JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #8: Memupus Kebencian, Meraih Indahnya Hidup Berdampingan
Toleransi dan kerukunan perlu banyak belajar ke dalam negeri bukan ke luar negeri. Melihat harmoni di negeri sendiri.
Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
30 November 2022
BandungBergerak.id—Aktivitas berkunjung (wisata religi) ke rumah ibadah (lintas agama) di Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Bandung seakan-akan menjadi tren gaya hidup baru di tengah-tengah memudarnya kerukunan umat beragama di Indonesia.
Pasalnya, dari ruang perjumpaan yang diikuti anak-anak sejak dini (pelajar), anak muda (mahasiswa), pegiat perdamaian (komunitas, organisasi) ini menjadi gerbang awal untuk merobohkan tembok prasangka, memupus kebencian tak berdasar, mempererat persaudaraan, mengokohkan toleransi, menghargai keragaman agama, budaya, adat, suku, kepercayaan dan indahnya hidup berdampingan.
Baca Juga: JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #7: Merawat Kemah, Menebar Rahmah
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #6: Merayakan Halalbihalal, Meneguhkan Persaudaraan Sejati
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #5: Menebar Peacesantren, Meraih Kebahagiaan
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #4: Indahnya Berbagi Tanpa Basa-basi
Dinamika Wisata Religi
Sebut saja, Wisata Pendidikan Multikultural, Guyub Bocah dan Yayasan Satunama, melakukan kunjungan ke rumah ibadah selama dua hari, Rabu-Kamis (5-6/7/2017)
Sebanyak 69 peserta, pelajar dari usia Sekolah Dasar hingga SMA di Klaten, Surakarta, dan DIY, dengan latar belakang agama yang berbeda-beda mengikuti wisata lintas agama.
Pada hari pertama, kunjungan dimulai dari Kelenteng Fuk Ling Miau, Masjid Gede Keraton, Yogyakarta di Kauman, Gereja Katolik Santo Yusup di Bintaran, dan Gereja Kristen Indonesia di Ngupasan.
Untuk hari kedua, dilanjutkan ke Candi Budha Plaosan, Candi Hindu Sambisari, dan Pura Jagadnata Sorowajan. “Saya jadi tahu. Ada tiga agama di kelenteng itu yang disebut Tri Dharma. Konghuchu, Buddha, dan Chao,” kata Esti, siswi SMP di serambi Masjid Gede di Kauman, Yogyakarta.
Uniknya, anak-anak dikenalkan pengetahuan tentang sejumlah dewa, yang diyakini para pemeluk Tri Dharma; Dewa Candra yang memberi penerangan malam hari, Dewa Surya sebagai penerang siang hari, ada juga Dewi Welas Asih. “Sedangkan agama saya hanya mengenal satu Tuhan, Allah SWT. Tapi dengan mengenal mereka, kami bisa bertoleransi,” kata Esti.
Harapannya agar anak-anak mempunyai gambaran tentang alasan mereka harus saling menghormati, menyayangi teman-temannya yang berbeda agama. (Tempo, Jumat 7 Juli 2017)
Wisata Bhinneka, komunitas Wisata Kreatif Jakarta, dengan titik kumpulnya di Gereja Kristen Jawa, Rabu, (16/01/2019). Untuk rute tur di Cilincing dimulai dari Gereja Kristen Jawa yang masih menggunakan musik gamelan dalam tiap ibadah; Mesjid Al Alam yang sudah berusia 400 tahun; Wihara dan Klenteng Lalitavistara yang berusia 4 abad; Pura Segara yang berada di tepi laut se-Jabodetabek.
Rute tur Gambir, titik kumpulnya di Gereja Immanuel, Kamis, (17/01/2019) dimulai dari Gereja Immanuel dan Gereja Katedral yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda; Masjid Istiqlal yang terbesar di Asia Tenggara; Kelenteng dan Wihara Sin Tek Bio yang sudah berusia lebih dari 4 abad.
