JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #6: Merayakan Halalbihalal, Meneguhkan Persaudaraan Sejati
Ide menggelar halalbihalal yang melahirkan Deklarasi Sancang tercetus setelah warga NU Kota Bandung mendatangi sejumlah gereja dan memberikan rangkaian bunga.
Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
16 Mei 2022
BandungBergerak.id - Rasanya tak afdal bila suasana pascalebaran tidak diikuti dengan aktivitas piknik, melakukan silaturahmi, saling maaf-maafan, halalbihalal baik dengan kerabat keluarga besar, bersama sahabat perjuangan pondok pesantren, teman kuliah, kawan organisasi, ormas, kantor, maupun antarpegiat lintas iman.
Seringnya digelar silaturahmi, dialog dengan pegiat lintas iman ini sebagai ikhtiar merawat, menebar tradisi halalbihalal yang berusaha meneguhkan, meraih persaudaraan sejati tanpa melihat segala perbedaan suku, etnis, kepercayaan, agama. Sungguh indahnya berkumpul antarsesama manusia melekat tanpa sekat.
Hikayat Halalbihalal
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halalbihalal, maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang: merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia; aktivitas berhalalbihalal itu bermaaf-maafan: pada lebaran kita dengan segenap sanak keluarga dan handai tolan (KBBI, 2002:383).
Istilah halalbihalal adalah bentuk kata majemuk yang pemaknaannya dapat ditinjau dari dua sisi: hukum dan bahasa. Pada tinjauan hukum, halal adalah lawan dari haram. Jika haram merupakan sesuatu yang dilarang dan mengundang dosa, maka halal berarti sesuatu yang diperbolehkan dan tidak mengundang dosa.
Dengan demikian, halalbihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan mohon maaf.
Tujuan halalbihalal agar menciptakan keharmonisan antarsesama. Pasalnya, dianggap sebagai komunikasi produktif antarberbagai komponen bangsa yang dilaksanakan dengan suka cita dan dibentuk secara seremonial yang diikuti oleh sekelompok warga dari berbagai macam agama, ras dan suku.
Pada kebanyakan masyarakat muslim dari berbagai kalangan (atas, menengah sampai masyarakat biasa) yang menyelenggarakan acara halalbihalal, dikarenakan adanya anggapan masyarakat bahwa acara halalbihalal itu merupakan bagian dari hari raya Idul Fitri.
Tentunya pada kesempatan berbahagia, bergembira itu harus diikuti dengan proses saling maaf memaafkan sebagaimana yang diperintahkan oleh ajaran agama Islam (M. Quraish Shihab, 1996: 497-498).
Halabihalal memang merupakan media silaturahmi untuk menyampaikan ucapan selamat, bersalam-salaman, dan bermaaf-maafan. Walaupun kita tahu, di kantor, misalnya, pegawai dan karyawan pada saat mulai kembali bekerja sudah saling mengucapkan selamat, bersalaman, dan bermaafmaafan. Itu biasa mereka lakukan karena mereka kembali bertemu setelah "pulang mudik".
Tampaknya, aktivitas itu belum cukup untuk mengungkapkan suasana Idul Fitri itu. Kantor mengagendakan halalbihalal agar semua pegawai atau karyawan di kantor yang bersangkutan dapat sekaligus mengucapkan selamat dan bermaaf-maafan. Oleh karena itu, halalbihalal merupakan sarana yang sangat efektif.
Dalam halalbihalal, acaranya selain diisi dengan sambutan, juga disajikan ceramah. Biasanya, tema ceramah berkisar sekitar hikmah Idul Fitri dan kaitannya dengan tugas sehari-hari. Hal itu juga dimaksudkan untuk memotivasi semangat kerja pegawai, karyawan agar mereka dapat bekerja dengan semangat baru. Memang manfaatnya positif, baik bagi kantor maupun bagi pegawai, karyawan.
Sebagai sarana silaturahim, halalbihalal dapat juga digunakan untuk rekonsiliasi tak formal. Mereka yang berbeda pendapat (pandangan) tentang suatu hal, Apalagi yang berakibat terhadap kerenggangan komunikasi, dapat memanfaatkan sarana ini untuk merajut kembali perbedaan yang ada. Jadilah mereka seperti teman yang tidak punya salah.
