• Opini
  • JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #7: Merawat Kemah, Menebar Rahmah

JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #7: Merawat Kemah, Menebar Rahmah

Menyemai kerukunan antarumat beragama dalam wujud kemah lintas iman menjadi modal sosial yang amat penting untuk menjaga keteduhan kehidupan beragama di Indonesia.

Ibn Ghifarie

Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.

Pembagian nasi bungkus di Vihara Terang Hati di kawasan Pagarsih, Bandung, 23 Mei 2021. Tolong-menolong sebagai kegiatan kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat perbedaan agama.

13 Oktober 2022


BandungBergerak.id - Aktivitas perkemahan pemuda lintas iman di Indonesia marak. Sebut saja, Youth Interfieth Camp (Jakatarub), Kemah Bakti Generasi Muda Lintas Agama (FKUB Jabar), Student Interfaith Peace Camp (YIPC Indonesia), Peace Camp (PisGen), Kemah Moderasi, Kemah Pemuda Lintas Agama (Kemenag), Kemah Perdamaian (PUSAD Paramadina), Youth Camp Gusdurian, Jambore Pemuda Lintas Agama, Kemah Lintas Agama Pemuda Indonesia (Gusdurian), Kemah Lintas Agama (ICRP).

Ini menjadi momentum yang tepat bagi generasi muda untuk merobohkan tembok prasangka, kebencian tak berdasar sekaligus mempererat persaudaraan, toleransi, dan membangun kerukunan umat beragama.

Ruang Perjumpaan Autentik

Pasalnya, kemah pemuda lintas agama menjadi ruang perjumpaan langsung antarumat beragama guna menghilangkan stigma dan prasangka.

Dalam Buku #Dialog100 ini berisi 100 kisah persahabatan lintas iman yang berusaha menghadirkan pentingnya toleransi beragama melalui kisah dalam kehidupan sehari-hari.

Ihwal kemah pemuda lintas agama di Bandung tergambar dengan jelas aktivitasnya dalam tulisan Yang Muda, Yang Mengubah, Clara Tobing, Kristen Katolik, Batak, menceritakan pengalaman soal keterlibatannya saat mengikuti kemah lintas iman di kompleks Vihara Vipassana Graha Lembang, 27-29 September 2013.

"Kita memang produk masa lalu, tetapi kita yang menciptakan masa depan,” tulis Clara Tobing.

Rangkaian kata menggaung pada Sabtu (28/9/2013) sore itu, menggugah 42 jiwa muda yang duduk dengan kepala tegak. Mereka tengah mengikuti kemah lintas iman (Youth Interfaith Camp 2013) yang diadakan Indonesian Conference on Peace and Religion (ICRP), di kompleks Vihara Vipassana Graha, Lembang. 

Diakuinya, lokasi kemah di tengah-tengah kompleks Vihara Budha, menggelitik rasa penasaran. Budaya Thailand yang kental di sini mengajak peserta menepis mitos-mitos agama Budha yang masih mengundang penasaran.

"Saya pun dapat pelajaran berharga. Siapa sangka bahwa banyak sekali penganut agama Budha berasal dari penduduk asli Indonesia, tidak melulu orang Tionghoa yang menjadi stereotip selama ini. Hal ini tidak selalu menguntungkan para penganut Budha Indonesia. Kemudian mengalirlah cerita penganut Budha yang dipaksa atau diperdaya mengganti agamanya dengan agama lain. Untuk menghindari hal tersebut mereka terpaksa mengungsi ke daerah yang lebih terpencil. Kompleks Vihara yang begitu tenang ini pun sempat mengalami penolakan masyarakat setempat, di mana aktivitas di sini tidak boleh dilakukan secara mencolok," tulisnya.

Pertemuan itu sungguh membuka mata tentang bagaimana kekerasan dan diskriminasi yang dialami penganut agama dan kepercayaan di Indonesia. Para muslim Ahmadiyah, Syiah menuturkan langsung kekerasan yang mereka alami. Mereka mengisahkan penolakan masyarakat hanya karena tata cara ibadah mereka, bukan karena apa yang mereka lakukan.

Para penganut Kristen di HKBP Filadelfia mengisahkan bagaimana tempat ibadah mereka ditutup dan dipaksa untuk dipindahkan, dipersulit bahkan saat dokumen-dokumen pendiriannya sudah lengkap. Betapa mereka merasa tidak diperlakukan sebagai manusia saat penduduk setempat melempari mereka dengan kotoran sapi dan air rendaman jengkol. Para penganut Orthodox mengisahkan bagaimana gereja mereka tidak boleh memiliki kubah sesuai tradisi karena dianggap menistakan agama lain. Para penganut Baha’i dan Sapto Dharmo menuturkan sulitnya mendapatkan KTP yang mencantumkan agama mereka. Walhasil, lebih memilih mencantumkan strip pada KTP mereka daripada dipaksa mengakui agama yang tidak mereka percayai. 