Seratus pelajar SMA dan mahasiswa di Jakarta ini mengikuti Wisata Bhinneka. Tujuannya untuk membangun kesadaran toleransi lintas agama dan memperkuat rasa kebinekaan di kalangan generasi milenial dan pendidik. (detikTravel, Kamis, 17 Jan 2019 14:20 WIB)
Wisata Lintas Agama, Wahid Foundation, Lembaga Studi Sosial dan Agama mengajak generasi milenial di Semarang, Jawa Tengah, memperkuat toleransi dan wawasan keberagaman secara langsung.
Puluhan pelajar SMA Negeri 13 Semarang, Kamis (19/12/2019), diajak berkunjung ke tempat-tempat peribadatan: Gereja Katedral Semarang, Pura Agung Giri Natha, Sanggar Kepercayaan Sapta Darma, Vihara Buddhagaya Watugong.
Tujuannya, untuk mengedukasi generasi milenial terkait dengan isu intoleransi dan radikalisme yang bisa memecah persatuan dan kesatuan bangsa. (Republika, Kamis, 19 Desember 2019)
Tour For Peace (Young Interfaith Peacemaker Community, YIPC Indonesia) berkunjung ke lima tempat, komunitas keagamaan di sekitaran Bandung Raya: Gereja Yesus Kristus Bandung, Katedral St. Petrus Bandung, Komunitas penganut Baha’i, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) dan Komunitas penganut Sunda Wiwitan di Kampung Adat Cireundeu, Cimahi.
Tour For Peace yang diikuti oleh pemuda Muslim, Kristen ini dilaksanakan pada Sabtu-Minggu (16-17/2/2019) dan Sabtu-Minggu (23-24/2/2019). Wisata akhir pekan, Sabtu (16/2/2019) berkunjung ke Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir (Mormon) di lanjut ke Katedral Santo Petrus di Jalan Merdeka No. 14, Bandung.
Salah satu peserta Kristiani, Lena menjelaskan ini merupakan pengalaman yang baru untuk bertemu dan berdialog langsung dengan denominasi Kristen yang jarang ditemui. “Ini pertama kalinya aku bertemu dan berdialog dengan teman-teman dari Mormon,” tegasnya.
Hari Minggu (17/2/2019) berkunjung ke salah satu rumah penganut Agama Baha’i di Jalan Kejaksaan Nomor24, Bandung. Tujuannya untuk menghidupkan keberagaman dalam rangka membangun perdamaian, hidup rukun dan toleransi di masyarakat. (Peace News Edisi 6 Maret 2019)
Jelajah Jalur Bhinneka, Balad, Jakatarub. Dalam akun resmi Bandung Lautan Damai @bdglautandamai yang memiliki 817 postingan, 1.332 pengikut, 489 mengikuti menjelaskan Jelajah Jalur Bineka (JJB) ini adalah kegiatan mengunjungi berbagai rumah ibadah di Kota Bandung. Melalui kegiatan ini peserta dapat bersentuhan dengan ornamen dan material keagamaan, sekaligus mengobservasi kegiatan peribadatan di setiap rumah ibadah.
Disamping itu, peserta juga dapat berinteraksi langsung dengan pemuka agama. Sekalian keliling kota Bandung, sambil ngeliat gimana sih kondisi toleransi di sana.
Tahun 2022 dilaksanakan Sabtu, (19/11/2022) dari pukul 08.00-13.00 WIB, dengan titik kumpul di MAKIN, Jl. Cibadak 225.
Sambil mengutip lirik lagu Pujiono - Manisnya Negeriku:
Memang manis, manis gula-gula,
Begitu juga negeri kita tercinta.
Ragam umat-umat agamanya,
Ada islam ada kristen ada buddha dan lainnya.
Semuanya ada disini,
Bersatu di bhineka tunggal ika."
Lirik lagunya relate banget ya kan. Tapi coba nih teman teman, sejauh mana sih pengetahuan kita tentang rumah ibadah? masih adakah prasangka dalam diri kita terhadap umat umat lainnya? Sejauh mana pula hidup rukun yang sudah kita lakukan dan rasakan? (https://www.instagram.com/bdglautandamai)
Dalam tulisan bertajuk Hari Toleransi, Anak-anak SD Telusuri Jalur Bhinneka digambarkan secara detail para siswa diajak mengunjungi Gereja Katolik, Gereja Protestan, Masjid, Wihara, dan tempat ibadah Konghucu Kong Miao. Dengan harapan jiwa toleransi akan tumbuh dalam diri anak-anak.
