• Kolom
  • NGALEUT BANDUNG: Penerbit Al-Ma’arif, dari Yaman ke Ibu Kota Priangan

NGALEUT BANDUNG: Penerbit Al-Ma’arif, dari Yaman ke Ibu Kota Priangan

Ketika penerbit lain sangat tergantung pada pesanan Departemen Agama, Penerbit Al-Ma'arif sanggup memasarkan Al-Quran dan buku-buku agama Islam ke pelosok kampung.

Alex Ari

Pegiat Komunitas Aleut, bisa dihubungi via akun instagram @AlexxxAri

Pengendara sepeda motor melintas di depan bekas gedung Penerbit Al-Ma'arif di Jalan Lembong Kota Bandung, Rabu (20/4/2022) siang. Penerbit ini terkenal dengan pencetakan Al-Quran dalam jumlah besar sehingga bisa dimiliki warga dengan harga terjangkau. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

22 April 2022


BandungBergerak.id - H. M. Baharthah, direktur sekaligus pendiri PT. Al-Ma’arif dalam tulisannya di awal buku Daftar Buku Penerbit PT. Al-Ma’arif tahun 1976 mengutip perkataan Walter Hines Page, yang dituliskan sebagai penerbit Inggris (sebenarnya Walter Hines Page adalah duta besar Amerika Serikat untuk Inggris yang memiliki perusahaan penerbitan Doubleday dan Page & Company di New York.): “Membikin buku adalah pekerjaan seni, menjual buku adalah profesi terhormat, memilih buku mana yang baik untuk dicetak adalah tugas intelektuil”. Baharthah sendiri bukanlah kaum terpelajar yang memiliki latar belakang pendidikan sekolah formal, melainkan seorang otodidak atau self made man.

Baharthah lahir di kota Al Ghurfah, Yaman Selatan pada tahun 1903. Kondisi ekonomi keluarganya yang miskin membuat Baharthah tak pernah mendapat pendidikan di bangku sekolah formal. Saat usianya 12 tahun, dia sudah bekerja membantu ayahnya yang mencoba berdagang di kota Mukalla dan Aden.

Pada tahun 1924, Baharthah pergi merantau ke Singapura, sebuah kota yang menurut L. W. C. van den Berg dalam bukunya Hadramaut Dan Koloni Arab Di Nusantara merupakan salah satu tempat tujuan para perantau dari Yaman. Baharthah yang buta huruf awalnya bekerja sebagai tukang sapu di sebuah toko dan kemudian memperoleh kesempatan magang sebagai asisten pedagang kain batik.

Dari Singapura, Baharthah kemudian masuk ke wilayah Hindia Belanda. Kota Medan merupakan tempat pertama di wilayah Hindia Belanda yang ditinggalinya. Di kota di pantai timur Sumatera ini Baharthah tinggal dari tahun 1930 hingga 1935.

Dari Medan, Baharthah kemudian pindah ke Cirebon yang merupakan salah satu koloni perantau Yaman dengan jumlah perantau yang cukup besar di Hindia Belanda. Dia bekerja di toko Mesir milik seorang pengusaha otodidak bernama Abdullah bin Afif. Ketika tinggal dan bekerja di Cirebon inilah, Baharthah mulai belajar membaca dan menulis huruf latin serta belajar ilmu bisnis modern. Di toko Mesir yang memilki usaha di bidang usaha tenun, penjualan kain dan toko kitab, Baharthah bertugas di bagian penjualam kain. Kelak pengalaman kerjanya di toko Mesir dari tahun 1935 hingga 1943 akan sangat membantu Baharthah dalam usahanya kemudian.

Pada tahun 1943, setelah tentara Jepang mengusai Hindia Belanda, Baharthah memutuskan untuk berhenti bekerja di toko Mesir dan pindah ke Bandung. Kondisi yang serba sulit saat masa pendudukan Jepang membuat Baharthah mencoba berbagai usaha untuk bertahan hidup.

Baharthah kemudian menjadi agen pabrik tenun cap “Padi” untuk seluruh wilayah Jawa Barat pada tahun 1948, hingga kemudian menduduki jabatan sebagai kordinator pemasaran dan desain. Nasib Baharthah mulai membaik saat dirinya membantu penjualan sebuah perusahaan penerbitan Al-Qur’an yang tak mengetahui pasar.

