Hari Toleransi Internasional, Refleksi Bandung Lautan Damai
Ketika terjadi penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah, dan di belahan lain terjadi konflik SARA, ini fenomena aneh karena bukan termasuk watak bangsa kita.
Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
16 November 2021
BandungBergerak.id - Bila kita menyebut Bandung, maka dapat dipastikan muncul sederetan sebutan lain yang melekat pada Bandung: Kota Kreatif, Kota Kembang, Paris Van Java, Bandung Lautan Api, Bandung Lautan Damai. Saking reueusna, memang "Bandung diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum," kata M.A.W Brouwer, yang kutipannya kerap dijadikan latar untuk selfie atau foto bersama kawula muda. Kutipan tersebut ada pada dinding jembatan penyeberangan orang Jalan Asia Afrika, di dekat Bank Mandiri.
Masih terkait perdamaian, sejatinya kehadiran peringatan Hari Toleransi Internasional pada 16 November menjadi momentum hidup rukun, damai, berdampingan antara suku, agama, ras, golongan yang beragam di Bumi Pasundan ini. Pasalnya, membangun hidup damai (peaceful co-existence) merupakan salah satu tujuan dari toleransi sejati guna menciptakan masyarakat madani (beradab).
Pasalnya urang Paris Van Java, memiliki BaLaD (Bandung Lautan Damai) yang aktif menyuarakan dan mengkampanyekan semangat toleransi dan keberagaman dengan slogan Keep Updated, Being Trendy in Humanity.
Dalam akun resmi @bdglautandamai, Koalisi masyarakat Bandung Raya untuk toleransi dan keberagaman ini memiliki 796 postingan, 1.120 pengikut dan 471 mengikuti. Di sana tertulis Deklarasi Prinsip-Prinsip Tentang Toleransi dari UNESCO:
"Tolerance is respect, acceptance and appreciation of the rich diversity of our world's cultures, our forms of expression and ways of being human" (Deklarasi Prinsip-Prinsip Tentang Toleransi, UNESCO).
Sejak sembilan tahun yang lalu, Jakatarub bersama masyarakat Bandung Raya merayakan Festival Bandung Lautan Damai (Balad) sebagai momen peringatan Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada 16 November setiap tahunnya.
Sebagaimana Bandung Lautan Api, Bandung Lautan Damai adalah semangat yang sama untuk merawat negeri ini. Begitu juga Balad -- yang dalam bahasa Sunda berarti sahabat -- tidak terbatas bagi orang Bandung saja, bersahabatlah dengan semua orang!
Tema Balad 2021 "Toleransi Sebagai Gaya Hidup" dengan tagline #ToleranStyle. Dalam narasi tersebut, kita percaya bahwa toleransi bukan semata jargon, retorika, dan formalitas belaka. Sekali lagi kita teguhkan bahwa bergiat tentang toleransi adalah hal yang asyik, keren, dan kekinian.
Sebagai komunitas penggerak toleransi dan keberagaman, Jakatarub mengundang para aktivis kemanusiaan untuk bertemu dan melepas rindu. Kita bercerita tetang toleransi di Tanah Parahyangan ini.
Hikayat Balad
Dalam laporan Gerakan Lautan Damai Dideklarasikan disebutkan setidaknya 10 komunitas masyarakat mendeklarasikan gerakan Bandung Lautan Damai di Gedung Indonesia Menggugat, Jumat (16/11/2012). Gerakan ini bertujuan mempromosikan toleransi di kalangan masyarakat dalam menghadapi perbedaan. Deklarasi dilakukan di tengah peringatan Hari Toleransi dan diikuti setidaknya 80 pengunjung. Gerakan Bandung Lautan Damai diinisiasi setelah masing-masing perwakilan memberikan pernyataan.
"Kami menolak segala bentuk kekerasan atas nama agama," kata Yunita, penggiat Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub).
Hal serupa diutarakan beberapa komunitas lain, seperti Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Lembaga Bantuan Hukum Bandung, dan Front Pembela Pancasila.
Model Gerakan Bandung Lautan Damai berupa kampanye, seperti pemutaran film bertemakan toleransi kepada pelajar ataupun seminar (Kompas, 16/11/2012).
Dalam tulisan Sosok Wawan Gunawan, Setia Semai Benih Keberagaman menjelaskan pada Bandung Lautan Damai 2012, misalnya, dilakukan pemutaran film dan bedah buku bertema toleransi. Tujuannya, meredam maraknya gerakan intoleransi beragama.