Dua puluhan siswa SD menelusuri tempat ibadah 5 agama berbeda di ‘Jalur Bhinneka’ kota Bandung. Apa makna penting kunjungan ini pada Hari Toleransi Internasional?
Sedari pagi, antusiasme para murid itu sudah terasa. Dengan semangat mereka menyebutkan berbagai agama yang ada di Indonesia.
“Islam, Kristen, Katolik..,” jawab salah satu murid laki-laki.
“Islam, Kristen…,” timpal murid lain.
Para siswa ini berebutan menjawab sampai seorang murid perempuan menambahkan. “Hindu, Buddha,” ucapnya bangga.
Disusul satu murid lagi. “Hindu, Konghucu.”
Tur rumah ibadah rutin digelar saat Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada 16 November dan Malam Imlek. Para pengurus rumah ibadah selalu menerima tamu dengan tangan terbuka.
Yoga Wibowo, pemuda Konghucu, berharap masyarakat yang berkunjung bisa lebih memahami keberagaman Indonesia dan lakukan silaturahmi tatap muka menjadi penting untuk membangun rasa percaya.
“Kalian juga bisa mengenal (ajaran agama) dari kita langsung. Dari pada dari media atau bukan orangnya langsung. Kalau kita ketemu langsung kan mengurangi prasangka-prasangka yang tidak baik,” jelasnya. (VOA Indonesia, Minggu 17 November 2019)
Merajut Toleransi
Ingat, cara paling jitu untuk memupus prasangka, kebencian dari mereka yang berbeda keyakinan adalah dengan membuka ruang-ruang perjumpaan. Dengan saling mengenal, pemahaman dan empati dapat dibangun.
Dari pelosok kampung, sumber-sumber toleransi mengalir deras memberi keteduhan batin. Warga terus merajut temali toleransi yang terus tumbuh hingga anak-cucu.
Gerakan itu tidak hanya berbentuk dialog antar umat beragama dan suku, tetapi juga perjumpaan harian di desa hingga kemasan wisata Desa yang di dalamnya terdiri dari keluarga-keluarga menjadi basis utama membangun toleransi dan kebinekaan itu.
Keluarga merupakan basis utama membangun toleransi dan kebinekaan. Gerakan toleransi dapat dikemas dengan gaya populer lewat wisata. Di Singkawang, Kalimantan Barat pemerintah daerah dan sejumlah komunitas lintas etnis dan agama menjadikan jalan Diponegoro sebagai etalase toleransi. Di Toraja, Sulawesi Selatan masyarakat dari berbagai suku dan agama terlibat bersama dalam penyelenggaraan Lovely December.
Acara ini merupakan panggilan beribadah bagi semua pemeluk agama dengan cara membunyikan lonceng, beduk, dan gendang di rumah-rumah ibadah. Tradisi toleransi juga tersebar di banyak tempat di Nusantara.
Toleransi dan kerukunan perlu banyak belajar ke dalam (negeri) bukan ke luar (negeri). Harmoni di negeri sendiri lebih bagus dan natural daripada di negeri lain. Contoh-contoh toleransi di desa-desa layak menjadi rujukan. Warga dengan tulus menjalankan toleransi secara alami. Tentunya aktivitas ini perlu dilestarikan, diperkuat, terus dipupuk sehingga toleransi terus tumbuh subur sampai anak dan cucu. (Kompas, 31 Desember 2018 dan 28 Juni 2022)
Meskipun, kehendak untuk membangun toleransi lahir karena adanya perasaan lelah yang dirasakan oleh banyak orang secara besar-besaran, bahwa hidup dengan tindakan intoleran dan kekerasan adalah sebuah kenyataan yang memilukan dan tidak bisa dipertahankan. Tidak mungkin hidup tanpa kedamaian.
Karena itu, da?am perkembangan selanjutnya muncul model toleransi yang lebih sesuai dengan substansi dan kandungan toleransi, yaitu model negara-bangsa (nation-state).
