• Opini
  • Menggugat Tuhan di Kala Bencana, Sebuah Diskursus

Menggugat Tuhan di Kala Bencana, Sebuah Diskursus

Beragam bencana mengepung tatanan hidup kita. Banjir, tanah longsor, perang, dan termutakhir, Covid-19. Kita “membaca” rentetan peristiwa ini sebagai teguran Tuhan.

Andreas Maurenis Putra

Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung. Penulis Lepas dan Pemerhati isu-isu Eco-social.

Petugas permakaman dibantu petugas rumah sakit hendak menguburkan jenazah di TPU khusus permakaman Covid-19, Cikadut, Bandung, Jawa Barat, Selasa (24/8/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

11 Desember 2021


BandungBergerak.idPada 300 SM, Epikuros pernah merumuskan kegelisahannya tentang Tuhan. “Kalau Tuhan itu ada, dari manakah datangnya bencana? Kalau Ia sungguh-sungguh ada, Mahakuasa, Mahabaik, dan Mahatahu, mengapa Ia tidak campur tangan untuk mencegah berbagai pengalaman hidup yang buruk dan mengerikan itu?” (Kleden, 2007).

Pertanyaan sang filsuf Yunani kuno ini, rupa-rupanya selalu terulang oleh bangsa manusia hingga hari ini. Tuhan selalu menjadi fakta yang dipersoalkan dalam kepasrahan. Di kala hilang harapan, dalam situasi batas, dan ketika rasionalitas tak mampu menepis krisis hidup, Dia adalah sandaran terakhir. Tuhan adalah tempat pelarian sekaligus gugatan final kala situasi menjadi tak menentu.

Persis di ranah ini, sadar atau tidak, kita melakukan hal serupa. Sebagai bangsa yang religius, gugatan terhadap eksistensi Tuhan akibat rentetan peristiwa kemanusiaan yang tak kunjung berakhir, merupakan sesuatu yang murah meriah. Kita mempertanyakan eksistensi Tuhan, memperkarakan kemaharahiman-Nya tetapi di saat bersamaan, kita seakan mengingkari “keilahian dalam kemanusiaan” kita.

Bukankah kita adalah “gambaran Allah”, memiliki sifat-sifat keilahian dalam diri? Sudah sejauh mana kita menarasikan keilahian itu dalam kontekstualisasi iman yang transformatif? Iman yang mewujud dalam tindakan yang mampu mengubah dunia menjadi lebih baik. Sejauh mana sifat-sifat Allah (kasih sayang, murah hati, lemah lembut, damai, pemelihara, bijaksana) yang teremanasi dalam diri, dipraksiskan?

Di tengah silih bergantinya badai duka kemanusiaan, kita “mengadili” Tuhan. Kita persis Epikuros. Mempertanyakan-Nya adalah dalih dan sikap apologetis atas semua ketakutan terhadap tuntutan tanggung jawab untuk “mengusahakan dan memelihara taman dunia (bumi)” (bdk. Kejadian, 2:15).

Beraneka macam bencana mengepung tatanan hidup kita. Mulai dari banjir, tanah longsor, kecelakaan transportasi, perang, dan termutakhir, Covid-19. Yang kita “baca” dari rentetan peristiwa ini adalah tentang “teguran Tuhan”. Bukan menelisik seluruh bencana kemanusiaan itu sebagai bentuk kegagalan atas tanggung jawab yang kita emban.

Kita memaafkan “kerapuhan dan kelalaian” manusiawi dengan cara mempertanyakan kemaharahiman Allah: mempertanyakan eksistensi-Nya terutama sifat-sifat-Nya. Kita tak ubahnya dengan menyalahkan kerikil kecil saat terantuk ketimbang menegur diri atas kekuranghati-hatian sendiri.

