• Berita
  • Srihadi, Pelukis Pembaharu Seni Rupa Indonesia telah Berpulang

Srihadi, Pelukis Pembaharu Seni Rupa Indonesia telah Berpulang

Satu lukisan abstrak Srihadi berjudul Gadis Bernama Ira, seorang gadis dengan latar bidang geometris. Almarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta.

Dua lukisan abstrak karya Srihadi Soedarsono. (Tangkapan layar Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa, Sandy Adithia)

Penulis Iman Herdiana26 Februari 2022


BandungBergerak.idDunia seni rupa kehilangan salah satu putra terbaiknya, Srihadi Sudarsono. Pelukis sekaligus akademikus ini meninggal Sabtu (26/2/2022) pukul 05.20 WIB di Bandung. Pelepasan jenazah dilakukan dalam prosesi militer di Aula Timur ITB.

Maestro dengan nama lengkap Kanjeng Raden Haryo Tumenggung H. Adhikoesoemo itu juga sebagai Guru Besar purnabakti Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Ia meninggal pada usianya yang ke-90 tahun.

Sebelum dilakukan prosesi pelepasan secara militer, jenazah almarhum disalatkan di Masjid Salman ITB dan kemudian disemayamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta.

Sekretaris Institut ITB, Widjaja Martokusumo menyampaikan pesan Rektor ITB bahwa almarhum adalah sosok yang santun dan penuh hormat kepada siapapun baik senior maupun yuniornya. Sejumlah prestasi dan jasa serta bakti telah dipersembahkan kepada masyarakat bangsa dan negara, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

"Pada kesempatan yang penting ini, saya atas nama keluarga besar ITB, menghaturkan duka cita yang mendalam kepada keluarga besar Bapak Prof. Kanjeng Raden Haryo Tumenggung H. Srihadi Sudarsono Adhikoesoemo, MA. semoga Allah Swt. menerima amal ibadahnya dan mengampuni segala dosa-dosanya dan semoga almarhum mendapat tempat yang terbaik dan tempat yang mulia di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah Swt.," kata Widjaja.

Srihadi lahir di Solo, Jawa Tengah, 4 Desember 1931. Ia merupakan lulusan Fakultas Teknik Bandung (tamat 1959) yang masih menginduk ke Universitas Indonesia. Kemudian melanjutkan sekolah Master of Arts di The Ohio State University (tamat 1962), melanjutkan research program Fulbright-Hays grant (1980) di The Ohio State University, A.S.

Guru Besar Institut Teknologi Bandung tahun 1992 ini mengabdi di ITB selama 40 tahun dan menerima penghargaan piagam bakti cendekia utama ITB tahun 1998.

Berdasarkan buku Aura Biru – Catatan Para Pelaku Sejarah ITB yang diterbitkan oleh ITB (2009), terdapat tulisan yang berjudul “Nostalgia Kampus ITB, Dalam Lima Aura Warna” karya A.D. Pirous. Pada tulisan tersebut, disebutkan bahwa Srihadi merupakan orang yang mendesain lambang ITB yang bentuknya masih lestari hingga saat ini. Tugas mendesain tersebut merupakan tugas dari para tokoh masyhur ITB, di antaranya Soetedjo, S. Soemardja, Soemono, dan R.O. Kosasih.

Baca Juga: Cinta Seniman di GPK Bandung
Ketika Rupa Bertemu Musik
Pameran Perdana Mahasiswa Integrated Arts Unpar

Pelukis sekaligus akademikus Srihadi Sudarsono meninggal dunia, Sabtu (26/2/2022) pukul 05.20 WIB di Bandung. Pelepasan jenazah dilakukan dengan prosesi militer di Aula Timur ITB. (Sumber: ITB)
Pelukis sekaligus akademikus Srihadi Sudarsono meninggal dunia, Sabtu (26/2/2022) pukul 05.20 WIB di Bandung. Pelepasan jenazah dilakukan dengan prosesi militer di Aula Timur ITB. (Sumber: ITB)

Pernah Menjadi Tentara

Menurut buku Biografi Srihadi Soedarsono, almarhum adalah pelukis terkenal Indonesia yang karyanya banyak diburu kolektor dalam dan luar negeri. Selain berkecimpung di seni rupa, Srihadi pernah diangkat menjadi anggota Tentara Pelajar (1945 hingga 1948) sebagai wartawan pelukis yang menciptakan poster-poster untuk Balai Penerangan Divisi IV BKR/TKR/TNI di Solo.

Karier militernya berakhir tahun 1948 ketika terjadi rasionalisasi dengan pangkat sersan mayor dan bersekolah lagi di SMA II Surakarta. Pada periode 1947-1952, ia bergabung dalam Seniman Indonesia Muda di Solo dan Yogyakarta; sejak awal berdiritahun 1950, sebagai anggota aktif dalam pembentukan Himpunan Budaya Surakarta di Solo.