Penelitian Setara Institute pada 2011-2012, Jabar menempati peringkat pertama sebagai wilayah dengan kasus intoleransi terbanyak di Indonesia.
“Konsep kegiatan disesuaikan dengan kreativitas peserta. Ada yang membuat komik, meme, dan kampanye di car free day. Saya hanya mengasuh,” tandasnya.
Hampir di semua kegiatan Jakatarub selalu melibatkan pemuda. Pasalnya, pemuda menjadi aset yang berperan penting untuk mengawal kerukunan di masa depan. “Napas mereka (anak muda) masih panjang. Saya hanya berbicara substansi. Mengenai ekspresi dan kreativitas, mereka punya cara sendiri,” tegasnya.
Mengingat suatu saat para pemuda itu akan memiliki peran strategis di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, mereka memerlukan wawasan toleransi agar bergerak aktif menjaga kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Dengan begitu, toleransi tidak sekadar narasi yang didiskusikan di ruang-ruang formal. Tetapi, dekat dengan masyarakat untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Kompas, 29/09/2020).
Pada tulisan Bandung Lautan Damai Peringati Hari Toleransi Internasional, ditegaskan keunikan Balad ini, bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2012), Pekan Aksi #BDGLautanDamai 2013 digelar enam acara: Kampanye Car Free Day; Workshop “Jurnalisme Keberagaman”; Seminar Keberagaman; Pemutaran Film; Pentas seni dan orasi budaya; Peluncuran Buku #Dialog100.
Walhasil, kegiatan ini sengaja dipilih untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas. Dengan harapan #BDGLautanDamai dapat memberikan inspirasi betapa perbedaan dan toleransi menjadi penyejuk bagi masyarakat Indonesia.
Aliansi #BDGLautanDamai 2013 ini didukung oleh lembaga-lembaga: Jakatarub, CommonRoom, Museum KAA, CherisYIC, LayarKita, Historia van Bandoeng, Gusdurian Bandung, Front Pembela Pancasila, Gereja Kristen Pasundan, LBH Bandung, PMII Jabar, Praxis in Community, Jaringan Radio Komunitas, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman, Karsiwa, INCReS.
“Acara tahun ini lebih populer dan banyak melibatkan anak muda dengan kegiatan yang berbeda-beda” ungkap Risdo (29), relawan Balad.
Mulai dari defile dan photo booth, workshop jurnalisme keberagaman, seminar keberagaman sebagai modal peradaban Kota Bandung, pemutaran-pemutaran film toleransi, pentas seni, orasi kebudayaan sampai peluncuran buku Dialog 100.
Dalam orasi budayanya, Direktur the Wahid Institute Ahmad Suaedy mengeluhkan, “Indonesia adalah bangsa yang toleran. Tapi sekarang ada pergeseran dari toleran ke intoleran,” ujarnya.
Ahmad menegaskan perlunya belajar lagi soal Indonesia, sebab keutuhan negara ini dipengaruhi hubungan antar-kelompok.
Koordinator Bandung Lautan Damai Wawan Gunawan mengungkapkan, “Jangan mengaku orang Indonesia, tapi kita menginjak kebhinnekaan.” Memang Indonesia sudah sejak dulu beragam, dan inilah yang harus dijaga seluruh anggota masyarakatnya (Satu Harapan Kamis, 14/11/2013 13:18 WIB dan www.untukharmoni.com).
Baca Juga: Data Jumlah Penduduk Kota Bandung di Era Orde Lama 1952-1966, Ketika Warga Bandung Kembali dari Pengungsian
Gejala Kekerasan Seksual Digital masa Pandemi Covid-19 di Bandung dan Nasional
Menimbang Penghargaan Bidang Gender di Tengah Lonjakan Kasus Kekerasan pada Perempuan selama Pagebluk
Dari Kisah Menuju Perjumpaan Kasih
Buku #Dialog100 ini berisi 100 kisah persahabatan lintas-iman yang berusaha menghadirkan pentingnya toleransi beragama melalui kisah dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Kata Pengantar Penerbit, Elga J. Saparung menuliskan sangat mendukung penerbitan buku #Dialog100. "Cerita-cerita orisinil berdasarkan pengalaman sehari-hari dalam pertemanan, persahabatan dan persaudaraan ketika beraktivitas dan berinteraksi lintas-iman di berbagai tempat, kesempatan dan bersama berbagai kelompok masyarakat mulai dari dalam keluarga sampai di lingkungan masyarakat umum."