Cerita mengenai larangan-larangan dari keluarga untuk berinteraksi dengan penganut agama lain pun mengalir. Anak-anak muda ini merasa bahwa akhirnya ada yang mengerti, ada yang memahami bahwa mereka tidak mempermasalahkan, teman mereka berdoa dengan cara yang berbeda dengan mereka. Kebingungan akan larangan tersebut merupakan hal yang tabu dalam keluarga mereka, semata karena alasan mematuhi perintah orangtua. 

Mudah untuk merasa kasihan bila cerita-cerita ini kita baca dan dengar dari berita. Tetapi butuh interaksi nyata dari penutur yang mengalami kebencian semacam itu, untuk menumbuhkan empati dan kemauan untuk mengubah kondisi. Prasangka-prasangka dalam masyarakatlah yang harus diubah. 

"Saya tidak merasa ada satu pun dari mereka membuat saya melupakan keimanan saya, atau memaksa untuk mengikuti agama mereka. Yang saya rasakan malah Tuhan memberikan saya jalan untuk membuktikan cinta saya pada-Nya dengan jalan mengubah keadaan untuk mereka.  Saya semakin mencintai Tuhan karena memberikan saya kesempatan itu. Terus, kenapa banyak yang takut dengan perbedaan kalau perbedaan tidak menghancurkan apa pun?," tulisnya (Aphrem Risdo Simangunsong, Gabriella Ria Apriyani, dkk [Wiwin Siti Aminah R, editor], 2014:53-55).

Dalam liputan Kemah Pemuda Lintas Agama, Merajut Cerita Baru Indonesia dilaporkan 104 pemuda-pemudi di Kota Bandung yang berlatar belakang Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, Ortodoks, Konghucu, Sikh, Baha’i, Penghayat, dan kepercayaan lain.

Mereka berkumpul dalam Youth Interfaith Camp yang diadakan di sebuah wisma di Lembang, pada 21-23 Oktober 2016. Youth Interfaith Camp kali ini bukanlah kegiatan pertama yang digagas komunitas lintas agama ini, melainkan kegiatan yang ke-6. Sesuai temanya Merajut Cerita Baru Indonesia hadir di tengah keributan yang mengatasnamakan agama, pemuda-pemudi yang berasal dari berbagai agama dan kepercayaan ini justru memilih untuk bersama merajut cerita baru untuk Indonesia.

Bagi anak-anak muda ini, keributan dan kekerasan atas nama agama adalah cerita lama yang sudah basi. Kini saatnya mencari perbedaan bukan untuk membangun permusuhan. Sekarang waktunya mencari perbedaan justru untuk saling melengkapi.

Kegiatan ini diisi dengan berbagai aktivitas, di antaranya stand discussion. Dalam diskusi yang dilakukan sambil berdiri itu peserta melakukan pembicaraan secara bebas dengan teman-teman yang berbeda agama.

Melalui pertemuan ini peserta diberi pelatihan untuk berpikir secara alternatif dan kristis, khususnya menghadapi pemberitaan media yang dinilai kurang memberikan dampak positif terhadap kerukunan umat beragama di Indonesia.

Uniknya, peserta melakukan kunjungan ke beberapa tempat ibadah dari berbagai agama di sekitar wilayah Bandung. Tujuannya untuk memberikan pengalaman langsung berinteraksi dengan umat beragama lain. Sebelumnya peserta berdiskusi di kafe religi.

Pdt Obertina M Johanis dari Gereja Kristen Pasundan (GKP) menuturkan, “Tahun ini peserta lebih banyak, karena antusiasme jaringan yang kami bangun. Lembaga pendukung tahun ini juga bertambah menjadi lima lembaga. GKP sebagai penyelenggara, didukung oleh Jakatarub, Universitas Maranatha, Gereja Kristen Jawa (GKJ) Merdeka, GKI Klasis Bandung, Keuskupan Agung Bandung, dan Mission 21,” tuturnya.

“Kami sadar bahwa ada cerita lama Indonesia yang penuh kekerasan, dan ketidakadilan. Namun, ada cerita lama di mana hidup bersama dengan orang yang berbeda adalah hal yang wajar. Dengan tema merajut Indonesia baru anak-anak muda ditantang untuk berpikir dan merajut Indonesia yang baru seperti yang mereka ingin bangun dengan melihat dari cerita-cerita lama itu,” jelasnya.

