam tersebut hanya diperuntukkan bagi struktur yang penting-penting saja dan semaksimal mungkin memanfaatkan material yang dihasilkan di dalam negeri.

Salah satu catatan penting saat pembangunan jalur itu adalah kala membangun viaduk (spoorwegviaduct) Cikuda. Sebab viaduk ini bukan hanya menarik dari sisi teknik dan ekonomi, melainkan juga dari sisi arsitektur. Jembatan tersebut ada pada kemiringan 22,5 derajat dan busur 200 meter. Panjang keseluruhan viaduk Cikuda adalah 115,55 meter. Demikian pula dengan jembatan di atas Sungai Cikeruh, yang dimensi kubahnya hampir sama dengan jembatan Cikuda.

Akhirnya, jalur simpangan Rancaekek-Tanjungsari yang dikerjakan di bawah pengawasan insinyur kepala J.K. Lagerwey itu dibuka untuk umum pada hari Sabtu, 12 Februari 1921.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//