Mengapa penting? Pada dasarnya, di tengah-tengah masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, kita masih bisa menemukan kerukunan dan toleransi antar-umat beragama dan berkeyakinan yang berlangsung secara murni dalam kehidupan sehari-hari. Kerukunan dan toleransi tidak direkayasa, tidak dipaksakan, juga tidak dalam rangka tertentu, apalagi kepentingan politik kekuasaan dan uang atau kepentingan eksklusivitas keberagamaan warga masyarakat.
Sayangnya, pengalaman-pengalaman orisinil semacam itu tidak terakomodir di dalam media publik, sehingga hanya menjadi pengetahuan dan informasi di kalangan terbatas yang sifatnya lokal saja.
Padahal pengalaman-pengalaman nyata seperti itu sangat penting untuk diketahui banyak orang. Paling tidak, ada banyak orang lain yang akan jadi paham bahwa interaksi dan pergaulan, persahabatan, pertemanan, bahkan percakapan, diskusi, dialog antara-iman itu sama sekali bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan, ditakuti, bukan pula harus dihindari, ditolak, dilawan.
Interaksi dan dialog antariman tidak bakal mengaburkan iman dan hidup keberagamaan siapa pun, melainkan akan lebih menguatkan dan memperteguh keyakinan imannya sendiri serta mendewasakannya sebagai seorang warga negara beradab yang paham konsitusi.
Pada waktu yang sama, yang bersangkutan akan semakin mampu menghargai orang lain, yang berbeda agama dan keyakinan, karena semakin banyak hal yang dia tahu, dia kenal dan paham tentang agama dan keyakinan dari orang lain. Semua itu terjadi bukan hanya karena mendengar dari kabar berita, informasi media, tetapi dari proses interaksi secara langsung.
Cerita-cerita semacam ini sangat patut dipublikasikan. Semakin mampu kita menulis dan mempublikasikan pengalaman-pengalaman nyata dari kita sendiri, akan semakin membantu membuat orang lain mengerti bahwa perbedaan tidak perlu ditakuti, dibenci, dihindari, ditolak. Perbedaan justru akan membantu kita lebih dewasa, tidak saja sebagai seorang warga negara dari sebuah negara yang memiliki konsitusi, UUD 1945, Pancasila, tetapi juga seorang warga negara yang beradab yang mampu memperaktikkan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya secara baik dan benar.
Dalam prolog #Dialog100, Wawan Gunawan, Koordinator Bandung Lautan Damai menegaskan ihwal pluralisme dan kita. Alkisah, Bu Haryono, tetangga depan rumahnya, diam-diam memberikan itu sebagai kado Natal buat si Mbak. Menariknya, Bu Haryono itu beragama Islam, yang sangat perhatian memikirkan sesuatu yang bisa menambah kebahagiaan tetangganya yang berlainan iman dalam perayaan hari besar keagamaan. Barangkali karena semuanya bersumber dari ketulusan hati apa yang diberikan begitu pas, klop dengan apa yang diinginkan.
Boleh jadi, kita menganggap itu hanya kebetulan. Tapi simpulan itu bisa berubah. Walhasil, ketika Bu Haryono dengan sengaja memasak secara khusus buat Mbak. Surprise, setelah secara diam-diam juga mengetahui Mbak menyukai satu jenis makanan.
Seratus kisah persahabatan lintas iman itu rasanya perlu dicatat baik-baik dalam lembar sejarah perjalanan kita, agar kesadaran kita terus terjaga bahwa orang Indonesia sudah sangat siap dan sangat terbiasa dengan yang namanya perbedaan. Masyarakat kita sejak dulu sudah selesai menyikapi perbedaan-perbedaan itu secara arif dalam bingkai keharmonisan alamiah yang penuh cinta. Tidak ada alasan untuk saling membenci. Pluralitas itu sudah menjadi makanan keseharian kita. Mengingkari kemajemukan itu artinya mengingkari kenyataan dalam hidup ini.
Ketika di terjadi penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah secara anarkis, di belahan lain terjadi konflik SARA, dan di belahan Indonesia lainnya banyak terjadi aksi kekerasan mengatasnamakan agama, ini merupakan fenomena yang aneh karena bukan termasuk watak bangsa kita sesungguhnya.