Maka ketimbang mempersoalkan “bencana sebagai teguran Tuhan”, beragam kenyataan krisis hidup mestinya mengantar kita pada sharing pengalaman rohani yang lebih mendalam, yang sesungguhnya berakar pada kemanusiaan kita daripada menggugat Tuhan. Membicarakan tujuan hidup, menyadari kerapuhan sehingga butuh penyertaan Tuhan, bertanya apa yang Tuhan kehendaki pada hidup sejak awal penciptaan adalah lebih urgen dan esensial. Karena dari konteks inilah, manusia akan disadarkan kembali akan realitas dan makna sesungguhnya sebuah krisis kehidupan. Kesadaran ini akan membawa kembali manusia ke ihwal awal penciptaan, merenungkan kepercayaan Pencipta, menghadirkannya di bumi, dan kepercayaan penyerahan seluruh ciptaan lain ke dalam “kuasa manusia” (memelihara bukan menaklukkan).

Tentu, di balik semua ini, sesungguhnya ada pertanyaan besar yang perlu disematkan. Apa peran (pembelajaran) agama bagi manusia? Tak dipungkiri, konsen agama-agama adalah intens mempertanyakan hakikat Tuhan. Siapa itu Tuhan? Seakan-akan eksistensi-Nya dapat dipenjarakan dalam satu-dua rumusan belaka. 

Dalam bahasa yang sedikit ekstrem, agama hanya mengobral tentang hal-hal transendental tetapi tidak mampu menyelami rahasia Ilahi dalam terang realitas kehidupan nyata. Di sini peran agama “tak lebih dari obat penghibur batin tanpa pesan pembebasan bagi umat manusia” (J.B Metz). Agama-agama mengajarkan tentang Tuhan tetapi seringkali gagal menekankan apa yang dikehendaki Tuhan di dalam dunia. Di sini terjawab. Tidak ada kehendak buruk dari Tuhan untuk dunia. Tuhan menginginkan dunia ini menjadi lebih baik, dijaga dan dirawat. Dan perspektif demikian diajarkan dengan sangat ketat oleh agama mana pun.

Sayangnya konteks tersebut tidak dibaca secara baik dan dengan penuh sadar oleh pengikutnya. Bahkan sering kali atas nama surga, orang tak tanggung-tanggung “menjadi Tuhan” terhadap yang lain. Atas nama surga, orang menghabisi hidup sesamanya. “Atas nama surga” orang mengadili dan membasmi hidup orang lain terutama mereka yang tak sepaham bahkan yang seiman namun tak sepaham. “Surga” seringkali menjadi legitimasi pembasmian kemanusiaan. Padahal perkara “surga yang nanti” (eskatologis) sebetulnya tidak lain adalah usaha membuat dunia ini menjadi lebih surgawi.

Baca Juga: Vonis Hukuman Mati bagi Koruptor, Apakah Melanggar HAM?
Hari Toleransi Internasional, Refleksi Bandung Lautan Damai

Penjual masakan siap saji menembus banjir yang menggenangi Kampung Bojongasih, Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (28/11/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Penjual masakan siap saji menembus banjir yang menggenangi Kampung Bojongasih, Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (28/11/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Nafsu untuk Diakui

Maka ketika krisis-krisis kemanusiaan hadir di tengah tatanan hidupnya, sangat tidak pantas manusia menggugat Tuhan. Melalui akal budi (daya pengetahuan) mestinya kesalehan ronahi di ruang privat dinarasikan dengan baik ke dalam kesalehan sosial. Hal demikian sebetulnya sudah melekat dalam diri manusia sedari awal terutama saat mulai memahami pengetahuan yang benar dan yang salah.

Namun kenyataan yang dihadirkan adalah dogma antroposentrisme naïf yang mengabaikan kepabilitas nurani (hati, suara hati) yang kemudian menjadi legitimasi pengagungan “ke-aku-an” ketimbang bersimpuh dengan rendah hati di hadapan semesta. Slogan “keakuan” ini kemudian mengubah setiap individu bertindak sewenang-wenang terhadap alam dan sesamanya. Tujuannya untuk menguasai secara brutal. Namun begitu, konsep ke-aku-an memang lumrah jika menukil ungkapan Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man (1992). Bahwa dasar penggerak sejarah manusia adalah “perjuangan untuk diakui.”  Ditarik ke dalam konteks krisis lokal dan global, tak dipungkiri lagi, semua krisis kemanusiaan tersebut merupakan akibat dari perlombaan manusia untuk mendapat pengakuan dari sesamanya, pengakuan dari bangsa lain, pengakuan dari negara lain.