Halalbihalal memang termasuk budaya Indonesia yang mengandung nilai positif. Apabila kita menelaah sumber kepustakaan Islam yang ada, istilah halalbihalal tidak akan kita temukan. Di Arab Saudi dan Mesir, misalnya, kita tidak akan menemukan kegiatan serupa. Pengungkapan selamat Idul Fitri hanya terlihat biasa-biasa saja. Selepas salat id orang bersalaman sebagaimana lazimnya pada salat berjemaah, berkunjung ke rumah keluarga, atau memanfaatkan sarana telepon.
Sepintas istilah halalbihalal adalah bahasa Arab. Namun, dalam bahasa Arab ungkapan itu tidak digunakan. Mungkin orang mengira, bahasa Arabnya adalah al-halal bil-halal. Halalbihalal sebetulnya dibentuk dari kata serapan halal dengan menyisipkan bi 'dengan' (bahasa Arab) di antara halal. Oleh karena itu, penambahan —al (-I) pada bihalal tidak tepat. Begitu pula penulisan unsur-unsurnya harus digabung karena ketiga unsur itu dianggap sebagai satu kepaduan.
Halalbihalal tidak dapat diartikan secara harafiah, yakni halal, bi dengan, halal. (halal dengan halal, boleh dengan boleh). Namun, apabila kita lihat makna halal, barangkali ada kaitannya dengan istilah itu. Dengan demikian, halalbihalal dapat dipahami sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama selepas bulan puasa dalam suasana Idul Fitri pada bulan Syawal. Tujuannya menjadi sarana bermaaf-maafan sesama orang muslim dan orang yang hadir dalam acara tersebut agar segala kesalahan akan menjadi lebur (Media Indonesia, 27 November 2004, Abdul Gaffar Ruskhan, 2007: 22-23).
Ingat, halalbihalal adalah istilah bahasa Arab yang tidak dipahami orang-orang Arab. Halalbihalal memang bukan bahasa Arab normal. Kata tersebut berasal dari akar kata halla-yahillu, berarti singgah, memecahkan, melepaskan, menguraikan, mengampuni. Halalbihalal kini menjadi istilah lain dari silaturahim. Beda antara keduanya ialah halalbihalal hanya digunakan untuk mengiringi kepergian bulan suci Ramadan, sedangkan silaturahim berlaku secara universal, menerobos batas waktu dan tempat.
Ihwal asal-usul halalbihalal ini bermula ketika anak-anak muda Masjid Kauman Yogyakarta kebingungan mencari tema untuk mewadahi dua momen istimewa. Satu sisi perayaan Idul Fitri sebagai wujud kemerdekaan spiritual dan sisi lain baru saja dilakukan Proklamasi Kemerdekaan RI (Nasaruddin Umar, 2020:146).
Uniknya, di Indonesia tradisi halalbihalal menjadi momentum yang tepat untuk saling meminta maaf dan di waktu yang sama dituntut agar saling memaafkan. Sungguh indah. Momen ini terasa sangat hangat. Pasalnya di Bumi Pertiwi ini, halalbihalal bukan hanya perayaan monopoli umat muslim saja.
Idul Fitri dengan budaya halalbihalal merupakan momen komunikasi lintas agama, lintas budaya, bahkan momen komunikasi tingkat strata sosial. Momen kita untuk berdamai sebagai sesama manusia, hingga momen untuk bertemu antara seluruh strata sosial yang selama ini tak setara.
Di sebuah instansi misalnya bawahan bisa bertemu atasan secara langsung, bahkan menyampaikan keluhannya secara terbuka yang tak mungkin dilakukan selain di momen Idulfitri. Kedua belah pihak dapat sama-sama saling mengoreksi. Bua? bawahan ini momen wadul, sebaliknya bagi atasan ini adalah saat untuk bisa mendenqar kritik dengan baik dan tak mengulangi kesalahan.