Kalaupun peristiwa-peristiwa kekerasan itu secara faktual memang ada, jangan biarkan itu mengubur kisah-kisah kearifan kita yang jelita. Anggap itu godaan dari sekelompok oknum orang Indonesia yang ingin melukis wajah kita tidak sesuai dengan aslinya. Bhineka tunggal Ika yang kita jadikan falsafah oleh para founding father kita diambil dari khazanah akar sejarah kebudayaan kita sendiri. Itu artinya sudah sejak lama bangsa kita merupakan bangsa beradab. Dengan demikian, kita no problem dengan pluralisme. Pluralisme di Indonesia itu historis dan faktual, bukan konseptual.
"Terus terang, saya mengalami perkembangan pemikiran menjadi seorang pluralis ternyata bukan karena membaca Frithjof Schuon, Hans Kung, Bubber, John Hicks, tetapi tersentuh oleh banyak interaksi antara saya dengan teman-teman lintas agama di Jakatarub yang membuahkan cerita-cerita persahabatan penuh ketulusan. Jika saja satu cerita mendatangkan satu perubahan, maka selautan cerita akan menumbuhkan samudra perubahan" (Aphrem Risdo Simangunsong, Gabriella Ria Apriyani, dkk [Wiwin Siti Aminah R, editor], 2014:11-16).
Dalam sambutan buku Melangkahi Luka: 12 Kisah Perjalanan Menuju Damai, Hardya Pranadipa, Tim Search for Common Ground Indonesia mengakuinya adakalanya usaha toleransi dan bina damai diberi lebel negatif oleh kelompok yang tidak puas. Di tengah kegelisahan menemukan cara hidup damai dalam perbedaan, kumpulan kisah-kisah nyata ini dapat menjadi inspirasi bagi para pembaca.
Ke-12 cerita nyata ini berkisah tentang kuatnya upaya nirkekerasan. Mulai dari terjadinya proses transformatif masing-masing etnis, agama dan kepercayaan. Hingga mereka yang selama ini berkonflik (dianggap aib masyarakat), berusaha mengenali, membongkar prasangka buruk terhadap kelompok lain. Dengan cara-cara yang sederhana seperti pertemuan antar warga, dialog ringan dan permainan, mereka membawa perdamaian.
Dua belat kisah ini menawarkan cara bagaimana kita dan kelompok yang berkonflik dengan kita, mampu memahami, memaafkan, dan menerima kelompok yang berbeda tanpa mengandalkan kekerasan. Mengingat perbedaan sebetulnya dapat mendewasakan kita untuk bisa hidup dalam masyarakat majemuk.
Karenanya, buku ini sangat tepat digunakan sebagai media bina damai yang efektif. Menyikapi konflik dengan berempati, membuka diri, memahami dan menerima perbedaan. Dengan sikap positif dan konstruktif akhirnya kita mampu terhindar dari jebakan ideologi ekstrimisme kekerasan dan fanatisme sempit. Mari terus mencari dan berbagai perdamaian.
Dalam prolog Melangkahi Luka: Perdamaian yang Pahit-Manis, Aphrem Risdo Simangunsong menegaskan kehadiran kisah-kisah manis itu bukanlah alat meniadakan hal-hal pahit yang jelas-jelas ada. Luka-luka dari insan di negeri ini jelas ada. Ada orang-orang yang tempat ibadahnya disegel, dirusak, bahkan dibakar. Ada sekumpulan orang yang hingga kini terlantar hak-hak sipilnya. Juga ada orang-orang yang tangannya berlumur kebencian pada sesama.
Merangkul sisi manis dan sisi pahit ini, niscaya kita memandang perdamaian dengan cara berbeda. Kita tidak boleh terjebak dalam menghitung luka sedih semata, tapi juga tak pantas menyangkali luka yang jelas menganga. Kita perlu melebur harap sembari menghormati kenyataan yang terkadang masih jauh dari harapan itu. Persis seperti itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang kini kisahnya tersaji di buku ini.
Pemilihan 12 figur dari sekian banyak insan yang sangat layak untuk menuliskan (dituliskan) kisahnya dalam upaya melangkahi lukam, didorong oleh sikap melebur harap, sekaligus menghormati kenyataan. Pertama, kisah mereka adalah kenyataan dan limpah dengan teladan. Ini mewakili keyakinan bersama, bahwa toleransi di Indonesia bukanlah melulu pergulatan para elit aktivis dan para ulama. Toleransi adalah kenyataan keseharian yang dilakoni anak kecil, remaja, pemuda, seorang ibu, ayah dan semua kita. Toleransi bukan sekedar teori basa-basi indah di mimbar dialog formal, tapi pahit-manis keadaan yang dicobahidupi. Justru perjuangan orang-orang seperti inilah yang menjadi tapak otentik untuk mengupayakan toleransi, mewujudkan perdamaian. Gus Dur, sang empu toleransi kita berujar, "Perdamaian tanpa mengusahakan keadilan adalah omong kosong..."