Dari pengalamannya ini, mucul kenginan Baharthah untuk memiliki perusahaan penerbitannya sendiri. Mula-mula dia dibantu seorang teman untuk mendirikan N.V. Kebijaksanaan Maarif yang hanya bertahan kurang dari setahun. Baharthah kemudian memutuskan untuk mendirikan usahanya sendiri dengan nama PT. Al-Ma’arif pada tanggal 14 Desember 1949.

Tercatat dalam kurun waktu lima tahun, yaitu dari tahun 1950-1955, penerbit Al-Ma’arif setiap bulan mampu mecetak rata-rata 10.000 eksemplar Al-Qur’an. Pada tahun 1970-an, perusahaan ini mampu meningkatkan pencetakan Al-Qur’an menjadi rata-rata 50 ribu eksemplar setiap bulannya.

Dalam menjalankan usaha penjualan buku, kitab, dan Al-Qur’an, Baharthah melakukan strategi penjualan langsung “dari pintu ke pintu” (door to door) menggunakan jasa para pedagang buku gedong yang berdagang keluar masuk perkampungan. Harga buku, kitab, dan Al-Qur’an yang ditawarkan penerbit Al-Ma’arif sangat terjangkau oleh kalangan orang berpenghasilan rendah karena Baharthah menerapkan starategi mencari keuntungan melalui jumlah cetakan.

Selain buku agama, PT. Al-Ma’arif juga menerbitkan buku-buku umum yang dijual di toko serba ada, toko buku besar, dan kios penjual buku.

Seperti dicatat pada buku Daftar Buku Penerbit PT. Al-Ma’arif tahun 1976, saat itu jumlah pegawai perusahaan ini 800 orang dengan dukungan mesin percetakan mulai dari mesin buatan tahun 1890 hingga mesin terbaru tahun 1975. Selain aset gedung percetakan di Jalan Lembong, Kota Bandung, saat itu Al-Ma’arif juga memiliki gedung di Jalan Markoni yang difungsikan sebagai gedung bagian kesehatan.

Baca Juga: NGALEUT BANDUNG: Bandung di Masa Bersiap
NGALEUT BANDUNG: R. Ating Atma di Nata, Wali Kota Bandung Pertama dari Kaum Bumiputra
NGALEUT BANDUNG: Semerbak Nama Haryoto Kunto di Bandung Raya

Potret H. M. Baharthah, direktur sekaligus pendiri PT. Al-Ma’arif. Dia seorang otodidak yang dengan jeli melihat peluang di usaha pencetakan dan pemasaran Al-Quran. (Sumber foto: buku Daftar Buku Penerbit PT. Al-Ma’arif tahun 1976)
Potret H. M. Baharthah, direktur sekaligus pendiri PT. Al-Ma’arif. Dia seorang otodidak yang dengan jeli melihat peluang di usaha pencetakan dan pemasaran Al-Quran. (Sumber foto: buku Daftar Buku Penerbit PT. Al-Ma’arif tahun 1976)

Catatan Ajip Rosidi tentang Baharthah dan Penerbit Al-Ma’arif

Kisah lain mengenai Baharthah dan penerbit Al-Ma’arif dapat ditemukan dalam tulisan sastrawan Ajip Rosidi di beberapa bukunya. Di dalam buku Cupumanik Astagina, Ajip menuliskan bahwa ia telah mengenal Baharthah sejak tahun 1964. Saat itu Ajip Rosidi dengan beberapa kawannya hendak menerbitkan majalah dalam bahasa Sunda yang muatan isinya bukan hiburan. Jaminan dari perusahaan percetakan yang mampu mencetak majalah adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh Surat Izin Terbit (SIT).

Pada saat itu di Bandung sangat sulit mencari perusahaan percetakan karena jumlahnya yang sedikit. Mereka sudah kewalahan mengerjakan pesanan. Hal ini masih ditambahan pula dengan kondisi mesin percetakan yang sudah termakan usia. Salah satu contohnya adalah percetakan Cibantar. Untuk mengerjakan pesanan pencetakan koran, majalah dan buku, para pegawainya harus bekerja siang dan malam.