Romo Agus dari Keuskupan Bandung, menegaskan, “Saya berharap melalui kegiatan ini, di mana ini bukan kegiatan yang pertama, mereka mengalami ‘bertetanggaan batin’, dari sharing menjadi encounter, sehingga kalau saya bersahabat dengan orang lain itu berarti saudara saya. Tidak lagi berpikir bahwa saya Katolik, kamu Hindu. Identitas tetap perlu, namun suasana cair. Kebhinekaan itu janganlah diganggu-ganggu karena Indonesia dibangun atas dasar itu. Meski memang anak-anak muda ini harus tetap didampingi,” tegasnya (Satu Harapan, Rabu 26 Oktober 2016).

Baca Juga: JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #4: Indahnya Berbagi Tanpa Basa-basi
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #5: Menebar Peacesantren, Meraih Kebahagiaan
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #6: Merayakan Halalbihalal, Meneguhkan Persaudaraan Sejati

Dinamika Kemah Lintas Agama

Dalam tulisan Menyemai Toleransi di Kemah Lintas Iman dijelaskan saking berkesannya Kemah Pemuda Lintas Agama membuat Asifa Khoirunnisa (22), mahasiswa Studi Agama-agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung aktif mengkampanyekan toleransi, kerukunan, dialog antaraagama. Caranya dengan mendirikan Salim (Sahabat Lintas iman).

Pada awalnya rasa penasaranlah yang mendorong Sifa, sapaan akrabnya, mengikuti kemah pemuda lintas iman (youth interfaith camp/ YIC) tiga tahun lalu. Menghabiskan tiga hari bersama 30-an anak muda lain, ia memperoleh perspektif baru dalam memandang keberagaman.

Keinginannya berkuliah di Jurusan Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, membuat semua orang kaget.  “Orangtua bertanya-tanya untuk apa saya kuliah di jurusan seperti itu. Mereka khawatir nantinya tidak akan ada pekerjaan yang cocok bagi saya. Butuh perjuangan untuk meyakinkan mereka dan alhamdulilah saya berhasil,” ujarnya.

Awalnya, karena ajakan teman, Sifa berkenalan dengan kegiatan-kegiatan lintas iman yang tidak biasa. Apalagi saat bergabung dalam sekelompok anak muda yang mengunjungi gereja. Lain waktu, datang ke vihara. Baginya, semua itu merupakan pengalaman pertama kali seumur hidup.

Puncaknya, pada pertengahan 2016, saat mengikuti kemah pemuda lintas iman yang diselenggarakan Jakatarub (Jaringan Kerja Sama Antarumat Beragama) di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Itulah pengalaman tiga hari yang berharga dan membukakan mata.

“Kemah itu memberikan saya perspektif baru dalam memandang keberagaman. Dengan berdialog langsung dengan teman-teman beda agama, bahkan ada yang tidak beragama, saya bisa sedikit demi sedikit memahami mereka. Bukan lagi prasangka yang didahulukan,” tuturnya.

Pulang dari kemah, Sifa bersama temannya mendirikan Salim (Sahabat Lintas iman). Sebagian besar anggotanya merupakan mahasiswa UIN SGD dan para anak muda lain yang tinggal di kawasan timur Bandung. Beragam kegiatan yang pernah dilakukan Salim di antaranya kunjungan ke Gereja dan  Pondok Pesantren; bedah buku dan pasar murah; kunjungan dan diskusi dengan para pemeluk Ahmadiyah di kawasan Cikutra, Kota Bandung.

Selama ini, Ahmadiyah merupakan salah satu kelompok minoritas yang rentan menjadi korban persekusi. Awal 2019 ini, misalnya, puluhan orang membubarkan acara mereka. Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada 2011 mengeluarkan Peraturan Gubernur yang melarang aktivitas penyebaran ajaran.

“Dengan mendengarkan langsung kisah mereka, kami memiliki pemahaman yang cukup untuk bersikap adil. Saya meyakini dialog merupakan kunci toleransi,” tandasnya.

Rupanya, kekhawatiran terhadap menguatnya intoleransi inilah yang mempersatukan para pegiat dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan di Bandung untuk membuat wadah bersama, dinamai Jakatarub, pada 2002. Rapat pembahasannya dilakukan di kompleks Vihara, Masjid, dan Gereja.