Kedua, berupaya agar orang-orang yang diangkat mewakili berbagai kisah. Tidak hanya satu-dua golongan. Juga tidak melulu soal korban yang kini menang jadi pahlawan damai. Di sini ada kisah anak yang belum terlalu sadar ke mana dia akan melangkah, melewati lukanya. Ada orang-orang yang pernah jadi korban pelaku, namun tengah berbalik jalan. Ada orang-orang yang memilih respons manusiawi, masih tetap sulit mengeyahkan kebencian.
Ketiga, bereksperimen dengan berbagai sudut pandang penceritaan. Rekan-rekan yang kisahnya dituliskan ini ada yang diwawancarai secara intensif, ada yang menuliskan kisahnya sendiri, tapi ada juga yang gabungan dari kedua cara itu. Inilah salah satu kehormatan untuk mempersembahkannya bagi insan di Indonesia yang rindu menapaki perdamaian dalam makna sejatinya, merangkul sisi manis dan pahitnya, menyadari lalu melangkahi luka-luka. Lantas mewujudkan damai yang bisa direngkuh, karena mengupayakan keadilan.
Dalam epilog Selusin Bintang Selatan, Rio Rahadian Tausikal menyampaikan selusin korban ketidaktahuan dan kekerasan. Mereka adalah para pendekar yang telah melewati belantara cemooh, bergulat batin (betulan), kemudian berjalan membawa luka dan pelajaran. Mereka berjalan dengan hati yang diperban, namun menolak mengibarkan bendera putih pada keadaan.
Proses itu hanya bisa dilalui oleh orang yang berani menghadapi takut. Hanya buat mereka yang berhati ksatria. Sebab hanya prajurit terbaik yang mampu berdiri dan menantang arus, kemudian berteriak di tengah gaduh yang memaksa mereka bungkam.
Kisah mereka seperti bisik-bisik di tengah kegaduhan jalan raya. Tapi bisik itu terdengar langsung oleh nurani kita yang begitu lama tidur dalam ketidakingintahuan. Kita ditepuk-bangunkan olehnya dan sadar bahwa kita sedang ditunggu setumpuk pekerjaan rumah.
Masih ada manusia yang haknya dikebiri, masa kecil yang dirampas, pernikahan yang tidak diakui, ketenangan usia senja yang tak kunjung tiba. Plus kejelasan sejarah yang harus dilunasi, dinding prasangka yang harus dirobohkan, dugaan yang harus dikonfirmasi, serta hasrat kebencian yang harus lekas dibuang.
Di tengah ketidakberesan seperti ini kita tidak boleh tertidur nyenyak, tapi kita wajib bermimpi. Maka mari kita memimpikan sebuah masyarakat yang hanya sibuk menggosipkan kesetaraan dan rasa hormat. Satu masa di mana seluruh orang dalam buku ini akhirnya berhenti berisik, karena memang tugasnya telah selesai.
Mimpi kita selalu bisa mencari petunjuk pada kisah-kisah buku ini. Meski mereka telah berakhir di halaman sebelah, hikmah dan semangatnya akan terus melangkah. Mereka berjejer panjang melewati luka demi luka, ibarat oase yang siap memberi kita sejuk dan semangat untuk melanjutkan perjuangan.
Kisah-kisah ini akan selalu terang. Mereka akan menandai langit kecil di semesta kemanusiaan, membentuk gugus Bintang Selatan, yang akan selalu dirujuk manusia yang tersesat di lautan kebencian. Kisah-kisah ini adalah arah bagi mereka yang sakau merindukan perdamaian (Rio Rahadian Tuasikal, Aphrem Risdo Simangunsong, dkk, 2014:1-4 dan 81-82).
Membangun Dialog
Ingat, taman kemajemukan Indonesia tidak akan indah tanpa kerukunan. Untuk menjaganya, Wawan Gunawan (40), Presidium Jakatarub, getol membangun dialog antarumat beragama selama dua dasawarsa. Bersama rekan-rekannya, dia bergerak menyemai benih keberagaman untuk melahirkan generasi toleran.
Dialog itu dibangun lewat kerja sama antarkomunitas keagamaan dan budaya, dimulai dengan saling mengenal, berdiskusi, dan saling memahami. ”Tidak ada dialog antaragama tanpa dialog antarsahabat. Kalau sudah bersahabat, untuk bertanya sesuatu tentang hubungan keagamaan tidak akan tersinggung,” ujar ayah tiga anak.