Dalam pandangan Gus Sholah (Salahuddin Wahid), aktivitas halalbihalal menjadi kesempatan berharga dan tak ternilai jika selama ini kita mau minta maaf, tapi terhalang malu dan pekewuh. Momen ini jadi kesempatan yang baik untuk bisa saling memaafkan. Memang meminta maaf itu tak mudah. Apalagi memberi maaf juga tidak mudah. Sangat gampang diucapkan tapi susah dilakukan. Namun Idul Fitri semua jadi dipermudah dan ini kesempatan emas bagi banyak orang.
Ramadan dan Idul Fitri harusnya jadi momen kita berbenah diri. Agar harapan kita semua mampu meneruskan puasa setelah Ramadan, bukan saja puasa secara Iahiriyah tapi juga puasa secara batiniyah.
Dalam Ramadan kita dilatih untuk jujur. Hampir setiap inci nilai-nilai Ramadan ini mengajarkan kita untuk jujur dan perbuatan baik lainnya. Bisa tidak kejujuran ini kita pertahankan sampai Ramadan tahun depan. Dan hanya orang-orang yang menang dalam berpuasa itu adalah orang yang bisa berpuasa setelah ramadan, artinya memperbaiki dirinya setelah bulan Ramadan.
Selamat Idul Fitri, semoga kita benar-benar menjadi orang yang kembali ke fitrah seperti spirit Idul Fitri pada seharusnya. Minal aidin wal faizin, mahon maaf Iahir dan batin (Radar Jombong Jawa Pos, 17 Juni 2018 dan Majalah Tebuireng Edisi 62 Mei-Juni 2019:62).
Pada titik inilah halalbihalal menjadi golden moment bagi kita semua untuk membuka lubuk kita yang paling dalam pada ruang-ruang saling memaafkan. Kata halal dalam halalbihalal diulang dua kali mengisyaratkan bukan hanya berarti maaf biasa tapi proses memaafkan dengan sentuhan cinta agar tercipta harmoni sosial, baik antarkita sesama umat Islam maupun umat-umat yang lain. Sebab kadang kala saling memaafkan dengan sentuhan cinta tersebut sangat diperlukan ketika luka yang kita derita begitu dalam, berkepanjangan dan tak terlupakan.
Inilah agaknya yang menyebabkan mengapa Alquran tidak hanya menuntut dari seseorang untuk dapat memaafkan orang lain, tetapi lebih dari itu berbuat baik kepada orang yang telah melakukan kesalahan terhadapnya. Dari sini pula dapat diperoleh kesan bahwa halalbihalal bukan saja menurut seseorang agar memaafkan orang lain, tapi juga agar berbuat baik terhadap siapa pun. Itulah landasan filosofis dari semua aktivitas yang dituntut oleh Alquran bagi setiap yang melaksanakan halalbihalal (Zaprul Khan, 2017:32-33).
Baca Juga: JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #3: Hidupkan 12 Nilai, Ciptakan Budaya Damai
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #4: Indahnya Berbagi Tanpa Basa-basi
JEJAK PRAKTIK BAIK DI BANDUNG #5: Menebar Peacesantren, Meraih Kebahagiaan
Deklarasi Sancang
Sabtu 10 November 2007 yang bertepatan dengan tanggal 29 Syawal 1428 H, sejak pukul 09.00 s/d 13.00 WIB, bertempat di Kantor PWNU Jawa Barat, Jalan Sancang No. 8 Bandung, diselenggarakan “Halalbihalal Lintas Agama.” Kegiatan ini direncanakan dan dilaksanakan oleh umat lintas agama: Budha, Hindu, Islam, Katolik, Khonghucu, dan Kristen, menjadi ajang silaturahmi bagi semua umat.
Kunjungan umat Islam ke sejumlah gereja pada 25 Desember 2006 menyampaikan salam damai dan membagikan bunga mawar sebagai lambang cinta dan persahabatan, telah menumbuhkan rasa persaudaraan bukan hanya pada lapisan pemimpin umat tetapi hingga tataran umat. Sepercik inspirasi telah menggelorakan umat lintas agama, bukan hanya umat Katolik dan Kristen saja, untuk bekerja sama menggagas serta melaksanakan “Halalbihalal Lintas Agama” sebagai wahana mempererat persaudaraan antar umat khususnya di Kota Bandung.