Dalam negara-bangsa, kehendak untuk toleran berangkat dari pijakan, seluruh manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama di hadapan konstitusi. Sebagaimana revolusi Prancis, setidaknya sesuai dengan paradigma kebebasan, persamaan dan persaudaraan.
Untuk model negara-bangsa, ada paradigma kewarganegaraan yang memperlakukan seluruh warga negara secara adil dan setara. Toleransi pada model negara-bangsa menyentuh ruang individu. Pada model pertama, toleransi menyentuh kelompok, tetapi toleransi da?am model negara-bangsa melindungi hak individu. edangkan model kedua meniscayakan adanya kehidupan berdampingan secara damai, koeksistensi (al-ta'âyush al-silmî).
Antara kelompok mayoritas dan minoritas mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk memelihara kehidupan yang damai. Begitu pula antara yang berkuasa dan yang dikuasai harus mempunyai pemahaman yang sama tentang pentingnya hidup berdampingan secara damai. Karena itu, toleransi yang dimaksud da?am koeksistensi adalah toleransi yang bersifat horizontal, tidak vertikal.
Toleransi pada model koeksistensi sesungguhnya mempunyai relevansi yang tinggi dengan paradigma demokrasi, yang meniscayakan adanya kesepakatan dan komunikasi yang intensif untuk membentuk sebuah kebijakan yang mampu melindungi seluruh elemen masyarakat, baik kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas.
Untuk itu, toleransi da?am konsep negara-bangsa harus mampu membangun kesadaran pentingnya menerima yang lain di tengah keragaman dan perbedaan. (Zuhairi Misrawi, 2010:165)
Toleransi semakin mendesak dibumikan dalam rangka mewujudkan koeksistensi, yakni kesadaran hidup berdampingan baik antar-pemeluk agama maupun antarnegara secara damai dan harmonis di tengah-tengah masyarakat yang plural. (Irwan Masduqi, 2016: 179)
Keberhasilan mewujudkan toleransi yang mengantar kepada tujuan "hidup berdampingan" membutuhkan, pertama kali, adanya keinginan bersama dari semua pihak untuk hidup berdampingan secara damai. Ini diraih dengan menyadari keterbatasan diri serta dampak buruk pertikaian.
Memang beragam cara yang dapat ditempuh, tapi paling tidak pada tahap pertama dapat ditumbuhkan sikap, walau pasif, yang mengantar untuk tidak menerima dan tidak juga menolak (tidak memuji), tidak juga mencela pihak lain. (M Qurais Shihab, 2022:37)
Mengingat hidup berdampingan, ikhtiar menghidupkan kembali rasa toleransi dan solidaritas yang tinggi. Sikap saling menghargai dan menghidupkan kembali rasa toleransi dan solidaritas yang tinggi adalah hal yang perlu dibudayakan dalam masyarakat Indonesia.
Hadirnya pengetahuan mengenai dunia dan budaya luar, interaksi dan komunikasi digital menghadirkan banyak peluang positif di seluruh bidang kehidupan dan pastinya akan meningkatkan peningkatan kemajuan bangsa. Untuk itu kita harus berupaya hidup berdampingan dengan budaya luar dan menumbuhkan rasa toleransi yang tinggi terhadap keberagaman budaya kita sendiri. (Abdul Rahman Suleman, Abdurrozzaq Hasibuan, Abigail Soesana, 2022:58)
Dengan demikian, keinginan untuk hidup rukun dan berdampingan harus terus digelorakan. Tanpa adanya keinginan untuk hidup rukun dan berdampingan niscaya semua tujuan hidup tidak akan terlaksana. Tanpa adanya kerukunan dalam hidup berdampingan di masyarakat yang terjadi hanyalah permusuhan dan konflik antarindividu. Kita menyadari bahwa sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan bisa hidup tanpa bantuan orang lain.
Sungguh alangkah indahnya hidup berdampingan, bergandengan tangan dalam kebijakan, perdamaian, bahu membahu memajukan Indonesia yang adil, rukun, sejahtera, bukan malah ikut menghancurkan Bumi Nusantara, khususnya Tanah Pasundan dengan perpecahan, pertikaian, permusuhan, konflik dan prasangka tak berdasar.