Jakatarub membuat sekitar 175 kegiatan bertema toleransi serta dialog antaragama dan antarbudaya per tahun. Para pemuda menjadi motor penggerak kegiatan-kegiatan itu. “Jika tidak toleran berarti menuju kehancuran. Negara ini harus terus dijaga dengan mewariskan kerukunan ke generasi selanjutnya,” tutur lulusan S2 Religious Studies UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Tidak jarang, komunitas pemuda justru yang membuka jalan untuk bermitra dengan Jakatarub. Saat ini Jakatarub telah bermitra aktif dengan puluhan lembaga keagamaan, komunitas kebudayaan, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga pendidikan.
“Ini menjadi harapan untuk terus bergandengan tangan dan membangun Indonesia yang damai. Perbedaan adalah kekuatan, bukan pemecah persatuan,” tandas mantan Ketua Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman.
Indonesia mempunyai lebih dari 1.000 suku serta berbagai agama dan penghayat kepercayaan. Keberagaman ini menjadi modal sosial dalam membangun bangsa. Namun, dibutuhkan toleransi untuk mengeratkannya.
Di jalan panjang membangun dialog antaragama dan budaya, rongrongan intoleransi tak pernah padam. Jadi, api toleransi juga harus terus menyala agar kerukunan tetap terjaga (Kompas, 29/09/2020).
Ikhtiar Jakatarub dalam mengelola keragaman dengan pluralisme, di bidang jejaring, program dan media melalui acara-acara yang rutin digelar setiap tahunnya. "Acara-acara Jakatarub meliputi Tur Malam Imlek, Buka Bersama (biasanya sama) GKI Bonti, Youth Interfaith Camp sama GKP dan Balad," jelas koordinator tim media Jakatarub, Arfi Pandu Dinata.
Balad hadir dengan tema 'Bhinneka Tiap Hari', bertujuan untuk mengingatkan kembali warga Bandung soal pentingnya toleransi. "(Ingin) menyatukan bekas-bekas pilpres yang terkoyak, intoleransi yang enggak tersentuh di akar rumput, diskriminasi dan stigma yang masih menjamur. Ingin mengingatkan kalau kita itu beragam dalam hal apa pun," ungkap Arfi.
Jika saat ini wacana toleransi harus dihadirkan dengan gimik yang lebih menarik. "(Balad) bakal konsentrasi di kampanye media sosial. Sudah zamannya wacana toleransi dihadirkan dengan gimik-gimik baru enggak mesti soal pemuka-pemuka agama yang bergandengan tangan," paparnya.
Untuk mewujudkan acara Balad, Jakatarub menggandeng sejumlah pihak untuk bekerja sama, seperti lembaga, organisasi dan komunitas yang sama-sama ikut berkontribusi dalam memperingati Hari Toleransi Internasional.
Kehadiran Balad diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran pada warga untuk makin bertoleransi. Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, berharap Bandung dikenal sebagai kota yang damai.
"(Semoga Bandung) makin toleran, makin ramah, makin damai, makin kece. Bandung itu bagian dari jajaran kota-kota besar di Indonesia. Sedangkan Indonesia itu potret dunia yang terkenal sama keragamannya. Masa iya Bandung yang bersejarah ini, hanya sebatas lautan api. Indonesia punya Bandung, Bandung punya damai," harap Arfi (BeritaBaik.id).
Upaya mewujudkan Bandung Lautan Damai Ini perlu kita dukung secara bersama-sama. Apalagi kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianut merupakan hak dasar setiap warga negara dan dijamin oleh UUD 1945.
Mudah-mudahan dengan adanya Hari Toleransi Internasional pada 16 November tidak hanya penting untuk diperingati dan direfleksikan secara bersama-sama, tetapi harus bisa dijadikan memontum hidup rukun, damai, toleran, menjunjung tinggi setiap perbedaan.
Dengan demikian, terciptanya masyarakat Bandung beradab yang menjunjung tinggi falsafah silih asah, asih dan asuh; tidak mengajarkan perilaku barbar, bengis, anarkis, dan tidak main hakim sendiri dalam setiap menyelesaikan persoalan.
Sudah saatnya kita bertutur tentang kebaikan, cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Sambil ikut melakukan foto bersama di bawah tulisan: "Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi," tulis Pidi Baiq. Agar Bandung menjadi rumah bersama dalam meyakini menghargai, merayakan keragaman. Semoga.