Kini, semua yang terlibat dalam kepanitiaan bahkan telah memperoleh pengalaman saling menghargai, menghormati, dan bekerja sama dalam mewujudkan acara ini. Mengarah pada visi bersama, setiap umat berperan serta dengan tulus dan sungguh-sungguh, menyumbangkan beragam daya dan upaya, jauh dari prasangka dan sikap bermusuhan.
Terbukti, agama bukanlah sekat dan tembok yang memisahkan dan memilah-milah umat. Sebaliknya, agama menjadi faktor yang mendorong semua umat untuk saling mencintai dalam semangat persaudaraan. Di tengah kesadaran akan kebinekaan umat, persahabatan yang memberdaya telah menyadarkan kami bahwa semua umat harus bersatu dan bekerja sama mengatasi berbagai masalah sosial masyarakat dan lingkungan, bahkan bersinergi dalam mengupayakan kesejahteraan bersama.
Didukung wacana, dialog, dan berbagai aktivitas yang sudah dan terus dilakukan serta dikembangkan oleh semua pihak dalam membangun hubungan serta kerukunan antar umat beragama, pengalaman dan pemahaman di atas telah menyemangati kami merumuskan “Deklarasi Sancang” sebagai berikut:
Pertama, Kami umat beragama Kota Bandung adalah bagian dari Bangsa Indonesia yang senantiasa menjunjung tinggi kesatuan dan persatuan.Kedua, Kami umat beragama Kota Bandung menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Ketiga, Kami umat beragama Kota Bandung selalu berjuang untuk tegaknya hukum dalam mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kerukunan hidup demi mencapai kebahagiaan bersama. Keempat, Kami umat beragama Kota Bandung selalu mengembangkan sikap toleransi, tenggang rasa dan saling menghormati.
Kelima, Kami umat beragama Kota Bandung selalu bekerja sama untuk berperan dalam mengatasi masalah-masalah sosial dan lingkungan.
Melalui kegiatan ini kita berharap dengan segala pesan yang terkandung di dalamnya agar mempercepat pembangunan relasi dan kerjasama umat, mendukung upaya mewujudkan Bandung Agamis 2008, serta memberikan perspektif yang lebih luas bagi masyarakat Bandung, Indonesia, dan dunia dalam menyikapi kebinekaan umat manusia.
Doa kita bersama kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar memberikan ketekunan dan kesungguhan dalam mengerjakan tekad dan komitmen di atas untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dan umat manusia. (www.deklarasi-sancang.org).
Secara faktual, Kota Bandung dihuni oleh beragam pemeluk agama yang berbeda-beda. Semua agama diakui eksistensinya. Ini sesuai dengan kondisi penduduk Kota Bandung yang dikenal sangat religius.
Sebuah kota dikatakan beradab apabila semua elemen warga kotanya menjunjung tinggi persamaan, damai, dan bersatu, bukan memperuncing suasana dengan menonjolkan perbedaan. Dalam Islam, perbedaan adalah rahmat. Siapa pun pasti sangat mengecam mereka yang senantiasa menyebarluaskan benih-benih kebencian (perbedaan) dan bukan mengutamakan persamaan.
Lazimnya, sebuah praktik hidup bersama, friksi dan gesekan antar pemeluk agama sesekali terjadi juga. Untuk menjaga Bandung menjadi rumah yang nyaman bagi semua pemeluk agama, pada 10 November 2007 dalam acara Halalbihalal di Kantor PCNU Jalan Sancang, seluruh pemimpin enam agama (Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu dan Khonghucu) dan tujuh belas pemuka agama berembuk sekaligus menandatangani sebuah deklarasi bersama yang popular disebut sebagai Deklarasi Sancang.
Nama itu diambil dari tempat di mana deklarasi itu dikeluarkan. Naskah Deklarasi Sancang itu dibacakan oleh KH R Imam Shonhaji, salah seorang ulama sepuh di Kota Bandung.