Kemah pemuda lintas iman (YIC), salah satu kegiatan unggulan Jakatarub bekerja sama dengan Gereja Kristen Indonesia (GKI), pertama kali diselenggarakan pada 2005. Total sudah 12 kali kemah literasi digelar dengan melibatkan ratusan remaja dan pemuda.

Koordinator Presidum Jakatarub Wawan Gunawan menyatakan, kemah pemuda lintas iman sejak awal menyasar remaja dan anak muda di bangku SMA dan kuliah. Acara tiga hari ini, yang berisi banyak kegiatan luar ruangan, melibatkan sebanyak mungkin agama dan keyakinan yang ada di Jawa Barat, termasuk Ahmadiyah dan Syiah. Konsep utamanya mempertemukan mereka secara langsung agar terjadi dialog untuk saling mengenal dan saling memahami.

Menurutnya, materi kemah terus diperbarui. Dalam 3-4 tahun terakhir, anak-anak muda peserta kemah dibekali dengan beberapa keterampilan praktis, seperti pembuatan film pendek, advokasi, serta literasi media. Keterampilan-keterampilan ini menjadi bekal tambahan dalam aksi mempromosikan toleransi.

“Kami ingin agar kemah pemuda lintas iman tidak berhenti menjadi kegiatan tiga hari. Justru ujian dimulai setelah kemah selesai dan mereka kembali ke lingkungan masing-masing,” jelasnya.

Salim di Bandung dan Kompasiman di Tasikmalaya merupakan dua komunitas hasil kemah pemuda lintas iman yang aktif berkegiatan hingga hari ini. Ada sedikitnya enam komunitas lain di tujuh kabupaten/kota di Jawa Barat; Gradasi (Gerakan Pemuda Inklusi) di Cimahi, Koin (Komunitas Interfaith) di Jatinangor, Pelita (Pemuda Lintas Agama) di Cirebon, KPL (Komunitas Pemuda Lintas Agama) di Indramayu, Fopulis (Forum Pemuda Lintas Iman) di Sukabumi, dan Tabib (Toleransi Anak Muda Bhineka Tunggal Ika Bogor) di Bogor.

“Tidak semua komunitas seaktif Salim dan Kompasiman. Itulah salah satu tantangan yang kami hadapi akibat keterbatasan sumber daya. (Komunitas) Yang di daerah-daerah menjadi sulit dirawat,” ucapnya.

Jakatarub bukan satu-satunya komunitas, lembaga swadaya yang menyelenggarakan kemah lintas iman. Banyak inisiatif, dengan nama khasnya masing-masing, bermunculan. Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia, misalnya, secara rutin juga menghelat kemah lintas iman. Tahun 2019 ini, mereka mengundang para remaja dan anak muda di tujuh kota. Surabaya menjadi kota pertama penyelenggaraan kemah pada Oktober 2019.

Faiz Miftahul Huda, Ketua YIPC Jawa Timur mengatakan, “Yang penting itu bukan materi (kemah) tapi dialog. Di situ mereka (peserta) menemukan bahwa prasangka soal Kristen dan Islam ternyata tidak selalu (benar) begitu. Tidak semua (prasangka) yang mereka pikirkan sama,” katanya.

Mengomunikasikan prasangka menjadi titik mula kemah lintas iman YIPC. Dialog tidak ditujukan untuk menghadirkan konsensus soal doktrin agama. Dalam sesi scriptural reading, misalnya, alih-alih menyediakan ruang debat soal kebenaran agama, para peserta diajak untuk mengenal warta kebaikan yang hadir dalam ayat-ayat Injil dan Al-Quran. Mereka bergantian membaca dan menyimak lantunan kitab suci.

Makin meluasnya inisiatif menggelar kemah lintas iman terbukti dengan kegiatan yang dilakukan oleh Sahabat Sophie di Megamendung, Kabupaten Bogor, pada pertengahan September 2019 lalu. Acara tiga hari ini merupakan kali pertama komunitas bentukan Kongregasi Hati Kudus Yesus, salah satu ordo biarawati Katolik.

Oktavia Rahmawati (20), mahasiswi asal Kota Bandung yang mengaku memiliki gambaran buruk atas agama lain akibat paparan cerita sinetron di televisi. "Saya selama ini selalu mengambil jarak dengan pemeluk Kristen, tapi di sini mereka menyambut kami yang muslim dengan sangat hangat,” paparnya.