Melalui bantuan dari Djerman Prawirawinata yang menjabat sebagai salah satu direktur di PT. Al-Ma’arif, Ajip Rosidi akhirnya memperoleh kesanggupan pencetakan sehingga ijin terbit untuk majalah yang kemudian diberi nama Majalah Sunda bisa diperoleh. Sejak saat itulah kedekatan antara Ajip Rosidi dengan Baharthah terjalin. Secara rutin Ajip Rosidi kerap datang memeriksa proses cetak Majalah Sunda. Kebetulan letak percetakan Alma’arif di Jalan Tamblong tak terlalu jauh dari kantor Majalah Sunda di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) di Jalan Naripan No. 3.

Merujuk tulisan Ajip Rosidi dalam buku memoarnya yang berjudul Hidup Tanpa Ijazah (Yang Terekam Dalam Kenangan), sosok Baharthah digambarkan berkepala pelontos dengan perawakan pendek. Baharthah dituliskan sebagai perantau dari Hadramaut yang semula tak memiliki apa-apa, namun berkat ketekunan dan keuletannya kemudian bisa menjadi agen Pabrik Tenun Garut (PTG) dan mampu memiliki toko buku “Tamaddun” di Jakarta, bahkan kemudian memiliki usaha percetakan dan penerbitan Alma’arif yang fokus usahanya dalam penerbitan buku-buku agama Islam.

Jika saat itu perusahaan penerbitan buku agama Islam sangat bergantung pada pesanan dari Departemen Agama, tidak demikian halnya dengan Al-Ma’arif. Perusahaan penerbitan Alma’arif justru berusaha menjual bukunya langsung ke masyarakat dengan berbagai cara. Selain melaui toko buku, Al-Ma’arif memanfaatkan jasa para penjual buku gendong agar bisa menjangkau langsung pembeli hingga ke berbagai pelosok kampung. Untuk menyesuaikan target pasarnya, Alma’arif menerbitkan buku yang diperlukan penduduk kampung, di antaranya Al-Qur’an, Juz Amma, dan surat Yasin dengan harga yang murah meskipun kualitas cetakannya tidak terlalu baik.

Masih menurut Ajip Rosidi, sifat hemat Baharthah-lah yang membuat Al-Ma’arif bisa menjual buku terbitannya dengan harga yang murah. Sikap hemat ini bisa dilihat dari penggunaan kertas yang digunakan hingga benar-benar habis. Hal ini juga didasarkan pada harga kertas saat itu yang mahal karena dikenakan tarif bea masuk yang cukup tinggi.

Cerita lain mengenai sikap hemat Baharthah ditulis oleh Ajip Rosidi di bukunya Cupumanik Astagina berdasarkan penuturan Prof. Mukti Ali yang pada tahun 1973 menjabat sebagai Menteri Agama. Menurut Mukti Ali, pada tahun 1965 saat dirinya menjabat sebagai redaktur majalah resmi IAIN Sunan Kalijaga, ia kerap harus datang langsung ke Bandung untuk mengawasi dan mengoreksi proses cetak. Pilihan dijatuhkan pada Alma’arif karena percetakan ini adalah satu-satunya yang memiliki matrijs huruf Arab. Ketika berada di kantor Al-Ma’arif, Mukti Ali tak pernah mendapati mejanya disediakan air minum, padahal di meja Baharthah selalu disediakan tiga gelas yang berisi teh, kopi, dan susu.

Ajip Rosidi dalam bukunya Cupumanik Astagina menyatakan bahwa pada tahun 1973, Al-Ma’arif adalah penerbit terbesar di Indonesia berdasarkan omzet cetakan Al-Qur’an yang setiap tahun bisa mencapai 4-5 juta esksemplar, belum ditambah dengan buku-buku lainnya.

Sayangnya, kebesaran Alma’arif kini tak tampak lagi. Bangunan bekas toko buku penerbit Al-Ma’arif di Jalan Lembong No. 48-50 pernah selama bertahun-tahun dibiarkan kosong, mengubur semua kisah kebesaran penerbit yang didirikan seorang imigran dari Yaman.

*Tulisan kolom NGALEUT BANDUNG merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dan Komunitas Aleut

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//