Srihadi aktif mengikuti pameran-pameran seni rupa di Solo dan Yogyakarta. Pada tahun 1952 ia mulai memasuki pendidikan seni di Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung (sekarang Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung). Pada tahun 1955, ia juga menciptakan logo Keluarga Mahasiswa Seni Rupa (KMSR). Logo berbentuk sebuah palette dengan kata-kata "SENI RUPA BANDUNG" dengan lambang Universitas Indonesia. Setelah Maret 1959, bentuk Ganesha menggantikan logo UI di palette tersebut.

Srihadi lulus sebagai sarjana seni rupa dan diwisuda pada hari Sabtu, 28 Februari 1959, tepat dua hari sebelum ITB diresmikan (Senin, 2 Maret 1959). Di tahun 1960 Srihadi mendapatkan beasiswa dari ICA untuk belajar di AS untuk melanjutkan kuliah di Ohio State University hingga mendapat gelar master of art padatahun 1962.

Ia menikah dengan Dra Siti Farida Nawawi dan memiliki dua anak perempuan dan satu anak laki-laki, yaitu Tara Farina, Rati Farini, dan Tri Krisnamurti Syailendra.

Buku Biografi Srihadi Soedarsono juga menyebutkan bahwa karya Srihadi Soedarsono memiliki proses panjang dan berkelanjutan. Karya awal sangat dipengaruhi hasil pendidikan, yaitu geometris sintetik. Berikutnya ia mulai menuju eksperimentasi pada bentuk abstrak lewat tempelan potongan kertas dan spontanitas warna.

Memasuki 1970 karyanya cenderung impresionis lewat cat air dan ekpresionis lewat cat miyak, serta sering memasukkan unsur simbolis dalam lukisannya. Terakhir karyanya muncul dalam bentuk simplifikasi dengan garis horison yang kuat, selain juga lukisan figur-figur puitis yang terinspirasi ajaran Zen.

Pembaharu Seni Rupa dan Lukisan Gadis Bernama Ira

Menurut Sandy Adithia dalam jurnal ilmiahnya mengatakan, Srihadi merupakan salah satu pelukis yang turut melakukan pembaruan dalam peta seni rupa Indonesia. Pembaruan ini berpusat di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Masa pertama dimulai melalui pembaruan yang dilakukan oleh Raden Saleh di abad ke-19 dan dilanjutkan oleh pelukis-pelukis naturalis Indonesia seperti Abdullah Suriosubroto dan Wakidi di awal abad ke-20.

Masa kedua, lanjut Sandy Adithia, dimulai dengan kemunculan Persagi, di mana pembaruan gaya tersebut ditegaskan oleh S. Sudjojono, salah satu anggota Persagi, dalam tulisannya yang berjudul Seni Lukis Indonesia: Sekarang dan yang Akan Datang.

“Pembaruan gaya tersebut berada pada langgam realisme, namun bukan realisme yang berpaku pada realisme di Barat, melainkan perpaduan antara dua kutub mimesis dengan ekspresi,” tulis Sandy yang juga sarjana FSRD ITB.

Selanjutnya, pada pertengahan dekade 1950, ada sebuah masa transisi di antara masa kedua dan ketiga seni lukis Indonesia baru. Masa tranisisi ini memiliki kecenderungan melakukan abstraksi bentuk-bentuk yang nonobyektif dan no-figuratif. Pelukis-pelukis ini antara lain Jusuf Affendy, Ahmad Sadali, Popo Iskandar, Srihadi Soedarsono, Mochtar Apin, But Muchtar, Oesman Effendi, Handrio, Abas Alibasyah, Widayat, G. Sidharta, dan Fadjar Sidik.

Pelukis-pelukis tersebut mayoritas adalah pelukis akademik termasuk Srihadi, kecuali Handrio dan Oesman Effendi. Kemunculan masa transisi beririsan dengan perkembangan awal akademi seni rupa di Indonesia, yaitu Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar (lazim disebut Balai) yang didirikan oleh Belanda pada 1947, dan Akademi Seni Rupa Indonesia (lazim disebut ASRI) yang didirikan oleh bangsa Indonesia pada 1950.

Pemaparan pelukis-pelukis dengan kecenderungan abstraksi tersebut menunjukkan eksponen-ekponen yang disebutkan adalah pelukis-pelukis yang juga siswa di Balai dan ASRI. Ahmad Sadali, Jusuf Affendy, Mochtar Apin, Srihadi Soedarsono, dan Popo Iskandar adalah siswa dan lulusan Balai, sedangkan Fadjar Sidik, G. Sidharta, Widayat, dan Abas Alibasyah adalah siswa ASRI.

Salah satu lukisan abstrak Srihadi Soedarsono berjudul Gadis Bernama Ira. Meskipun abstrak, lukisan ini masih memperlihatkan sosok seorang gadis yang tampak tidak riil.

Menurut Sandy Adithia, lukisan Gadis Bernama Ira tidak hanya menampilkan pendataran obyek dan figur, tetapi juga abstraksi latar menjadi bidang-bidang geometris yang berirama. Meski memiliki kualitas datar, ada permainan kedalaman dan volume dari kualitas warna yang lebih tajam dan sapuan yang lebih rapi. Hal ini menjadikan obyek dan figur sebagai bidang depan perhatian utama pengamat sebelum ke latar bidang-bidang geometris.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//