Direktur Eksekutif Wahid Foundation Mujtaba Hamdi meyakini kemah lintas iman dapat menjadi salah satu inisiatif baik yang berkontribusi dalam upaya menangkal menjamurnya praktik intoleransi.  Syaratnya, kegiatan yang lahir dari komunitas ini dikerjakan secara sungguh-sungguh. Rangkaian kegiatannya harus sampai pada aksi nyata membangun sikap kritis masyarakat terhadap isu keberagaman.

“Kalau hanya berhenti di seremoni dan panggung depan saja, sementara panggung belakangnya tidak dibenahi, (kemah lintas iman) tidak akan berdampak panjang,” ujarnya (Pikiran Rakyat 14 November 2019).

Dalam konteks pengurus Jakatarub biasanya, anggota yang telah mengikuti perkemahan pemuda lintas agama (Youth Interfaith Camp) jadi pengurus Jakatarub. Pada periode 2008-2014 seperti Wawan Gunawan, Sonny Hermawan, dan Theresia Yunita Tan, mereka merupakan peserta pada perkemahan pemuda lintas agama tahun 2005. Termasuk pada kepengurusan Jakatarub seperti Aphrem Risdo M. Simangunsong, Astri Oktia Indriyani dan Yoga Wibowo, mereka merupakan peserta pada perkemahan pemuda lintas agama tahun 2013 (Dwi Wahyuni, 2020:39).

Ingat, segala aktivitas menabur benih menumbuhkan persaudaraan melalui kemah lintas iman ini terbukti dapat menjangkau kerja melintasi daerah, agama, suku, golongan. Tentunya dengan beragam inspirasi, kreativitas yang tumbuh dari hasil interaksi yang dilandasi oleh kebersamaan, persaudaran, ketulusan dan kemanusiaan.

Dengan modal sosial yang sangat yang terkonsolidasikan secara intensif, akhirnya tercetus ide untuk menyelenggarakan kemah pemuda antaragama (Interfaith Youth Camp) yang diikuti oleh siswa setingkat SMA dari sekolah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha bekerja sama dengan Yayasan Paras Jakarta dan forum Gus Durian yang dibuka Alisa Wahid dengan jumlah peserta 243 orang.

Kemah pemuda antariman benar-benar menjadi ajang perekat para pemuda lintas iman dan mampu membuka wacana baru bagi peserta yang selama ini tersekat oleh batas primordialisme agama. Kemah yang berjalan selama 4 hari menjadi representasi kebhinekaan Indonesia sebagaimana cita-cita founding fathers membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (Hilman Latief, Zezen Zainal Mutaqin, 2015:374).

Ikhtiar merajut damai dalam kebhinekaan dapat dilakukan melalui dua model: Gong Perdamaian dan Peace Camp Pemuda Lintas Agama. Inilah yang kami usulkan sebagai kegiatan pengantar sebagai penopang Gong Perdamaian itu. Kemah perdamaian menjadi penting agar prasasti Gong Perdamaian lebih menggema seantero nusantara, bahkan dunia sebagaimana mendunianya nama Raja Ampat.

Boleh jadi, namanya The Adventure Peace Camp (TAPC) yang memadukan antara kegiatan wisata dan kemah perdamaian. Perpaduan ini akan membawa dua misi sekaligus, yakni promosi pariwisata dan mengajak generasi muda untuk memegang peran sebagai promotor sekaligus penggerak perdamaian. Bayangkan jika TAPC ini bisa diikuti oleh 200-an pemuda lintas agama dari seluruh Indonesia, maka kita telah melakukan proses investasi terhadap upaya menjaga persatuan NKRI, toleransi antarumat beragama, dan mewujudkan perdamaian sebagai misi utama ikhtiar ini (Ahmad Nurkholis, 2017:196-197).

Dengan demikian, toleransi dan kerukunan antarumat beragama yang bersatu dalam wujud kemah pemuda lintas iman menjadi modal sosial yang amat penting untuk menjaga keteduhan kehidupan beragama di Indonesia, termasuk di Kota Parahiyangan.

Ikhtiar anak-anak muda dari berbagai agama dengan tujuan menguatkan toleransi dan kegotong-royongan harus kita dorong, tumbuh kembang demi mewujudkan Indonesia damai, sejahtera, adil, rukun, toleran.

Niscaya dapat meminimalisir perilaku adu domba dan provokasi yang berusaha memecah kerukunan antarumat beragama di bumi pertiwi. Jika kita sering bertemu, pasti akan terbangun komunikasi, dengan komunikasi itu diharapkan timbul kebersamaan dan rasa saling menghormati, menghargai, membangun nusantara tercinta ini. Sudah saatnya kita merawat kemah pemuda lintas iman ini agar meraih hidup berkah.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//