Nafsu untuk “diakui” inilah menghilangkan kesadaran akan nilai intrinsik ciptaan lain bahkan nilai kemanusian sendiri. Nilai solidaritas terhadap seluruh ciptaan atau semesta tercerabut dari hati manusia. Kesadaran bahwa seluruh ciptaan berharga di mata Tuhan raib oleh nafsu kapitalistik. Menjarah bumi tanpa batas seolah ia adalah mesin yang tak pernah berhenti berproduksi adalah tindakan yang bisa sama-sama dimaklumi.

Untuk itu, bencana dalam bentuk apa pun sebetulnya merupakan peluang berharga bagi manusia untuk merefleksikan masa lalunya dan mempertanyakan eksistensi dan esensinya di masa depan. Bukan sebaliknya memperkarakan Sang Pencipta (menggugat Tuhan) melainkan merumuskan dunia macam apa yang ingin manusia bentuk dan huni di masa depan. “Perjuangan untuk diakui” kini harus diterjemahkan dalam praksis yang positif: saling berlomba menjadi saudara bagi seluruh ciptaan. Menjadi saudara melampaui sekat perbedaaan.

Bencana harus membawa kita pada metanoia sosial dan mengubah direksi kesalehan pribadi yang naïf ke arah pertumbuhan sosial-global. Bukan ke arah perpecahan, pengotak-kotakkan tetapi perwujudan kesetiakawanan global menuju keadaban baru.

Dengan kata lain, menukil Bambang Sugiharto (Kompas, 7 Agustus 2020) bencana mestinya membenturkan manusia kembali pada persoalan eksistensial dasar. Manusia tak hanya hidup berdasarkan teknologi dan data. Hidup dan perilakunya terutama dikelola berdasarkan makna. Kualitas keadabannya ditentukan oleh bagaimana secara reflektif kita memaknai kehidupan; cara berpikir, cara bersikap, dan nilai-nilai apa yang diprioritaskan di tengah semesta. (Semacam ingin) mempertegas ungkapan Bambang Sugiharto, Ensiklik “Fratelli Tutti” turut menghadirkan pesan Paus Fransiskus atas krisis kemanusiaan yang menjangkiti dunia, yakni kesenjangan ekonomi, kapitalisme, politik identitas, peperangan, radikalisme, terorisme, Covid-19, berita bohong (hoaks), dan sebagainya.

Jalan utama mengatasi seluruh krisis kemanusiaan ini adalah kembali kepada manusia. Dalam artian, kesadaran manusia untuk melihat kembali “tanggung jawab” yang diberikan oleh Pencipta sejak awal penciptaan -kelahiran manusia. Tanggung jawab itu adalah untuk memelihara “taman dunia” bukan menguasai melalui tindakan destruktif. Maka dengan melihat aneka ancaman dan bencana global manusia mesti berusaha mewujudkan tanggung jawab tersebut secara global. Berangkat dari konteks lokal. Caranya, membangun persaudaraan dan persahabatan sosial. Itu adalah hal yang penting. Itulah undangan Paus Fransiskus kepada dunia melalui “Frateli Tutti.” Jalan inilah akan menyelamatkan kita semua. Ini adalah kesempatan kolektif untuk naik ke level kesadaran-nilai lebih tinggi yaitu kemampuan kerjasama global dalam kreativitas yang saling peduli.

Dengan begitu, Tuhan tidak perlu harus digugat di kala terjadi bencana kemanusiaan. Seakan-akan Tuhan harus bertanggung jawab atas setiap bencana yang menimpa manusia.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//