Ide untuk menggelar halalbihalal, yang melahirkan Deklarasi Sancang ini tercetus setelah warga NU Kota Bandung mendatangi sejumlah gereja dan memberikan rangkaian bunga kepada umat Kristiani tahun 2006 lalu. Dari situ digagaslah sebuah acara yang dapat menghimpun dan mempersatukan para tokoh lintas agama yang ada di Kota Bandung. Para pemuka lintas agama Kota Bandung berkumpul untuk menyatukan komitmen, berjuang mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan kerukunan hidup demi mencapai kebahagiaan bersama, secara khusus bagi masyarakat Kota Bandung.
Dalam acara itu hadir, antara lain, tokoh NU seperti Ketua PB NU Said Agil Siradj, Zannuba Arifah Chafsoh Rahman, (Yenni Wahid), dan sejumlah pengurus NU di Jawa Barat. Dari pihak Pemerintah Kota Bandung, hadir Wali Kota Bandung dan Sekretaris Daerah Kota Bandung.
Umat Islam sebagai mayoritas harus melindungi warga negara dari agama lain yang menjadi minoritas. Dalam politik, agama kerap dijadikan alat untuk menaikkan harga politik seseorang. Akibatnya, pemahaman terhadap agama menjadi dangkal. Sehingga ada penyempitan pemahaman terhadap agama.
Padahal, persoalan yang mendera masyarakat Indonesia sekarang ini tidak bisa diselesaikan oleh satu agama. Umat Islam harus menolong saudaranya yang Kristiani dan penganut agama dan kepercayaan lainnya, begitu pula sebaliknya.
Dinamika Peringatan Deklarasi Sancang
Lahirnya Deklarasi Sancang dapat menjadi modal sosial yang sangat besar bagi proses terwujudnya gagasan mewujudkan Bandung Kota Agamais. Seperti yang selalu dikatakan oleh Wali Kota Bandung, Agamis bukan hanya Islami. Dalam Bandung Kota Agamis semua agama diakui eksistensinya.
Kelahiran Deklarasi Sancang telah menjadi salah satu tonggak penting bagi perjalanan kehidupan keagamaan di Kota Bandung. Terlebih lagi dari momen itu lahir sebuah forum lintas agama yang disebut Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang (FLADS).
FLADS merupakan salah satu media tempat para tokoh lintas agama berkumpul dan berdiskusi tentang berbagai hal berkenaan dengan berbagai hal yang ada di kota Bandung, tidak hanya menyangkut kehidupan keagamaan, melainkan juga aspek kehidupan lainnya.
Untuk tetap memelihara pesan utama dari Deklarasi Sancang, yakni semangat kebersamaan di antara semua elemen umat beragama di Kota Bandung, setiap tanggal 10 November diselenggarakan peringatan lahirnya deklarasi yang diakui sangat dinspirasi Piagam Madinah itu.
Pada hari Selasa, 10 November 2009, misalnya, diselenggarakan peringatan dua tahun Deklarasi Sancang yang mengambil tempat di GKI Jalan Maulana Yusuf, Bandung. Perayaan Dua Tahun Deklarasi Sancang ini dihadiri sekitar 500 orang dari berbagai agama di Kota Bandung yang berlangsung dalam suasana penuh keakraban. Pada kesempatan itu, hadir Wali Kota Bandung Dada Rosada, Maftuh Kholil dan beberapa pemuka agama lainnya yang menjadi deklarator Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang.
Peringatan itu dilakukan dalam rangka menjaga dan memelihara Kota Bandung sebagai Kota Agamis. Menurut Ketua Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang, para tokoh lintas agama sepakat untuk menjaga keutuhan Bandung dan hidup dalam kebersamaan. Gerakan ini tak hanya lokal Bandung, namun juga akan dikembangkan di forum yang lebih luas di tingkat regional dan nasional.
Dalam konteks itu, Ketua PCNU Kota Bandung mengatakan, Agama merupakan solusi bagi permasalahan, bukan sebaliknya. Ketika umat dan pemimpin agama menyambut keberagaman agama dengan sikap yang positif dan konstruktif, relasi antar umat beragama bisa menjadi faktor pendorong majunya peradaban (Wawancara, 29 Januari 2011).
Menurut Ketua PCNU Kota Bandung, FLADS dibentuk oleh tokoh lintas agama di Kota Bandung atas kesadaran bahwa relasi dan bahkan persaudaraan yang terjalin baik antarumat beragama akan memberikan kontribusi bagi terciptanya keadilan, kesetaraan dan kemaslahatan bangsa. FLADS bertujuan agar umat beragama di Kota Bandung mampu menjadi teladan bagi umat lain di kota-kota lain di Indonesia tentang bagaimana hidup damai, harmonis dan persaudaraan lintas agama bahkan lintas suku bangsa.
Pendirian Forum LADS yang bertepatan dengan hari Pahlawan, 10 November 2007, menurut Ketua PCNU Kota Bandung, diharapkan berdasarkan spirit para pahlawan itu. FLADS mencita-citakan Bandung tak hanya sebagai kota kembang, tapi jadi kota bineka. Bandung adalah kota bagi semua orang dan rumah bersama semua umat beragama.
Wali Kota Bandung mengatakan, bahwa semangat FLADS selaras dengan misi Kota Bandung sebagai Kota Agamis, tak hanya menjaga keutuhan Bandung juga dengan kepedulian antarumat beragama diharapkan terlibat dalam berbagai program penyelamatan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan warga kota ini. FLADS diharapkan menjadi spirit kebersamaan yang bisa menjaga keutuhan dan kerukunan beragama di Kota Bandung.
Wali Kota Bandung menyampaikan kegembiraannya dengan adanya deklarasi ini dan hasil yang telah dicapainya, apalagi hal tersebut sesuai dengan salah satu agenda prioritas (Bandung Kota Agamis). Wali Kota Bandung mengajak untuk dapat melakukan gerakan di bidang lingkungan hidup, seperti menanam pohon, minimal satu rumah satu pohon, karena hal ini merupakan salah satu hal konkret dari Deklarasi Sancang. Kondusivitas kehidupan beragama di Kota Bandung dapat terus dijaga, sehingga pembangunan yang dilaksanakan tidak terganggu akibat timbulnya konflik antaragama.
Bagi Ketua Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang, tahun deklarasi itu dilakukan dengan sederhana. Yang terpenting, isi Deklarasi Sancang bisa diaplikasikan dalam kehidupan beragama warga Kota Bandung. Apalagi, Wali Kota Bandung telah menetapkan Bandung sebagai Kota Agamis. Pada peringatan Deklarasi Sancang juga diisi dengan penanaman pohon. Akhir tahun 2009, 12.000 pohon yang dititipkan di Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Bandung mulai ditanam.
Keberadaaan Deklarasi Sancang dirasakan cukup banyak manfaatnya, dalam menjaga toleransi dan kerukunan umat beragama di Kota Bandung. Keberagaman agama yang ada di Indonesia, khususnya di Kota Bandung, jangan dijadikan sebagai bahan konflik, tetapi harus dijadikan sebagai solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada.
Ketua FLADS berharap spirit Deklarasi Sancang ini terus berlanjut, dan dapat bergulir ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Kehadiran para tokoh lintas agama sepakat untuk menjaga keutuhan Kota Bandung dan hidup secara berdampingan dengan aman dan damai, dan berharap spirit dari deklarasi ini dapat berkembang di tingkat yang lebih tinggi lagi.
Kemunculan Deklarasi Sancang dapat terjadi karena melihat berbagai fenomena yang terjadi, seperti suatu agama jika sudah menjadi mayoritas maka akan timbul rasa arogan dari agama tersebut, fenomena timbulnya konflik antarumat beragama di Indonesia, dan program Wali Kota Bandung, (Bandung Agamis). Fenomena tersebut muncul sebagai dasar terciptanya Deklarasi Sancang.
Menurut Ketua PCNU Kota Bandung, bahwa dua tahun Deklarasi Sancang telah menimbulkan berbagai hal yang positif di Kota Bandung, seperti rasa nyaman ketika beribadah, karena tidak ada gangguan dari pihak atau agama lain, dan kerja sama yang terjadi di antara umat beragama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan sosial yang ada.
Kelahiran Deklarasi Sancang dapat disebut telah mengilhami berbagai kegiatan lintas agama serta dirujuk dan dikutip dalam mendorong pembangunan sikap saling menghargai dan menghormati di dalam masyarakat. Dengan adanya Deklarasi Sancang telah memungkinkan hadirnya suatu ruang dialog umat lintas agama dalam menyikapi masalah-masalah bersama. Terbangunnya hubungan personal dan institusional antarumat lintas agama. Ada perluasan relasi antaraumat beragama yang sebelumnya tidak saling mengenal, apalagi saling peduli.
Dengan demikian ada pertumbuhan relasi yang signifikan melalui upaya sengaja saling mengenal, memahami, menghargai, menghormati, dan mempererat persaudaraan sebagai warga kota dan anak-anak bangsa.
Dalam beberapa kesempatan, komunikasi yang terjalin, bahkan terasa meningkat sampai berlanjut ke berbagai bentuk kerja sama (koperasi) yang melibatkan umat lintas agama.
Untuk peringatan tahun ketiga lahirnya Deklarasi Sancang, dilaksanakan di Aula Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Rabu (10 November 2010) yang dihadiri oleh Wali Kota Bandung, Wakil Wali Kota Bandung, Sekda Kota Bandung, Para Deklarator Sancang dan sejumlah tokoh Agama.
Dalam kesempatant itu dikukuhkan 50 pemuda kader penggerak perdamaian lintas iman yang telah di beri pelatihan selama 2 hari. Tampilnya Ketua Dewan Syuro FPI Kota Bandung, Hilman Firdaus, sebagai pembicara kunci dalam peringatan tahun ketiga lahirnya Deklarasi Sancang ini menjadi pemandangan unik. Pasalnya, selama ini, FPI dicitrakan sebagai sebuah ormas yang lebih mengedepankan penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sebuah persoalan daripada dialog.
Namun, fakta ini menunjukkan bahwa siapa pun dapat duduk bersama dalam suasana damai dan penuh toleransi. Pascakemunculan ketua Dewan Syuro FPI Kota Bandung yang tampil sebagai pembicara, dalam beberapa kesempatan diskusi yang diselenggarakan oleh kalangan Kristiani, ditampilkan pula sejumlah narasumber yang berasal dari kalangan Ormas yang dianggap berhaluan keras, seperti Garis (Gerakan Reformasi Islam) pimpinan Cep Hernawan.
Peringatan HUT FLADS itu ditandai dengan pemotongan tumpeng oleh Wali Kota Bandung, dan disaksikan para tokoh lintas agama, yang melakukan potongan tumpeng tersebut diserahkan kepada Rektor Unpar, Profesor Cecilia Lauw, sebagai tuan rumah pelaksanaan kegiatan, dan juga penggalangan dana untuk korban Wasior, Merapi serta Mentawai.
Pringatan Deklarasi Sancang tersebut mengambil tema “Silaturahmi Doa untuk Bangsa: 3 Tahun Deklarasi Sancang Mengharmonikan Kebhinekaan dalam Menggerakkan Empati bagi Negeri”. Menurut Ketua Panitia HUT Deklarasi, tema ini dipilih mengingat kondisi Indonesia saat ini di mana bencana datang silih berganti terutama di Wasior, Merapi dan Mentawai. Tentang ini, Ketua Panitia HUT Deklarasi mengatakan, kami pun mengundang banyak pihak pada peringatan kali ini agar keterlibatan mereka dapat lebih membumikan isi dari Deklarasi Sancang.
Apabila ingin merasakan kedamaian antarumat beragama maka datanglah ke Bandung. Hal tersebut bukanlah merupakan impian, karena hal ini bisa dilihat dengan tidak adanya kerusuhan antarumat beragama di Kota Bandung. Kedamaian akan datang apabila ada rasa kasih sayang di antara manusia, dan saya percaya masyarakat Bandung penuh dengan kasih sayang (Wawancara, 9 Februari 2011).
Kota Bandung adalah Kota yang aman dari konflik antarumat beragama. Ini terjadi karena faktor kepemimpinan Wali Kotanya dengan 7 Agenda Prioritasnya terutama bidang agama (Bandung sebagai Kota Agamis). Deklarasi yang dulu dicetuskan itu bukan hanya diucapkan saja, tetapi juga teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Atas jasa dan berbagai terobosannya dalam menciptakan kehidupan beragama yang kondusif di Kota Bandung, termasuk dengan gagasannya dalam mewujudkan Bandung Agamis, Wali Kota Bandung dianugerahi MUI Award dari MUI Kota Bandung. Penghargaan diserahkan oleh Ketua MUI Kota Bandung pada acara Silaturahmi Akbar Ulama Se-Kota Bandung, di Hotel Poster, Jumat (15 April 2011) (Dr. H. Agus Ahmad Safei, 2020:83-89).
Jaga Perdamaian Dunia
Tumbuh kembangnya silaturahmi, kerja sama, dialog antaragama dalam bingkai halalbihalal menjadi kekayaan Islam Indonesia. Dalam pandangan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), perbedaan keyakinan tidak membatasi (melarang) kerja sama antar lslam dan agama-agama Iain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerja sama itu, tentunya akan dapat diwujudkan daIam praktik kehidupan, apabila ada dialog antaragama. Dengan kata Iain, prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku dalam hal ini, seperti kaidah ushul fiqh (teori legal hukum Islam): "Sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula."
Praktik kerja sama tidak akan terlaksana tanpa ada dialog, dalam hal ini adalah melalui silaturahmi. Oleh karena itu, silaturahmi lintas agama bisa menjadi kewajiban apabila sangat dibutuhkan untuk proses integrasi, rekonsiliasi masyarakat suatu bangsa.
Dalam momentum hari raya Idul Fitri, hari ini kita bisa melihat tren bagus dari sebagian masyarakat Indonesia sudah mulai membangun serta menjaga silaturahmi lintas agama, seperti melalui tradisi halalbihalal di lingkungan kerja, pemerintahan, ramainya spanduk-spanduk yang berisi ucapan selamat hari raya, dan Iain-Iain.
Ketika halalbihalal semakin berkesan, sebab masih dalam nuansa Hari Raya Idul Fitri di mana umat Islam kembali suci dari berbagai dosa setelah sebulan ditempa dengan puasa dan berbagai ibadah Iainnya. Hadirnya seseorang pada acara halalbihalal benar-benar membawa niat tulus untuk saling berkomitmen untuk tidak bermusuhan Iagi, lapang dada untuk tidak mengungkit-ungkit lagi kesalahan yang telah lalu,
Bila pascahalalbihalal ada seseorang (sekelompok) orang yang kembali merenggangkan hubungan yang tidak harmonis, itu pun biasanya hanya sementara. Halalbihalal pada tahun-tahun berikutnya akan kembali menjadi perekat supaya meleburkan ketidakharmonisan tersebut, sehingga pertikaian dapat ditanggulangi serta perdamaian pun dapat tetap selalu terjaga. ltulah kenapa eksistensi tradisi halalbihalal harus selalu dilestarikan bersama supaya kontribusinya semakin terasa untuk merekatkan kerukunan dan perdamaian di masyarakat Indonesia.
Besarnya pengaruh halalbihalal dalam menjaga perdamaian masyarakat tentunya perlu dikembangkan, bukan tidak mungkin apabila nantinya dapat menjadi sebuah gerakan "Halalbihalal Nasional" bahkan halalbihalal Internasional". Apalagi melihat kondisi sosio-politik global yang sekarang ini tidak kondusif akibat berbagai ketimpangan terutama masaIah kolonialisme dan terorisme yang hingga kini masih menghantui keamanan dan perdamaian dunia (Gus Dur, 2006: 134, M. Zidni Nafi' 2018: 133, 157).
Bila halalbihalal dengan segala aktivitasnya (silaturahmi, kerja sama, dialog, aksi nyata bersama) terus digelorakan dari ruang perjumpaan keluarga, melintasi handai tolan, kantor, melampaui pertemuan ormas, yang bersemayam pada lintas agama, kepercayaan mesti menjadi modal berharga untuk membuat harmoni sosial, persaudaraan sejati dan ikut andil dalam menciptakan perdamaian.
Kiranya petuah Hans Kung ini perlu direnungkan dalam mewujudkan Indonesia rumah bersama. “Tiada perdamaian antarbangsa tanpa perdamaian antaragama; tiada perdamaian antaragama tanpa dialog antaragama.” Semoga.